Saturday, March 28, 2009

"KELETIHAN BERDEMOKRASI" ANCAM INDONESIA

Indonesia kini menjadi negara "demokrasi elektoral" yang sangat sibuk dalam lima tahun terakhir namun tanda-tanda "Keletihan berdemokrasi" mulai merasuki rakyat sehingga mereka sulit didorong untuk antusias menyambut Pemilu 2009, kata Pakar Politik UI, Eep Saefulloh Fatah.

"Pemilu bukanlah tujuan melainkan sarana untuk mencapai tujuan," katanya di depan puluhan warga Indonesia yang menghadiri acara "Bincang-Bincang Cerdas Pemilu 2009" Konsulat Jenderal RI Sydney yang berlangsung di kampus Universitas New South Wales (UNSW) Sydney, Sabtu.

Tampil bersama mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof.Dr.Ichlasul Amal dalam acara yang dipandu kandidat doktor ilmu politik Universitas Sydney, Riduan Zain, itu, Eep mengatakan, dalam lima tahun terakhir, bangsa Indonesia menyelenggarakan 503 kali pemilu mulai dari presiden hingga Pilkada.

Angka statistik penyelenggaraan pemilu di Indonesia yang rata-rata dua kali per minggu, delapan kali per bulan, dan seratus kali per tahun itu belum termasuk 65.260 penyelenggaraan pemilihan langsung kepala desa, katanya.

Hanya saja, pemilu-pemilu yang dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai berbagai tujuan ideal, seperti tegaknya akuntabilitas pejabat publik dan keadilan rakyat itu kini dihadapkan pada munculnya"keletihan berdemokrasi" sehingga rakyat sulit untuk diminta antusias menyongsong pemilu, katanya.

Bagi Eep, sistim demokrasi tetaplah sebuah pilihan yang tepat bagi bangsa Indonesia kendati kamampuan manajemen demokratisasi di negara ini masih berjalan tertatih-tatih.

Ia melihat kebebasan, kompetisi dan partisipasi yang dinikmati rakyat Indonesia sejak era reformasi hanya ada dalam sistim demokrasi dan bukan sistim otoriter dan totaliter.

Karena itu, perbaikan terhadap kondisi demokrasi yang ada saat ini merupakan tugas bersama seluruh elemen bangsa. Selain itu, Eep juga mengingatkan bahwa biaya demokrasi yang mahal bukan alasan bagi rakyat Indonesia untuk berpindah ke sistim lain. Namun ia mendorong terselenggaranya pemilu yang efisien di Indonesia.

Salah kaprah golput

Mengenai fenomena golongan putih (golput) atau mereka yang tidak memilih, Eep berpendapat, anggapan sejumlah orang bahwa golput itu "patriotik", "gagah", atau pun "keren" adalah pandangan yang sama sekali keliru karena golput yang terjadi di masa demokrasi saat ini berbeda dengan sikap Prof.Arief Budiman di era Soeharto.

Masalah golput juga bukanlah sesuatu yang homogen melainkan heterogen karena orang menjadi golput karena faktor administratif, teknis, politis, dan ideologis, katanya.

Dalam pandangan Eep, angka golput yang tinggi akan menghancurkan legitimasi pemerintah hasil pemilu adalah juga anggapan yang keliru karena golput tidak bersangkut-paut dengan legitimasi atau pun keabsahan melainkan dengan akuntabilitas.

Sementara itu, Prof.Ichlasul Amal memaparkan kilas balik sejarah demokrasi Indonesia di era reformasi Mei 1998 dan munculnya pertama kali istilah "golput" (golongan putih) yang tidak dapat dilepaskan dari gerakan Arief Budiman di awal 1970-an untuk merespons penyelenggaraan pemilu pertama di era Orde Baru.

Menurut analis politik yang juga ketua Dewan Pers ini, sikap golput yang diambil sebagian orang saat ini justru tidak relevan karena tidak ada paksaan di era reformasi ini.

Dalam acara yang diselingi hiburan band dari sekelompok anak muda Indonesia di Sydney, artis dan presenter kondang Indonesia, Dik Doank, juga menyampaikan pesan "jangan golput" dalam Pemilu legislatif 9 April dan Pemilu Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli mendatang.

"Malu kalau nggak nyontreng (mencentang)," kata artis dengan nama lengkap Raden Rizki Mulyawan Kertanegara Hayang Denda Kusuma dalam pesannya di sela menyanyikan lagu Iwan Fals berjudul "Surat Buat Wakil Rakyat" yang pernah populer tahun 1987 itu.

Acara yang dihadiri Konsul Jenderal RI di Sydney, Sudaryomo Hartosudarmo, Andi Nurpati (KPU), Edi Poerwana dari Pokja Pemilu Luar Negeri Deplu RI, serta segenap tokoh masyarakat dan pemuda Indonesia itu merupakan rangkaian kegiatan "voters education" (pendidikan pemilih) KJRI Sydney.

Minggu sore, Prof.Ichlasul Amal dan Dik Doank didampingi Sekretaris I/Konsul Fungsi Kekonsuleran KJRI Sydney, Edy Wardoyo, juga mengisi kegiatan yang sama di depan komunitas Indonesia di kampus Universitas Queensland (UQ), St.Lucia, Brisbane.

Di seluruh wilayah kerja Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Sydney yang meliputi negara bagian NSW, Queensland, dan Australia Selatan, sedikitnya ada 16.200 orang pemilih.

*) My news for ANTARA on March 28, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity