Saturday, February 21, 2009

INDONESIANIS DESAK AUSTRALIA CABUT "TRAVEL WARNING"

Indonesianis Universitas Nasional Australia (ANU) Greg Fealy mengatakan, pemerintah Australia tak punya pilihan lain kecuali mencabut peringatan perjalanan (travel warnin) ke Indonesia jika Canberra benar-benar serius memperkuat pengajaran bahasa dan studi Indonesia di sekolah dan kampus.

"Dana 62 juta dolar Australia yang disiapkan pemerintah Australia untuk meningkatkan kembali studi bahasa dan studi Asia patut disambut baik namun hal itu hanya diperuntukkan bagi SMP/SMA dan bukan untuk perguruan tinggi. Hal itu juga menuntut adanya perubahan sikap pemerintah tentang 'travel warning'," katanya.

Kepada ANTARA yang menemuinya seusai PM Kevin Rudd menyampaikan pidato tentang kondisi, arah, dan masa depan hubungan Indonesia-Australia dalam acara makan malam Konferensi Hubungan Indonesia-Australia di Sydney, Kamis malam (19/2), ia mengatakan, pencabutan peringatan perjalanan itu sangat penting.

"Saya kira hasilnya tidak begitu besar karena murid tidak bisa berjalan ke Indonesia karena akibat jaminan asuransi yang begitu tinggi dan lain sebagainya. Jadi harus ada beberapa perubahan kebijakan politik pemerintah yang dilaksanakan dalam waktu dekat," katanya.

Namun Fealy menilai positif dan mengapresiasi isi pidato Perdana Menteri Kevin Rudd yang sangat optimis dengan masa depan hubungan bilateral Indonesia-Australia.

Semestinya Australia menjadi negara yang paling "Asia Literate" (melek Asia) di dunia barat. "Kalau itu yang terjadi, maka itu tidak lain oleh pemerintah. Pemerintah harus mengubah kebijaksanaannya yang sampai sekarang ini sedikit pelit terhadap studi bahasa Indonesia dan studi Indonesia di Australia. Jadi saya menunggu kalau dia (Kevin Rudd) memenuhi janji itu," katanya.

Tentang konferensi hubungan Indonesia-Australia sendiri yang mengangkat tema "mitra-mitra di era baru" itu, Greg Fealy mengatakan, hal ini mungkin terkait dengan agenda Australia dalam Kelompok Internasional G-20.

"Itu jelas sekali pemerintah Australia menginginkan kerja sama yang dekat Indonesia untuk menjagokan beberapa agenda dalam forum G20 itu ketimbang G-7. Saya kira G20 menjadi prioritas pemerintahan Rudd dan mungkin konferensi ini salah satu langkah untuk merealisasi kerja sama seperti itu," katanya.

Sebelumnya, dalam pidatonya, PM Rudd menegaskan posisi penting Indonesia bagi Australia dalam menghadapi tantangan bersama di tingkat regional dan global serta signifikansi kerja sama bilateral bagi masa depan kedua bangsa.

"Kita bekerja sama memberikan kontribusi bagi dunia," katanya. Pemimpin Australia itu mengatakan, kerja sama kedua negara dalam menghadapi krisis keuangan global saat ini misalnya bisa dilakukan di pertemuan G-20 di London April mendatang.

Tentang hubungan kedua negara, PM Rudd memberikan penilaian sangat baik ditandai dengan jumlah pertemuan dirinya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah tujuh kali dalam berbagai kesempatan dan tiga kali kunjungannya ke Indonesia dalam setahun usia pemerintahannya.

Hubungan negaranya dengan Indonesia "vital" bagi Australia dan apa pun tantangan yang dihadapi negaranya di kawasan membuka peluang kerja sama dengan Indonesia, katanya.

Konferensi Hubungan Indonesia-Australia yang mengangkat tema "Mitra-Mitra di Era Baru" itu diikuti sekitar 140 orang anggota delegasi dari kedua negara. Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi, seperti pengusaha, pegiat lingkungan hidup, masyarakat madani, akademisi dan peneliti, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan pekerja media.

Di antara mereka yang hadir adalah para eksekutif senior perusahaan-perusahaan besar kedua negara seperti Rio Tinto, BHP, Leightons, Thiess, Santos, ANZ, Commonwealth Bank, Deacons, Corrs, Allens, Kelompok Wings, Petrolog, SCTV, Indomobil, Sinar Mas Grup, dan PT Jababeka.

Dari kalangan pejabat pemerintah, peneliti, tokoh masyarakat, dan pegiat lembaga kajian, hadir Ketua Lembaga Kajian Lowy, Allan Gyngell, Greg Fealy (Indonesianis ANU), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawangsa, Andrew MacIntyre (ANU) dan Greg Barton (Universitas Monash).

Dari kalangan anggota parlemen dan pekerja media kedua negara, hadir antara lain Ketua Majelis Rendah Australia, Harry Jenkins, Ketua Komisi I DPR-RI Theo Sambuaga, serta para redaktur senior Harian The Jakarta Post, ANTV, dan Majalah Tempo.

Dalam konferensi yang berlangsung hingga Sabtu siang itu, delegasi RI juga diperkuat oleh kehadiran Menlu RI Nur Hassan Wirajuda, Menteri Perdagangan Mari E Pangestu, dan Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar.

Dari pihak Australia, hadir Menlu Stephen Smith dan para menteri perdagangan, menteri lingkungan hidup dan menteri perubahan iklim.

*) My updated news for ANTARA on Feb 20, 2009

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity