Dubes Primo menyinggung masalah kelambanan proses pengadilan Australia yang berdampak buruk pada keluarga para nelayan yang tersangkut kasus ini dalam pertemuannya dengan Hakim Kepala Negara Bagian Northern Territory (NT) Brian Martin di Darwin, Kamis.
"Proses pengadilan kasus penangkapan ikan ilegal yang dialami para nelayan Indonesia terkadang berjalan sangat panjang. Bagaimana mereka bisa menafkahi keluarga mereka (di Indonesia-red.)," katanya.
Menanggapi pernyataan Dubes Primo, Hakim Kepala NT, Brian Martin, mengatakan, masa proses pengadilan sebenarnya bisa diperpendek jika para nelayan itu segera menyatakan bersalah.
Dengan kondisi ini mereka bisa segera dipulangkan ke Indonesia. Sebaliknya, jika para nelayan mengaku tidak bersalah, proses pengadilan akan memakan waktu, katanya.
Berkaitan dengan berapa lama masa penahanan bagi para nelayan dan nakhoda sejak mereka ditangkap, ditahan dan dipulangkan ke Indonesia, Wakil Konsul Fungsi Kekonsuleran Konsulat RI Darwin, Hidayat Zakaria, mengatakan, para anak buah kapal (ABK) yang baru pertama kali terbukti melanggar dipulangkan setelah 10 hari.
"Para ABK yan baru pertama kali ditangkap biasanya dipulangkan otoritas terkait Australia setelah sepuluh hari sejak penangkapan. Selama masa itu mereka ditahan di Pusat Penahanan Imigrasi Darwin," katanya.
Berbeda dengan ABK, nakhoda kapal yang baru pertama kali ditangkap harus menjalani proses pengadilan di Darwin yang lama proses pengadilannya bergantung pada "sibuk tidaknya" jadwal pengadilan. Jika jadwal pengadilan sedang tidak sibuk, prosesnya memakan waktu sekitar dua minggu, katanya.
"Kalau pengadilan lagi sibuk, proses pengadilan kasus nelayan kita (yang berstatus nakhoda-red.) bisa sekitar sebulan karena 'ngantri'," kata Hidayat.
Mewarnai hubungan
Dalam hubungan bilateral kedua negara, kasus penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran wilayah perairan utara Australia oleh para nelayan Indonesia menjadi salah satu masalah yang mewarnai dinamika hubungan disamping kasus penyelundupan manusia dalam sembilan tahun terakhir.
Pada 14 Juli malam misalnya, otoritas terkait Australia memulangkan empat dari lima orang nelayan Indonesia yang merupakan awak perahu ikan "KMN Memori" asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang ditangkap di zona penangkapan ikan negara itu 3 Juli lalu.
Ke-empat orang nelayan asal Kupang yang sempat mendekam di Pusat Penahanan Imigrasi Australia di Darwin sejak 5 Juli itu dipulangkan dengan menumpang pesawat Jetstar rute penerbangan Darwin-Denpasar.
Mereka adalah Iwan Juventino, Pipo Milano Jefta Nalle, Agun Prasetyo Aji, dan Frans Deten, sedangkan nakhoda perahu, Ical Afteo, hingga Kamis (16/7) masih tinggal di Pusat Penahanan.
Sepanjang 2008, jumlah nelayan yang ditangkap dan ditahan di Darwin kurang dari 600 orang atau turun drastis dibandingkan jumlah tahun 2007 yang tercatat 980 orang.
Bagi nelayan tradisional Indonesia, kedua negara menyepakati MoU Box 1974 yang mengizinkan mereka ke Ashmore Islands (gugusan pulau karang) milik Australia.
Namun para nelayan tradisional itu hanya diizinkan berlabuh di gugusan pulau karang milik Australia tersebut untu mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati selama mereka tidak mengambil hewan laut yang dilindungi, seperti teripang.
Berdasarkan MoU Box 1974 tersebut, kawasan yang dibolehkan bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.
Sekalipun diberi akses, Australia membatasi pemahaman kata "tradisional" itu hanya pada perahu-perahu dayung atau berlayar dengan alat tangkap yang tradisional pula. Perahu-perahu sudah menggunakan mesin apalagi GPS(Global Positioning System) tidak dibolehkan.
Australia mengabaikan faktor perkembangan teknologi kebaharian dan alat tangkap untuk mengurangi hak tradisional para nelayan Indonesia di wilayah-wilayah yang diatur dalam kesepakatan dua negara yang dikenal dengan "MoU Box 1974".
Dubes Primo berada di Darwin dalam rangka kunjungan kerja pertamanya ke negara bagian Northern Territory sejak menempati pos barunya di Canberra Februari 2009.
Selama kunjungan empat harinya itu, Dubes Primo didampingi Minister Counselor Bidang Pensosbud KBRI Canberra Raudin Anwar, Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dr.Aris Junaidi, dan Staf Fungsi Kekonsuleran KBRI Canberra Dani Eko Wibowo.
Konsul RI di Darwin Harbangan Napitupulu turut mendampingi Dubes Primo dan rombongan KBRI Canberra selama kunjungan kerjanya yang dijadwalkan berakhir Sabtu (18/7) itu.*) My news for ANTARA on July 16, 2009
No comments:
Post a Comment