Dalam konferensi persnya bersama Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Mozambik, Oldemiro Baloi, di Perth, Jumat, Menlu Australia Stephen Smith, menegaskan, keputusan apapun yang terkait dengan penyelidikan kasus "Balibo Five" ini sepenuhnya merupakan urusan Polisi Federal Australia (AFP).
"Sebagai Menlu, saya tidak punya peran di dalam soal (keputusan AFP) ini. Tidaklah tepat bagi menteri manapun ikut bermain. Jadi semua ini didasarkan pada penilaian independen AFP," katanya.
Menlu Smith juga menekankan bahwa pemerintah negara bagian New South Wales maupun pemerintah federal Australia tidak terlibat dalam lahirnya keputusan Pengadilan Koroner New South Wales 16 November 2007 dan keputusan AFP menyelidiki tuduhan kejahatan perang dalam kasus yang populer disebut "Balibo Five" ini.
"Semua itu adalah keputusan yang dibuat oleh pihak berwenang independen secara independen dan obyektif," katanya.
Berkaitan dengan keputusan AFP yang diakuinya sebagai "isu sensitif yang harus dikelola secara hati-hati" ini, Menlu Smith telah pun menyampaikannya secara pribadi kepada Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu Primo Alui Joelianto di Canberra.
Ia kembali menegaskan keyakinannya bahwa isu penyelidikan kasus "Balibo Five" ini tidak akan merusak hubungan bilateral Australia dan Indonesia yang sudah berjalan sangat baik selama ini.
Menanggapi peringatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Australia turut mendukung langkah-langkah Komisi Kebenaran dan Persahabatan (CTF) Indonesia-Timor Leste, Menlu Smith mengatakan, Australia bersedia membantu Indonesia dan Timor Leste mengimplementasikan berbagai rekomendasi CTF jika kedua negara ini menginginkan bantuan Canberra.
Namun, terkait dengan kasus tragis "Balibo Five" yang sudah berlalu sekitar 35 tahun lalu, Australia punya caranya sendiri, yakni Pengadilan Koroner NSW dan AFP, katanya.
Dari perspektif hubungan bilateral Australia-Indonesia, Menlu Smith kembali menekankan pentingnya isu "Balibo Five" ini ditangani secara hati-hati, pantas dan peka. "Inilah yang sedang kami lakukan," katanya.
Pemerintah RI terkejut dengan keputusan AFP menyelidiki kasus yang sudah terjadi lebih dari 34 tahun silam.
Juru bicara Deplu, Teuku Faizasyah, mengatakan, kasus kematian lima wartawan asing di Timor Timur tahun 1975 itu sudah selesai dengan kesimpulan bahwa kematian mereka karena kecelakaan.
"Indonesia tidak melihat adanya suatu kepentingan untuk membuka kasus ini lagi. Sudah disimpulkan bahwa kematian kelima wartawan asing tersebut adalah karena kecelakaan bukan disengaja" katanya.
Presiden Yudhoyono bahkan mengingatkan Australia agar ikut mendukung upaya CTF mengakhiri konflik secara bijak dan melihat ke depan dengan sejumlah rekomendasi yang ditindaklanjuti Indonesia dan Timor Leste.
"Ini penting agar hubungan dengan Australia yang sekarang dalam keadaan baik, bahkan sangat baik, tidak terganggu dengan masalah-masalah yang muncul, karena menggunakan cara berpikir, yang menurut kita tidak tepat," katanya.
AFP sudah memulai nvestigasi kasus "Balibo Five" sejak 20 Agustus 2009 dan pihak keluarga lima wartawan yang tewas tahun 1975 ini sudah diberitahu pada 8 September 2009.
Namun AFP menekankan bahwa penyelidikan terhadap tuduhan kejahatan perang yang terjadi di masa lalu ini tidak mudah karena para saksi dan bukti berada di luar negeri.
"Sekiranya hasil investigasi menunjukkan adanya cukup materi untuk menyusun bukti ringkas tindak kejahatan atau kemungkinan nyata tindak kejahatan, AFP akan merujuk informasi yang ada ke Direktur Penuntut Umum Persemakmuran (CDPP)," kata AFP dalam pernyataan persnya 8 September lalu.
Setelah itu, pertimbangan lanjutan atas kasus ini diserahkan kepada CDPP sesuai dengan Kebijakan Prosekusi Persemakmuran (PPC).
AFP melakukan penyelidikan terhadap kasus "Balibo Five" ini setelah Kantor Kejaksaan Agung Persemakmuran Australia menerima hasil putusan Pengadilan Coroner New South Wales tentang kematian Brian Peters, salah satu anggota "Balibo Five", pada 16 November 2007.
Sejak insiden yang menewaskan Greg Shackleton, Tony Stewart, Brian Peters, Malcolm Rennie, dan Gary Cunningham itu terjadi hampir 35 tahun lalu, nama Yunus Yosfiah terus terseret ke dalam pusaran masalah ini.
*) My news for ANTARA on Sept 11, 2009
No comments:
Post a Comment