Wednesday, September 30, 2009

PENDIDIKAN "ORANG RIMBA" DI INDONESIA "DIANAK-TIRIKAN"

Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 belum berpihak kepada kebutuhan pendidikan anak-anak suku terasing, seperti komunitas Orang Rimba di Jambi.

Disamping itu, kegagalan berbagai pihak memahami keunikan komunitas Orang Rimba, seperti bagaimana mereka berfikir tentang diri mereka, termasuk memaknai tujuan sekolah bagi mereka, telah menjadikan sejumlah program aksi yang bermaksud mengangkat derajat mereka salah kaprah.

Kedua poin itu merupakan benang merah acara temu ramah puluhan mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQ) dengan tokoh muda pendidikan alternatif bagi masyarakat adat yang juga pendiri Sokola, Saur Marlina Manurung alias Butet Manurung di kampus UQ St.Lucia, Brisbane, Selasa malam (29/9).

Tokoh muda yang lebih dieknal dengan nama Butet Manurung ini mengatakan, waktu, cara, dan tujuan anak-anak komunitas Orang Rimba belajar tidak bisa disamakan dengan pola pendidikan yang diterapkan Diknas RI bagi anak-anak Indonesia pada umumnya.

"Mereka (Orang Rimba-red.) belajar tanpa mengenal waktu. Bahkan sampai larut malam... Anak-anak Rimba itu mau belajar apa yang terpakai setiap hari," kata pegiat pendidikan alternatif yang sedang mengambil program studi magister antropologi terapan di Universitas Nasional Australia (ANU) ini.

Butet Manurung mengatakna, bagi komunitas Orang Rimba yang hidup di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) seluas 60.500 hektar ini, sekolah diperlukan supaya mereka tidak mudah ditipu oleh warga masyarakat lain di luar mereka yang biasa mereka sebut "orang terang", seperti dalam transaksi jual beli.

"Kita menyebutnya sekolah untuk kehidupan, bukan supaya pintar dan jadi kaya," kata perempuan berdarah Batak kelahiran Jakarta 21 Februari 1972 yang menamatkan pendidikan sarjananya di jurusan Antropologi Unpad (1998) dan Sastra dan Bahasa Indonesia Unpad (2002) ini.

Penerima penghargaan "Heroes of Asia Award 2004" untuk kategori konservasi dari Majalah Time ini mengatakan, ia bersama para pegiat Sokola memberikan pengetahuan dasar literasi, berhitung, dan bahasa Indonesia kepada anak-anak komunitas Orang Rimba sesuai dengan kebutuhan mereka.

"Saya nggak mau sekolah membuat anak-anak Rimba trauma bersekolah," katanya.

Di antara murid-muridnya, ada yang hingga kini tidak mau mengikuti pelajaran berhitung karena dia mengaku kepalanya "berasap" setiap kali mencoba berhitung, kata aktivis yang membagi penggalan pengalaman hidupnya di hutan Jambi itu dalam buku karyanya, "Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba" (2008) ini.

Konsep sekolah sebenarnya tidak dikenal dalam budaya masyarakat Orang Rimba di Jambi sehingga lima bulan pertama upayanya mendekati mereka tidak berhasil. Namun dengan ketekunan dan tekad yang kuat, ia perlahan dapat menyadarkan mereka pada manfaat sekolah bagi mereka.

Setelah mereka menemukan dan merasakan sendiri manfaat sekolah untuk kehidupan mereka, baru mereka mau. "Murid pertama saya cuma tiga orang," katanya.

Negara cuma bantu sekali

Mengenai sejauh mana perhatian pemerintah dan bagaimana dampak anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN terhadap masa depan pendidikan anak-anak suku terasing, termasuk Orang Rimba di Jambi, Butet Manurung mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki visi yang sama dengan dirinya.

Bahkan Presiden Yudhoyono pernah menerima dirinya bersama beberapa orang rekannya tahun 2008. Pesan Kepala Negara saat itu sangat jelas, yakni "sekolah-sekolah pedalaman tidak boleh terlantar," katanya.

Sebagai tindak lanjut dari pertemuan dengan Presiden Yudhoyono, Butet kemudian bertemu mendiknas namun mendiknas justru mempertemukannya dengan direktur jenderal. Singkat kata, Diknas RI memberikan bantuan dana untuk satu dari enam sekolah yang dikelolanya bersama teman-temannya.

"Sekolah kita ada enam. Yang dibantu hanya satu sekolah. (Diknas RI) cuma bantu sekali itu saja," katanya.

Menurut aktivis yang menghabiskan sebagian masa kecilnya di Leuven, Belgia, sebelum keluarganya pindah ke Jakarta tahun 1976 ini, total dana operasional setiap sekolah yang dikelolanya bersama teman-temannya itu berbeda-beda.

Sebagai contoh, dana operasional Sokola Rimba di Jambi per tahunnya mencapai Rp150 juta, sedangkan dana operasional per bulan sekolah alternatif yang ada di Flores mencapai tiga sampai empat juta rupiah, dan sekolah alternatif yang ada di Halmahera, Maluku Utara, memerlukan dana operasional sebesar Rp250 juta, katanya.

Terlepas dari minimnya perhatian negara pada nasib pendidikan anak-anak terasing itu, Butet Manurung mengatakan, Sokola yang didirikannya bersama beberapa orang rekannya tahun 2003 ini tidak pernah kekurangan para sukarelawan muda yang siap terjun membantu kegiatan mengajar mereka.

"Padahal nggak ada gaji untuk mereka. Ternyata banyak juga yang cukup 'gila'. Sebelum terjun ke lapangan, kita beri mereka 'training' (pelatihan)," katanya.

Butet Manurung mengatakan, kegiatannya mengajar anak-anak Orang Rimba yang dilakukannya selama bertahun-bertahun sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jambi tahun 1999 itu bukan tanpa tantangan, termasuk dari para pencuri kayu yang bahkan pernah mengancam keselamatan dirinya.

Acara bincang-bincang ringan yang diselenggarakan pengurus Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA) itu juga diisi dengan penayangan film singkat tentang sepak terjang Butet Manurung dalam kegiatan Sokola Rimbanya di Jambi.

Banyak di antara para pelajar dan mahasiswa yang hadir membeli buku "Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba" berisi rangkaian catatan pribadinya selama mengabdi untuk komunitas Orang Rimba di kawasan hutan Provinsi Jambi.

*) My news for ANTARA on Sept 30, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity