"Menyetarakan sarjana lulusan Australia dengan lulusan D-III di Indonesia jelas merugikan dan tidak adil," kata Mahasiswa Psikologi Universitas Queensland (UQ) asal Indonesia, Anggraito Danangjoyo, kepada ANTARA di Brisbane, Rabu, menanggapi kontroversi tentang penyetaraan ijazah lulusan luar negeri Ditjen Dikti RI.
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) Queensland itu mengatakan, bobot mata kuliah keahlian (core courses) program sarjana (S-1) di perguruan tinggi selama tiga tahun relatif sama dengan "bobot pelajaran" program S-1 universitas-universitas di Tanah Air.
"Bedanya, di Indonesia kita buat skripsi, sedangkan di sini (Australia) tidak untuk program 'bachelor' (S1)," kata aktivis mahasiswa yang menjadi peserta program ganda (twinning program) S-1 Psikologi Universitas Indonesia (UI) dan UQ itu.
Anggraito mengatakan, sekalipun tidak ada kewajiban menulis skripsi bagi mahasiswa "undergraduate" (S-1) di Australia, sistim belajar-mengajar yang memadukan perkuliahan dan tutorial sangat membantu para mahasiswa menguasai bidang studinya dengan baik.
Terlebih lagi, para dosen program studi Psikologi UQ yang mengajar langsung para mahasiswa umumnya bergelar doktor atau setidaknya master dari berbagai universitas bermutu dunia. Karya-karya riset mereka pun mudah ditemukan di berbagai jurnal sains terakreditasi dunia.
Dilihat dari mutu lembaga dan kehidupan akademik, banyak unversitas di Australia telah memiliki keduanya, katanya.
Khusus bagi para mahasiswa Psikologi UI peserta "twinning program" di UQ angkatan tahun 2007 ke atas, mereka yang sudah menjalani perkuliahan di UI selama dua tahun dan di UQ dua tahun langsung lulus tanpa kewajiban menulis skripsi seperti angkatan-angkatan sebelum mereka, katanya.
Dalam kasus dirinya, Anggraito mengatakan, ia masih harus menulis skripsi selama enam bulan di UI setelah menyelesaikan masa studi di Psikologi UQ selama satu setengah tahun karena dia berasal dari angkatan 2006.
Berdasarkan Daftar Program Sarjana Universitas di Australia versi Ditjen Dikti RI yang diperoleh ANTARA dari pengurus pusat Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA), banyak program S-1 dari 34 perguruan tinggi di Australia dianggap hanya setara dengan D-III di Indonesia.
Lulusan ANU setara D-III
Para sarjana bidang bisnis (commerce) dan sains dari Universitas Nasional Australia (ANU), perguruan tinggi terbaik di Australia yang menduduki ranking 16 terbaik dunia, termasuk di antara ratusan program S-1 yang dianggap Ditjen Dikti hanya setara dengan lulusan D-III.
Nasib lulusan ANU dari program studi "commerce" dan "sains" yang hanya disetarakan lulusan D-III di Indonesia itu juga dialami sedikitnya 33 perguruan tinggi lainnya di Australia, termasuk lima perguruan tinggi negara itu yang menurut "Times Higher Education" (2008) masuk daftar 50 universitas terbaik dunia.
Kelima perguruan tinggi yang tamatan beberapa program sarjananya dikategorikan Ditjen Dikti hanya setara dengan D-III di Indonesia itu adalah Universitas Sydney (37), Universitas Melbourne (38), Universitas Queensland (43), Universitas New South Wales (45), dan Universitas Monash (47).
Merujuk pada Peraturan Ditjen Dikti No.82 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Ijazah Lulusan Perguruan Tinggi Luar Negeri, ijazah dari empat program sarjana Universitas Sydney yang dianggap setara dengan D-III adalah "Bachelor of Commerce", "Bachelor of Economics", "Bachelor of Science" dan Bachelor of Nursing".
Nasib yang sama juga dialami Universitas Queensland untuk ijazah lulusan program sarjana bidang studi sains pertanian (Bachelor of Agricultural Science), seni (Bachelor of Arts), bioteknologi (Bachelor of Science), dan psikologi (Bachelor of Arts).
Menanggapi penyetaraan versi Ditjen Dikti RI ini, Ketua Umum Pengurus Pusat PPIA Periode 2008-2009, Mohamad Fahmi, memprotes kebijakan yang dinilainya sangat merugikan para mahasiswa program sarjana (undergraduate) Indonesia di Australia.
"Daftar penyetaraan Dikti ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan cenderung asal-asalan," kata mahasiswa program doktor di Universitas La Trobe Melbourne itu dalam Laporan PPIA berjudul "Tanggapan dan Rekomendasi PPI Australia terhadap Pedoman Penilaian Ijazah Perguruan Tinggi di Australia" itu.
Menurut dia, kualitas lulusan tingkat sarjana yang ditempuh dalam durasi waktu tiga atau empat tahun di Australia itu sebenarnya tidak berbeda dengan tuntutan kualitas program sarjana di Indonesia seperti ditulis Kepmendiknas No. 232/u/2000 Pasal 3.
"Namun, penyetaraan Dikti menggunakan pukulan waktu empat tahun untuk program S1 mengabaikan ratifikasi Republik Indonesia pada 'Regional Convention on Recognition of Studies, Diplomas, and Degrees in Higher Education in Asia Pacific' di Bangkok, 16 Desember 1983," katanya.
PPIA merekomendasikan kepada Dikti agar menyetarakan semua program S1 di Australia yang memenuhi kriteria "Australian Qualification Framework" dengan S1 di Indonesia. Untuk itu, pihaknya mendesak Dikti agar menyisir ulang daftar penyetaraan yang sekarang digunakannya, kata Fahmi.
"Rekomendasi PPI Australia ini mewakili suara lebih dari lima belas ribu orang pelajar Indonesia di Australia. Sepatutnya Dikti membuka mata dengan realitas ini. Untuk ke depan secepatnya dilakukan perbaikan dalam sistem penyetaraan ijasah pendidikan yg ada," katanya.*) My updated news for ANTARA on Aug 5, 2009
No comments:
Post a Comment