Peringatan perjalanan yang diberlakukan pemerintah Australia kepada Indonesia sejak 2001 merupakan hal teknis yang kompleks namun sikap politik Canberra itu telah membuat frustasi banyak pihak di Indonesia dan Australia, kata pakar politik, Prof.Dr.Andrew MacIntyre."Pemerintah Australia punya alasan melakukan ini tapi tidak sama sekali kemudian Indonesia menjadi negara abnormal," kata ahli politik yang juga Direktur Sekolah Ekonomi dan Pemerintah Crawford Universitas Nasional Australia (ANU) itu kepada ANTARA seusai ia mengikuti pidato PM Kevin Rudd di acara jamuan makan malam bagi para peserta Konferensi Hubungan Indonesia-Australia di Sydney, Kamis malam (19/2).
MacIntyre memandang persoalan pemberlakuan "travel advisory" (peringatan perjalanan) kepada Indonesia itu sebagai "isu teknis yang kompleks".
Tahun lalu, MacIntyre dan rekannya, Dr.Douglas E Ramage merampungkan kajian mereka bertajuk "Seeing Indonesia as a normal country: Implications for Australia" (Memandang Indonesia Sebagai Satu Negara Normal: Implikasinya Bagi Australia).
Dalam laporan riset yang dipublikasi Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) yang berbasis di Canberra itu, Prof.Andrew MacIntyre dan Dr.Douglas E Ramage merekomendasikan kepada pemerintah dan rakyat Australia untuk memahami dan melihat perkembangan terkini Indonesia yang demokratis dan stabil dengan kaca mata baru.
Mereka mengatakan, Indonesia kini merupakan sebuah negara demokratis yang normal dan memainkan peranan yang konstruktif baik di tingkat kawasan maupun dunia.
"Memikirkan Indonesia sebagai satu negara 'normal' akan membantu kita melihatnya dengan cara pandang baru. Ini adalah cara pandang analitis yang memberi kita kemampuan melihat berbagai peluang baru," kata kedua peneliti ini.
MacIntyre dan Ramage dalam laporan setebal 68 halaman itu, lebih lanjut mengatakan bahwa Indonesia tidak lagi menjadi negara yang terus-menerus menghadapi ketidakstabilan baik menyangkut kapasitas negara, kohesi sosial, maupun integritas wilayahnya.
Keduanya berkeyakinan bahwa Indonesia akan tumbuh menjadi sebuah negara dengan pendapatan menengah di dalam sistem pemerintahan yang demokratis sebagai satu nilai penting yang juga dianut Australia.
"Kita sekarang tahu bagaimana kemungkinan wajah Indonesia dalam satu dasawarsa mendatang," kata mereka.
Nilai demokrasi yang dipegang rakyat Indonesia kini dan di masa depan itu disebut mereka sebagai "berita baik" bagi Australia walaupun akan selalu ada kemungkinan bahwa kondisi Indonesia dan hubungan bilateralnya dengan Australia tidak lantas menjadi lebih baik secara dramatis dalam lima atau sepuluh tahun mendatang.
Namun terlepas dari pencapaian Indonesia, termasuk dalam upaya kontra-terorisme di dalam negeri, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) tetap mengelompokkan Indonesia ke dalam belasan negara di dunia yang patut diwaspadai setiap warga negaranya sebelum melakukan kunjungan.
Dimata DFAT, kondisi Indonesia tak berbeda dengan Aljazair, Angola, Republik Demokrasi Kongo, Timor Leste, Eritrea, Etiopia, Haiti, Liberia, Nigeria, Pakistan, Saudi Arabia, Sri Lanka, Yaman, dan Zimbabwe.
Peringkat status "travel advisory" (saran perjalanan) yang diberlakukan DFAT kepada Indonesia ini tidak pernah berubah sejak era John Howard hingga kubu Partai Buruh berkuasa di Canberra, yakni level empat atau hanya terpaut satu tingkat di bawah level lima (dilarang untuk dikunjungi).
Makna di balik peringatan perjalanan level empat itu adalah setiap warga Australia yang berniat berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia diminta untuk "mempertimbangkan kembali" rencana mereka itu karena alasan keamanan (ancaman terorisme).
*) My news for ANTARA on Feb 20, 2009

No comments:
Post a Comment