"THE BURNING SEASON", PESAN BAGI PELESTARIAN HUTAN INDONESIA

"The Burning Season", film dokumenter karya Cathy Henkel yang mengangkat isu perubahan iklim dengan fokus kisah pertarungan anak manusia dan alam yang berdampak pada kerusakan hutan tropis di Indonesia, ditayangkan di bioskop Kampus Universitas Queensland (UQ), St.Lucia, Brisbane, Kamis.

Film yang mengisahkan perjuangan panjang Dorjee Sun, pengusaha muda dan aktivis lingkungan hidup Australia keturunan Tibet, mencari solusi atas deforestasi di Indonesia yang mengancam orang utan itu ditonton puluhan mahasiswa dan dosen Bahasa Indonesia dari UQ dan Universitas Teknologi Queensland.

Dari film dokumenter (2008) ini, terungkap bagaimana pertarungan antara kepentingan para petani sawit miskin di Provinsi Jambi seperti Achmadi yang tidak menyadari dampak membakar untuk membersihkan lahan baru bagi tanaman sawitnya bagi kerusakan iklim global serta dampak deforestasi terhadap nasib orang utan.

Akibat musim kebakaran semak belukar dan hutan di Kalimantan setiap tahun, termasuk pembukaan lahan perkebunan sawit, ribuan ekor orang utan tercerabut dari habitatnya dan mati terbakar. Di antara aktivis lingkungan yang memberi perhatian pada nasib orang utan Kalimanta itu adalah Lone Droscher-Nielsen.

Bersama para sukarelawan di pusat rehabilitasi orang utan yang didirikannya di sebuah daerah di Kalimantan, wanita berkebangsaan Denmark ini menolong ratusan ekor hewan primata korban kebakaran hutan ini.

Namun usaha Dorjee Sun (32) bersama jaringan pro-lingkungan di Indonesia dan mancanegara yang menggulirkan ide skema "perdagangan karbon" sebagai solusi bagi pemulihan dan pemeliharaan kekayaan hutan tropis Indonesia, masa depan orang utan kembali cerah.

Melalui film ini, para penonton menyaksikan berbagai momen penting di seputar isu perubahan iklim dan komimen dunia yang menyertainya, seperti bencana asap di kawasan Asia Tenggara pada Agustus-Oktober 2006, KTT Iklim PBB di Bali (Desember 2007) hingga pertemuan para gubernur dunia di Amerika Serikat (November 2008).

Sepanjang film berdurasi 90 menit itu, para penonton dapat pula menyaksikan buah perjuangan Dorjee yang tanpa kenal menyerah meyakinkan berbagai pihak, termasuk kalangan perbankan dan para gubernur Aceh, Papua, dan Papua Barat, pada pentingnya pemeliharaan hutan tropis sebagai solusi bagi isu perubahan iklim.

Bahkan, pelestarian hutan menjadi salah satu poin penting yang disepakati dalam KTT Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) di Bali Desember 2007.

Seperti terungkap dalam film dokumenter yang telah diputar di beberapa kota utama Australia, seperti Sydney, Melbourne, dan Brisbane itu, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mengatakan, sumber penyebab pengrusakan hutan akibat penebangan liar adalah keserakahan dan kemiskinan.

Terhadap orang-orang serakah yang terlibat dalam penebangan liar itu, Irwandi mengatakan, ia tidak sulit untuk menangani mereka. "Saya bisa sangat tegas (kepada mereka) tapi terasa agak sulit bagi saya untuk menghadapi orang-orang yang makan sekali sehari dan untuk itu mereka harus menebang pohon," katanya.

Namun dengan keyakinannya pada ide dan langkah produktif Dorjee Sun, Irwandi meluncurkan "visi hijau" bagi pelestarian hutan alami Aceh yang berbasis pada pendekatan dari "bawah ke atas yang integratif". Dengan visi hijau ini, dia yakin dapat membantu kehidupan rakyatnya dari hutan yang tetap lestari.

Berbeda dengan Irwandi, petani kecil seperti Achmadi yang menafkahi keluarganya dari bertanam sawit yang dibangunnya dari pembukaan lahan semak belukar dan hutan dengan cara membakar, program pelestarian hutan lewat skema "perdagangan karbon" belum dianggap sebagai sesuatu yang manfaatnya dapat dirasakan langsung.

Tanggapan penonton

Menanggapi pesan film karya Cathy Henkel ini, Dosen senior Bahasa Indonesia UQ, Dr Geoff Woollams, mengatakan kepada ANTARA, film dokumenter ini menyadarkan para penonton tentang peran strategis pelestarian hutan tropis Indonesia bagi upaya bersama komunitas dunia menghadapi tantangan perubahan iklim global.

"Otonomi daerah di Indonesia juga memberikan kesempatan kepada para gubernur untuk berperan secara langsung," kata pakar bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Batak khususnya Karo ini.

Menurut Woollams, film dokumenter "The Burning Season" (Musim Pembakaran) yang sarat dengan pesan positif bagi pentingnya pelestarian hutan tropis bagi masa depan Indonesia dan dunia itu sepatutnya ditayangkan di lembaga pendidikan dari berbagai tingkatan di Indonesia.

Sementara itu, Mahasiswi Universitas Teknologi Queensland (QUT), Ili Tulloch, mengatakan, ia khawatir akan hilangnya hutan tropis Indonesia dengan berbagai dampaknya, termasuk pada nasib orang utan di Sumatera dan Kalimantan.

Adanya skema perdagangan karbon memunculkan harapan bagi upaya penghijauan kembali hutan dan pelestarian hutan namun ia menyangsikan apakah skema perdagangan karbon ini bisa berjalan dan dirasakan manfaatnya oleh orang seperti Achmadi atau tidak mengingat masih kuatnya korupsi di Indonesia, katanya.

"Jadi tidak ada jaminan bahwa program perdagangan karbon ini bisa benar-benar berjalan," kata mahasiswi tingkat akhir yang pernah magang di Stasiun Radio 68 H Jakarta ini.

Selain Dr Geoff Woollams, Indonesianis yang ikut menyaksikan penayangan film dokumenter dengan tiket masuk non-konsesi seharga 12 dolar Australia ini adalah Asosiat Prof.Helen Creese dan Dr.Darma Putra.

*) My news for ANTARA on Aug 13, 2009