Wednesday, August 5, 2009

PENYETARAAN IJAZAH LUAR NEGERI PEMERINTAH RI "SENTRALISTIK"

Penyetaraan ijazah lulusan perguruan tinggi luar negeri oleh Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) RI dimaksudkan untuk mengantisipasi mereka yang kuliah di universitas "antah barantah" namun kebijakan ini memunculkan kontroversi yang merugikan akibat sifatnya yang sentralistik dan berstandar tunggal.

Pendapat itu disampaikan Akh Muzakki, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang juga kandidat doktor bidang Sejarah Politik Universitas Queensland (UQ) Australia kepada ANTARA di Brisbane, Rabu, menanggapi kontroversi tentang penyetaraan ijazah lulusan sarjana luar negeri yang dianggap Ditjen Dikti RI sama dengan D-III.

"Semangat penyetaraan ini adalah supaya orang Indonesia yang studi di luar negeri betul-betul kuliah di universitas bonafid (terakreditasi-red.) dan untuk mengeritisi ijazah palsu," katanya.

Hanya saja, kebijakan penyetaraan ijazah sarjana hingga doktoral lulusan luar negeri ini bersifat sentralistik karena harus dilakukan di Departemen Pendidikan Nasional (Diknas). Akibatnya warga asal Papua dan Sulawesi Utara misalnya harus ke Jakarta untuk mengurus penyetaraan ini, katanya.

"Berapa biaya yang mereka keluarkan. Mereka pun harus membawa ijazah asli. Lalu, siapa yang bisa menjamin keamanan ijazah asli tersebut. Yang lebih konyol lagi adalah Diknas tidak mau melakukan hasil penyetaraannya itu kecuali tidak lebih dari tiga kopi saja," katanya.

Bagi para lulusan lembaga pendidikan di luar negeri yang berasal dari luar Jawa, menerima tiga kopi hasil penyetaraan ijazah asli mereka dari Diknas RI itu dianggap "kecil sekali" dibandingkan dengan biaya dan waktu yang mereka keluarkan, katanya.

Mahasiswa program doktor UQ yang sudah menyerahkan (submit) disertasi doktornya ini mengatakan, pada saat pulang, seorang lulusan harus membawa sendiri ijazah aslinya untuk disetarakan tanpa pungutan biaya apapun di Diknas RI di Jakarta karena yang diminta tidak hanya ijazah foto kopi tetapi ijazah asli.

Pejabat terkait di Diknas RI ingin mengetahui keaslian ijazah tersebut sesuai dengan aslinya. Pihak pengurus juga harus melengkapi sejumlah syarat lain, seperti "overview" program studi dan sub-thesis atau tesis. "Ini regulasi negara yang tidak hanya untuk lulusan dari Australia tapi juga dari negara-negara lain," katanya.

Sebagai contoh, ada 100 orang Indonesia lulus dari perguruan tinggi di Yordania dan Makedonia dimana publik umumnya belum mengetahui kualitas perguruan tinggi di sana. Dengan demikian proses penyetaraan oleh Diknas RI itu merupakan upaya negara melegalisasi kompetensi alumni luar negeri, katanya.

Bagi warga Indonesia yang lulus program master dan doktoral (S2 dan S3) universitas-universitas terakreditasi Australia terlebih lagi perguruan tinggi yang berpredikat "berkelas dunia", mereka umumnya sudah disetarakan Diknas sama dengan lulusan S2 dan S3 dalam negeri, kata Akh Muzakki.

"Jadi alumni program S2 dan S3 Universitas Nasional Australia, Universitas Queensland, Universitas Sydney, Universitas New South Wales, dan Universitas Melbourne misalnya 'aman'. Tapi yang menjadi problem adalah lulusan 'undergraduate' (sarjana) karena di Australia ada program 'graduate diploma'," katanya.

Khusus lulusan program "graduate diploma", Ditjen Dikti RI bisa jadi menganggapnya setara dengan "Diploma Empat" atau setingkat "Sarjana" di Tanah Air padahal di Australia "graduate diploma" itu adalah gelar akademis di atas "bachelor of arts" atau pun "bachelor of science" (Sarjana untuk Australia-red.), katanya.

Kondisi ini sepatutnya diperhatikan para pembuat dan pengambil keputusan di Ditjen Dikti RI sehingga mereka tidak bisa membuat standar tunggal yang berlaku bagi seluruh dunia pada kasus "undergraduate". Australia sendiri justru mengakui para lulusan S1 Indonesia ketika mereka melanjutkan studi ke S2.

"Mestinya Ditjen Dikti tidak menggunakan standar tunggal untuk melakukan penyetaraan terhadap program 'undergraduate' luar negeri."

Australia dan Sudan

"Sebaliknya Dikti harus melihat sistim pendidikan yang diberlakukan perguruan tinggi masing-masing negara di dunia sebab kalau digeneralisasi, program 'undergraduate' (S1) di Australia disamakan dengan 'undergradute' di Sudan yang perguruan tingginya tidak masuk kelas dunia," kata Akh Muzakki.

Selain menghindari adanya standar tunggal dalam penyetaraan dengan melihat sistim pendidikan pada level perguruan tinggi di negara-negara yang menerima mahasiswa Indonesia, Ditjen Dikti RI juga dirasa perlu melihat politik pendidikan program "undergraduate" masing-masing perguruan tinggi luar negeri.

"Mungkin saja yang hilang dari keputusan Ditjen Dikti RI tentang penyetaraan ijazah luar negeri ini adalah politik pendidikan tersebut akibat Dikti melakukan sentaralisasi dalam soal kesarjanaan. Di kampus-kampus luar negeri, seperti Australia, masalah ijazah adalah kewenangan kampus masing-masing," katanya.

Akibat adanya kewenangan/otonomi masing-masing kampus ini, antarperguruan tinggi di Australia bisa saja berbeda. Kondisi ini yang tidak ada di Indonesia, katanya.

Para pembuat dan pengambil kebijakan di Ditjen Dikti RI sangat memahami keberagaman sistim pendidikan tinggi dan politik pendidikan perguruan tinggi di luar Indonesia selama Diknas RI memiliki koordinasi yang baik dengan para atase pendidikan dan kebudayaan (Adiknas) RI di luar negeri.

"Diknas perlu terus memperkuat koordinasi dengan seluruh Adikbud RI di seluruh dunia karena dengan koordinasi yang baik, pemetaan sistim pendidikan tinggi luar negeri termasuk kualifikasi universitas di luar negeri tidak menjadi masalah," katanya.

Selama ketiga hal di atas diterapkan para pembuat dan pengambil keputusan di Ditjen Dikti/Diknas RI, menurut Akh Muzakki, tidak semestinya ada "penyetaraan tunggal". "Kita mestinya 'fair' bahwa universitas-universitas di Australia tidak sama dengan perguruan tinggi di Afrika dan Timur Tengah misalnya," katanya.

Para mahasiswa Indonesia yang kini mengambil program sarjana (undergraduate) di Australia dan negara-negara lain di dunia yang jumlahnya jauh di atas mahasiswa Indonesia yang melanjutkan ke jenjang master dan doktor adalah korban utama dari kebijakan penyetaraan tunggal ini, katanya.

"Kebijakan penyetaraan ijazah luar negeri Dikti sekarang ini sudah menjadi sebuah rezim karena dibangun di atas semangat yang tunggal. Penyetaraan ini menimbulkan korban bagi para mahasiswa Indonesia yang kuliah di kampus-kampus ternama di luar negeri," katanya.

Dilihat dari sisi "kedalaman materi" kuliah, materi perkuliahan di universitas-universitas bonafid Australia, seperti Universitas Nasional Australia dan Universitas Queensland, jauh lebih tinggi dari rata-rata perguruan tinggi di Indonesia untuk program studi yang sama.

"Namun kalau dilihat dari beban studi (jumlah mata kuliah), Indonesia jauh lebih banyak mengingat cukup banyak mata kuliah dasar umum (MKDU) yang harus diambil. Ada muatan politik negara yang harus diambil oleh mahasiswa di Indonesia yang menambah beban mata kuliah keahlian."
Keharusan MKDU itu tidak ada di kampus-kampus Australia dan negara mana pun, kata Akh Muzakki.

Kontroversi masalah penyetaraan ijazah sarjana lulusan luar negeri muncul setelah pengurus pusat Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) memprotes Daftar Program Sarjana Universitas di Australia versi Ditjen Dikti RI yang menganggap banyak program S-1 dari 34 perguruan tinggi di Australia hanya setara D-III.

Para sarjana bidang bisnis (commerce) dan sains dari Universitas Nasional Australia (ANU), perguruan tinggi terbaik di Australia yang menduduki ranking 16 terbaik dunia, termasuk di antara ratusan program S-1 yang dianggap Ditjen Dikti hanya setara dengan lulusan Diploma Tiga (D-III).

Nasib lulusan ANU dari program studi "commerce" dan "sains" yang hanya disetarakan lulusan D-III di Indonesia itu juga dialami sedikitnya 33 perguruan tinggi lainnya di Australia, termasuk lima perguruan tinggi negara itu yang menurut "Times Higher Education" (2008) masuk daftar 50 universitas terbaik dunia.

Kelima perguruan tinggi yang tamatan beberapa program sarjananya dikategorikan Ditjen Dikti hanya setara dengan D-III di Indonesia itu adalah Universitas Sydney (37), Universitas Melbourne (38), Universitas Queensland (43), Universitas New South Wales (45), dan Universitas Monash (47).

*) My updated news for ANTARA on Aug 5, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity