Monday, March 9, 2009

PENANGANAN JENAZAH TONNI DI SYDNEY BUTUH BIAYA

Penanganan jenazah Tonni Musa Sirait, warga negara Indonesia yang meninggal di tempat kerjanya di Sydney 22 Februari lalu setelah merantau di kota itu selama 15 tahun dengan hanya berbekal visa kunjungan tiga bulan, membawa konsekuensi biaya yang tidak kecil bagi keluarganya di Tanah Air.

"Kita akan berusaha sebaik mungkin membantu keluarga mendiang Tonni tapi kita juga berharap keluarga ikut membantu kita (konsulat)," kata Sekretaris I/Konsul Fungsi Kekonsuleran KJRI Sydney, Edy Wardoyo, kepada ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane, Senin.

Pihak kepolisian New South Wales (NSW) sudah meminta KJRI Sydney segera memberitahu pihak keluarga dan menghubungi "funeral service" (perusahaan pelayanan pemakaman-red.) namun pihaknya masih mencari "funeral service" dan kargo termurah yang mau menangani jenazah Tonni hingga pengiriman ke Jakarta.

Edy mengatakan, pihaknya memperkirakan biaya penanganan dan pengiriman jenazah berkisar antara 3.500 dan 4.000 dolar Australia atau sekitar 30 juta rupiah. Total pengeluaran tersebut diperlukan untuk pengiriman jenazah sebesar 1.000-1.500 dolar dan "funeral service" 2.500 dolar Australia.

Opsi mengirim jenazah Tonni ke Tanah Air (Jakarta-red.) itu membawa konsekuensi biaya yang juah lebih murah dibandingkan jika jenazah dikubur di Sydney. "Kalau dikuburkan di Sydney, biayanya bisa mencapai sepuluh ribu dolar Australia atau lebih dari tujuh puluh juta rupiah," kata diplomat senior ini.

Selain dua opsi tersebut, pilihan terakhir yang tersedia adalah "kremasi" dengan biaya sekitar 2.500 dolar Australia. Sejauh ini, pihaknya berusaha mendapatkan "funeral service" termurah di Sydney namun pihaknya akan kembali menghubungi pihak keluarga Tonni untuk mengetahui opini mereka, kata Edy.

Hingga akhir hayatnya sejak merantau ke Sydney tahun 1994 dengan hanya berbekal visa kunjungan tiga bulan, Tonni Musa Sirait bekerja apa saja untuk bisa bertahan hidup, termasuk menjadi pelayan honorer di sejumlah restoran dan kafe di kawasan Paddington, katanya.

Selama 15 tahun merantau itu, Tonni tidak memiliki barang-barang berharga apapun selain uang tunai senilai 50 dolar Australia sebelum ia meninggal di tempat kerjanya 22 Februari lalu.

Cuma 50 dolar

"Mendiang Tonni hanya punya uang tunai 50 dolar (sekitar 400 ribu rupiah-red.). Dia tidak meninggalkan barang berharga dan tabungan apapun," kata Edy.

Dari pertemuan dengan polisi negara bagian NSW yang menangani kasus meninggalnya Tonni, pihaknya mengetahui bahwa mendiang Tonni Musa Sirait alias Tonni Alexander tidak meninggalkan barang-barang berharga dan tabungan apapun, katanya.

"Ada beberapa barang milik mendiang yang kini ada di tangan kita (KJRI Sydney-red.), yakni HP Nokia model lama, buku alamat, paspor, KTP, dan kartu mahasiswa yang sudah tidak berlaku," katanya.

Edy mengatakan, pihak keluarga mendiang Tonni di Tanah Air sudah mengetahui kabar duka ini karena ia sudah berbicara via telepon dengan Marwahab Sirait, kakak Tonni yang tinggal di daerah Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.

Pihak keluarga mengetahui musibah yang menimpa pemuda kelahiran 17 Juni 1965 ini dari berita media di Tanah Air setelah putus kontak dengan Tonni sejak 2000, katanya.

Kabar meninggalnya Tonni baru diketahui pihak Konsulat Jenderal RI (KJRI) Sydney pada 6 Maret karena polisi NSW terlambat memberitahu KJRI, katanya.

Sejak meninggal, jenazahnya disimpan di kamar mayat "Koroner" Sydney. Berdasarkan keterangan polisi NSW, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh pemuda yang pernah kuliah di jurusan Sastra Jepang Universitas Dharma Persada Jakarta (1993) dan tinggal di daerah Palmeriam, Matraman, Jakarta Timur ini, katanya.

Pihak kepolisian NSW memberi waktu enam bulan kepada pihak keluarganya di Tanah Air untuk mengklaim jenazah Tonni, katanya.

Dari peristiwa Tonni Musa Sirait ini, Edy berpesan kepada seluruh WNI yang berkunjung dan apalagi berdomisili untuk masa waktu yang panjang agar melapor diri segera setelah tiba guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kehilangan paspor, sakit, dan meninggal dunia.

*) My updated news for ANTARA on March 9, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity