Saturday, February 21, 2009

"TRAVEL WARNING" MUNCULKAN FRUSTRASI DI AUSTRALIA DAN INDONESIA

Peringatan perjalanan yang diberlakukan pemerintah Australia kepada Indonesia sejak 2001 merupakan hal teknis yang kompleks namun sikap politik Canberra itu telah membuat frustasi banyak pihak di Indonesia dan Australia, kata pakar politik, Prof.Dr.Andrew MacIntyre.

"Pemerintah Australia punya alasan melakukan ini tapi tidak sama sekali kemudian Indonesia menjadi negara abnormal," kata ahli politik yang juga Direktur Sekolah Ekonomi dan Pemerintah Crawford Universitas Nasional Australia (ANU) itu kepada ANTARA seusai ia mengikuti pidato PM Kevin Rudd di acara jamuan makan malam bagi para peserta Konferensi Hubungan Indonesia-Australia di Sydney, Kamis malam (19/2).

MacIntyre memandang persoalan pemberlakuan "travel advisory" (peringatan perjalanan) kepada Indonesia itu sebagai "isu teknis yang kompleks".

Tahun lalu, MacIntyre dan rekannya, Dr.Douglas E Ramage merampungkan kajian mereka bertajuk "Seeing Indonesia as a normal country: Implications for Australia" (Memandang Indonesia Sebagai Satu Negara Normal: Implikasinya Bagi Australia).

Dalam laporan riset yang dipublikasi Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) yang berbasis di Canberra itu, Prof.Andrew MacIntyre dan Dr.Douglas E Ramage merekomendasikan kepada pemerintah dan rakyat Australia untuk memahami dan melihat perkembangan terkini Indonesia yang demokratis dan stabil dengan kaca mata baru.

Mereka mengatakan, Indonesia kini merupakan sebuah negara demokratis yang normal dan memainkan peranan yang konstruktif baik di tingkat kawasan maupun dunia.

"Memikirkan Indonesia sebagai satu negara 'normal' akan membantu kita melihatnya dengan cara pandang baru. Ini adalah cara pandang analitis yang memberi kita kemampuan melihat berbagai peluang baru," kata kedua peneliti ini.

MacIntyre dan Ramage dalam laporan setebal 68 halaman itu, lebih lanjut mengatakan bahwa Indonesia tidak lagi menjadi negara yang terus-menerus menghadapi ketidakstabilan baik menyangkut kapasitas negara, kohesi sosial, maupun integritas wilayahnya.

Keduanya berkeyakinan bahwa Indonesia akan tumbuh menjadi sebuah negara dengan pendapatan menengah di dalam sistem pemerintahan yang demokratis sebagai satu nilai penting yang juga dianut Australia.

"Kita sekarang tahu bagaimana kemungkinan wajah Indonesia dalam satu dasawarsa mendatang," kata mereka.

Nilai demokrasi yang dipegang rakyat Indonesia kini dan di masa depan itu disebut mereka sebagai "berita baik" bagi Australia walaupun akan selalu ada kemungkinan bahwa kondisi Indonesia dan hubungan bilateralnya dengan Australia tidak lantas menjadi lebih baik secara dramatis dalam lima atau sepuluh tahun mendatang.

Namun terlepas dari pencapaian Indonesia, termasuk dalam upaya kontra-terorisme di dalam negeri, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) tetap mengelompokkan Indonesia ke dalam belasan negara di dunia yang patut diwaspadai setiap warga negaranya sebelum melakukan kunjungan.

Dimata DFAT, kondisi Indonesia tak berbeda dengan Aljazair, Angola, Republik Demokrasi Kongo, Timor Leste, Eritrea, Etiopia, Haiti, Liberia, Nigeria, Pakistan, Saudi Arabia, Sri Lanka, Yaman, dan Zimbabwe.

Peringkat status "travel advisory" (saran perjalanan) yang diberlakukan DFAT kepada Indonesia ini tidak pernah berubah sejak era John Howard hingga kubu Partai Buruh berkuasa di Canberra, yakni level empat atau hanya terpaut satu tingkat di bawah level lima (dilarang untuk dikunjungi).

Makna di balik peringatan perjalanan level empat itu adalah setiap warga Australia yang berniat berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia diminta untuk "mempertimbangkan kembali" rencana mereka itu karena alasan keamanan (ancaman terorisme).

Berkaitan dengan masalah peringatan perjalanan kepada Indonesia itu, Menlu Stephen Smith dalam berbagai kesempatan secara konsisten mengatakan, pihaknya secara reguler meninjau ulang pembelakuannya.

*) My news for ANTARA on Feb 20, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity