Wednesday, September 23, 2009

PENGHINAAN MALAYSIA TERKAIT KEHADIRAN DUA JUTA TKI

Penghinaan sebagian warga Malaysia terhadap Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kehadiran sekitar dua juta pekerja Indonesia di negara mereka. Untuk memperbaiki citra bangsa ini, Indonesia mutlak memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kata Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.

"Mengapa Malaysia menghina kita? Itu karena ada dua juta orang Indonesia (bekerja-red.) di sana," katanya pada acara ramah tamah dan dialog dengan puluhan mahasiswa dan warga masyarakat Indonesia di kampus Universitas Queensland (UQ), St.Lucia, Selasa malam (22/9).

Selama Indonesia belum mampu melipatgandakan pertumbuhan ekonomi nasionalnya agar mampu menyerap jutaan orang pencari kerja di Tanah Air, penghinaan bangsa lain terhadap Indonesia sulit dibendung, katanya.

Banyaknya warga Indonesia yang bekerja di berbagai sektor informal di Malaysia dan beberapa negara lain tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan daya serap lapangan kerja di Tanah Air akibat pertumbuhan ekonomi nasional yang belum mampu menyerap lebih banyak pencari kerja, kata Sofyan Djalil.

Menurut anggota Kabinet Indonesia Bersatu kelahiran Aceh 23 September 1953 ini, dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar tujuh persen misalnya, jumlah tenaga kerja yang dapat diserap hanya sekitar 2,2 juta orang sedangkan angka pencari kerja jauh di atas daya serap lapangan kerja yang ada.

Fenomena tenaga kerja Indonesia di sektor informal di luar negeri, seperti pembantu rumah tangga, ini juga sudah memengaruhi citra RI di kawasan Timur Tengah, katanya.

Hanya saja, pengalaman Indonesia mengirim jutaan orang pekerjanya ke luar negeri ini bukanlah hal unik dalam sejarah perkembangan bangsa-bangsa besar di dunia. Jepang pun pernah mengirim para pelacur ke luar negeri dahulu, katanya.

Namun dalam tempo 40 tahun, Jepang mampu memajukan dirinya yang antara lain merupakan hasil dari pengiriman besar-besaran warganya untuk belajar di luar negeri, kata Sofyan Djalil.

Pengalaman Malaysia

Kemajuan Malaysia saat ini pun tidak terlepas dari strategi pemerintah negeri jiran itu mengirim sebanyak mungkin warganya belajar ke negara-negara industri maju sehingga sumber daya manusianya kini umumnya "lebih baik" dari Indonesia. "Bahasa Inggris pun tidak masalah bagi mereka," katanya.

Sebaliknya Indonesia menghadapi "bottle neck" (masalah pelik-red.) pada kualitas sumberdaya manusia. "Kualitas sumberdaya manusia adalah masalah besar di Indonesia ... Di Indonesia, orang-orang 'qualified' (ahli) sangat terbatas," kata suami akademisi perempuan kenamaan, Dr. Ir. Ratna Megawangi, M.Sc, ini.

Sofyan Djalil mengatakan, sejak tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998 yang mengawali era reformasi, Indonesia mengalami banyak kemajuan dengan reputasi internasional yang menguat namun bangsa ini masih dihadapkan pada sejumlah "bottle neck" akibat relatif rendahnya mutu sumberdaya manusia dan kelembagaan.

Karena itu, keunggulan sumberdaya manusia lewat pendidikan yang membangun kreatifitas anak didik serta pengiriman para pelajar untuk melanjutkan studi mereka hingga ke jenjang doktor di luar negeri sangat penting bagi pembangunan masa depan bangsa, katanya.

Bagi para mahasiswa Indonesia yang kini melanjutkan studinya di luar negeri, termasuk Australia, ia meminta mereka belajar secara sungguh-sungguh dan semaksimal mungkin memanfaatkan peluang studi yang ada dengan mengambil mata kuliah-mata kuliah di luar mata kuliah wajib dan elektif studi mereka.

"Anda (mahasiswa Indonesia di luar negeri-red.) adalah orang-orang terpilih karena tidak banyak warga Indonesia yang mendapat peluang ini," katanya.

Sofyan Djalil dan istri, Dr. Ir. Ratna Megawangi, M.Sc, berada di Brisbane untuk mengunjungi anak mereka yang kuliah di UQ.

Di sela kunjungan pribadinya itu, Sofyan Djalil memenuhi undangan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di UQ (UQISA), Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB) dan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) Queensland untuk bertatap muka dan berdialog dengan kalangan mahasiswa dan warga.

*) My news for ANTARA on Sept. 23, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity