Tuesday, August 11, 2009

PILOT JETSTAR KELUARKAN DUA WARGA INDONESIA DARI PESAWAT

Staf Konsulat RI Darwin, Yulius Gah, gagal mengantar Nelayan asal Kupang, Ata Hamid, yang dideportasi Imigrasi Australia ke Indonesia melalui Denpasar Senin malam (10/8) setelah pilot Jetstar mengeluarkan mereka dari atas pesawat beberapa saat sebelum pesawat meninggalkan Darwin.

Menurut kronologis kejadian yang dibuat Yulius Gah dan diterima ANTARA dari Konsulat RI Darwin, Selasa, "pengusiran" Yulius dan nelayan asal Kupang berusia 16 tahun dari pesawat Jetstar bernomor penerbangan JQ 0081 dengan rute penerbangan Darwin-Denpasar itu dipicu oleh masalah tempat duduk.

"Berdasarkan 'boarding pass' yang saya dan Ata terima dari Derek Marshall, pegawai Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan (DIAC) Darwin, nomor kursi saya adalah 28 A sedangkan Ata 28 B," katanya.

Sekitar pukul 19:12 waktu Darwin (Senin malam), Marshall mendekati petugas Jetstar agar mendahulukan dirinya dan Ata memasuki pesawat.

"Saat itu 'boarding pass (tiket masuk) kami dipegang staf lapangan (ground staff) Jetstar," kata Yulius.

Tiga menit kemudian, Yulius dan Ata dibolehkan masuk ke pesawat tapi staf lapangan Jetstar itu justru meminta mereka duduk di kursi 36 A dan 36 B yang berbeda dengan nomor kursi dalam "boarding pass".

"Kami mengikuti saja instruksinya (staf lapangan Jetstar-red.). Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya saat ditugasi mendampingi nelayan (yang dideportasi-red.), saya pun mempersilahkan Ata duduk di kursi dekat jendela (36 A) sedangkan saya duduk di kursi bagian pinggir," kata Yulius.

Pada penerbangan Jetstar Senin malam itu, pesawat "tidak penuh", katanya.

Setelah beberapa menit duduk, seorang pramugari mendekatinya dan memintanya pindah ke kursi 36 A yang ditempati Ata dengan alasan bahwa 36 A adalah nomor tempat duduk yang diberikan petugas kepadanya.

"Saya mencoba menjelaskan bahwa berdasarkan pengalaman berulang kali ditugaskan mendampingi seseorang, saya harus duduk di kursi pinggir supaya saya bisa mengawasinya dengan mudah," kata Yulius.

Penjelasan tidak diterima

Dalam keadaan tertidur sekalipun misalnya, dia dapat segera terjaga jika Ata hendak ke toilet karena yang bersangkutan harus berjalan melewati dirinya. Namun penjelasan itu tidak diterima pramugari tersebut. Sebaliknya pramugari berkeras agar dirinya duduk sesuai dengan nomor kursi yang diberikan, katanya.

"Dia meminta saya dan Ata duduk di nomor kursi yang ada di 'boarding pass' dengan alasan bahwa itu sudah aturan penerbangan dan untuk 'keseimbangan pesawat'," katanya mengutip alasan pramugari Jetstar itu.

Yulius pun menuruti perintah pramugari tersebut. Namun sekitar lima menit kemudian seorang supervisor penerbangan Jetstar kembali mendatanginya dan memintanya bertukar tempat duduk dengan Ata.

"Saya jadi agak jengkel. Begitupun saya tetap bisa mengendalikan diri. Saya pun bertanya mengapa saya kembali diminta pindah ke kursi semula. Dia mengatakan bahwa itu sudah aturan. Lalu saya jelaskan bahwa pada awalnya saya sudah duduk di kursi yang dia minta itu tapi pramugari memintanya pindah dengan alasan aturan."

"Saya bertanya mengapa saya diminta pindah lagi. Dia katakan bahwa dia tidak ingin berdebat; ikuti saja aturan. Saya lalu katakan bahwa saya mematuhi aturan Anda. Saya hanya ingin tahu mengapa saya dipindah lagi. Tanpa minta maaf, supervisor itu pun pergi sambil mengatakan bahwa dia akan 'ngomong' ke pilot," katanya.

Gelagat supervisor penerbangan Jetstar Senin malam itu tidak membuat Yulius berfikir akan ada kejutan.

Sebaliknya, dia justru berfikir bahwa semuanya akan baik-baik saja apalagi pesawat sudah siap-siap bergerak. Tapi tiba-tiba seorang "ground staff" Jetstar memasuki pesawat dan mendekati diirinya. "Dia meminta saya dan Ata mengambil semua barang bawaan kami dan mengikutinya (keluar dari pesawat)."

Di luar pesawat, empat orang Polisi Federal Australia (AFP) sudah menunggu mereka. "Saya bertanya ke para anggota AFP itu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Salah seorang anggota AFP itu mengatakan bahwa kami dikeluarkan dari pesawat karena dianggap tidak 'kooperatif' dengan staf (Jetstar)," katanya.

Kejadian yang menimpa dirinya dan Ata Hamid itu merupakan satu "penghinaan", "ketidakadilan" dan "tindakan diskriminatif". Karena itu dia meminta pihak Jetstar menjelaskan tentang "tindakan diskriminatif" mereka terhadap dirinya dan Ata Hamid, kata Yulius.

Tanggapan Jetstar dan Konsulat

Sementara itu, Manajer Komunikasi Korporat Jetstar, Simone Pregellio, mengatakan kepada ANTARA yang menghubunginya secara terpisah, pihaknya sudah menyelidiki kejadian yang menimpa Yulius dan Ata.

"Penumpang ini (Yulius-red.) dikeluarkan karena prilaku agresifnya kepada kru kami tadi malam (Senin malam)," katanya.

Hasil investigasi pihaknya menemukan bahwa munculnya masalah tempat duduk itu karena Jetstar tidak mengetahui dari awal bahwa Yulius selama penerbangan bertugas sebagai seorang "pendamping".

Menurut Pregellio, pihak Jetstar mengharuskan seseorang yang bertugas sebagai "pendamping" dalam penerbangan agar memberikan pemberitahuan awal disertai surat tugas kepada staf Jetstar.

"Di bawah definisi 'pendamping' (escort) dan sesuai dengan prosedur baku, para 'escort' diminta dan dialokasikan di awal satu kursi sebelah pinggir," kata Pregellio.

Mengenai keputusan pilot mengeluarkan kedua warga negara Indonesia itu dari pesawat, dia mengatakan, sikap Yulius yang "sangat argumentatif" kepada kru Jetstar mendorong pilot untuk mengeluarkan mereka dari penerbangan JQ 0081, katanya.

Menanggapi kejadian yang menimpa Yulius Gah ketika bertugas dan Ata Hamid, Konsul RI di Darwin Harbangan Napitupulu mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan keputusan pilot Jetstar tersebut.

"Besok (Rabu) kita akan mengirim surat ke Jetstar berisi kekecewaan karena menurut penjelasan Yulius Gah, dia tidak berprilaku agresif seperti dituduhkan pihak Jetstar. Justru yang membingungkan kami adalah tindakan staf lapangan (ground staff) Jetstar yang memindahkan nomor kursi mereka dari 28 A/B ke 36 A/B," katanya.

Napitupulu mengatakan dia menugaskan Yulius Gah mengantarkan nelayan asal Kupang berusia 16 tahun, Ata Hamid, sampai ke tangan keluarganya atas permintaan pejabat DIAC di Darwin. "Masalah tiket dan segala sesuatunya diurus pihak DIAC," katanya menambahkan.

*) My news for ANTARA on Aug 11, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity