Sunday, August 9, 2009

INDONESIA "OTORITER" SAMAKAN SARJANA AUSTRALIA DENGAN DIPLOMA III

Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof.Dr.Azyumardi Azra, mengatakan, Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) RI menerapkan "kebijakan yang sentralistik otoritarianistik" kepada para sarjana lulusan universitas di Australia dengan menyetarakan mereka dengan tamatan D-III di Indonesia.

"Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) RI janganlah membikin kebijakan yang sentralistik otoritarianistik," katanya dalam perbincangan dengan ANTARA di Brisbane, Minggu (9/8), sehubungan dengan kontroversi masalah penyetaraan ijazah sarjana lulusan Australia yang disetarakan Ditjen Dikti RI dengan lulusan Diploma (D)-III.

Akademisi Indonesia yang kini menjadi profesor kehormatan Universitas Melbourne itu mengatakan, terlepas dari apapun gelar akademis yang didapatkan seseorang yang telah menamatkan pendidikan sarjananya di universitas di Australia, sepatutnya Ditjen Dikti RI mengakui gelarnya setara dengan sarjana di Indonesia.

"Seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Australia, terlepas dari apapun gelarnya, gelar akademis yang diperolehnya itu telah terinternasionalisasi," kata rektor UIN Syarif Hidayatullah (1998-2006) yang menamatkan pendidikan magister dan doktoralnya dari Universitas Columbia Amerika Serikat (AS) itu.

Menjawab pertanyaan tentang perbedaan total jumlah satuan kredit semester (SKS) dan penulisan skripsi sering dijadikan dasar argumentasi pihak Ditjen Dikti RI dalam mengabsahkan kebijakan kontroversialnya itu, Prof.Azyumardi Azra mengatakan, Ditjen Dikti RI tidak sepatutnya mencampuri urusan universitas.

"Tolong Dikti hanya memberikan parameter-parameter kompetensi pendidikan Strata Satu (S1) saja. Apakah harus menggunakan skripsi atau tidak itu urusan perguruan tinggi," katanya.

Persoalan penulisan skripsi di berbagai universitas di Indonesia pun bukanlah satu kemutlakan karena ada perguruan tinggi yang mewajibkan para mahasiswanya menulis skripsi namun ada juga yang tidak, katanya.

"Yang paling penting adalah seorang mahasiswa itu sudah memenuhi standar umum untuk mendapatkan gelar kesarjanaan (S1) yang diakui di tingkat internasional," katanya.

Pengumpulan total jumlah SKS juga tidak sepatutnya dijadikan patokan oleh Ditjen Dikti RI tanpa melihat "value" (nilai) mata kuliah-mata kuliah yang diajarkan universitas-universitas di Australia. Masa kuliah tiga tahun pun tidak patut dipersoalkan karena program S-1 di Indonesia juga dapat diselesaikan tiga tahun, katanya.

Sejarawan Indonesia yang pernah menjadi akademisi tamu di Universitas Oxford dan sejumlah perguruan tinggi asing lainnya itu meminta Ditjen Dikti tidak menggunakan "standar baku" dalam kebijakan penyetaraan ijazah sarjana lulusan luar negeri, khususnya Australia.

Dalam masalah Kuliah Kerja Nyata (KKN) misalnya, perguruan tinggi-perguruan tinggi di Australia tidak menerapkannya seperti di Indonesia. "Jadi jangan memakai kacamata kuda. Nanti gelar master (S2) luar negeri pun di'downgrade' (diturunkan) pula menjadi S1," katanya.

Kontroversi masalah penyetaraan ijazah sarjana lulusan luar negeri muncul setelah pengurus pusat Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) memprotes Daftar Program Sarjana Universitas di Australia versi Ditjen Dikti RI yang menganggap banyak program S-1 dari 34 perguruan tinggi di Australia hanya setara D-III.

Para sarjana bidang bisnis (commerce) dan sains dari Universitas Nasional Australia (ANU), perguruan tinggi terbaik di Australia yang menduduki ranking 16 terbaik dunia, termasuk di antara ratusan program S-1 yang dianggap Ditjen Dikti hanya setara dengan lulusan Diploma Tiga (D-III).

Nasib lulusan ANU dari program studi "commerce" dan "sains" yang hanya disetarakan lulusan D-III di Indonesia itu juga dialami sedikitnya 33 perguruan tinggi lainnya di Australia, termasuk lima perguruan tinggi negara itu yang menurut "Times Higher Education" (2008) masuk daftar 50 universitas terbaik dunia.

Kelima perguruan tinggi yang tamatan beberapa program sarjananya dikategorikan Ditjen Dikti hanya setara dengan D-III di Indonesia itu adalah Universitas Sydney (37), Universitas Melbourne (38), Universitas Queensland (43), Universitas New South Wales (45), dan Universitas Monash (47).

Merujuk pada Peraturan Ditjen Dikti No.82 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Ijazah Lulusan Perguruan Tinggi Luar Negeri, ijazah dari empat program sarjana Universitas Sydney yang dianggap setara dengan D-III adalah "Bachelor of Commerce", "Bachelor of Economics", "Bachelor of Science" dan Bachelor of Nursing".

Nasib yang sama juga dialami Universitas Queensland untuk ijazah lulusan program sarjana bidang studi sains pertanian (Bachelor of Agricultural Science), seni (Bachelor of Arts), bioteknologi (Bachelor of Science), dan psikologi (Bachelor of Arts).

*) My news for ANTARA on Aug 10, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity