Konferensi Hubungan Indonesia-Australia yang diikuti sekitar 140 orang anggota delegasi dari kedua negara berakhir Sabtu siang di Sydney dengan satu optimisme baru untuk mengatasi bersama kesalahpahaman publik sembari terus mengembangkan dan memperkuat basis kerja sama di tingkat rakyat.Indonesia yang demokratis dan menghargai keberagaman serta pemerintahan baru Australia di bawah Perdana Menteri Kevin Rudd yang lebih ingin merangkul Asia dipandang sebagai momentum bagi kedua rakyat untuk ikut memperkuat fondasi hubungan bilateral di era baru bagi masa depan kedua bangsa.
Optimisme baru dalam menatap masa depan kemitraan kedua bangsa itu merupakan benang merah dari dialog yang berkembang dalam konferensi yang diawali dengan pidato kunci Perdana Menteri Kevin Rudd 19 Februari malam dan diikuti dengan pidato kunci menteri luar negeri Australia-Indonesia pada hari berikutnya.
Dalam pemaparannya tentang hasil konferensi ini, Direktur Eksekutif Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Dr.Rizal Sukma, mengatakan, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi berbagai elemen masyarakat kedua negara untuk bekerja sama memperbaiki persepsi dan ikut memperkuat hubungan bilateral.
Rizal Sukma yang menjadi salah satu pembicara utama dalam konferensi itu menyebutkan setidaknya ada tiga isu yang membentuk persepsi publik Australia tentang Indonesia, yakni isu-isu pertahanan dan militer, hak azasi manusia, dan citra Indonesia sebagai negara yang penuh aksi kekerasan.
Namun demokrasi yang sudah menjadi pilihan Indonesia semakin memungkinkannya menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada melalui dialog dan bukan kekerasan, katanya.
Optimisme yang sama juga disampaikan Deputi Menko Perekonomian, Mahendra Siregar. Ia mengatakan, visi PM Rudd yang ingin mendekatkan Australia pada Asia dan ingin mengenal lebih baik Indonesia tidak hanya sekadar "pidato" melainkan sebuah kesiapan pemerintah Australia menjadikan dua negara mitra di era baru.
"Kita, para 'stakeholders' (pemangku kepentingan-red.), ingin memanfaatkan momentum era baru ini untuk memperkuat hubungan di tingkat rakyat supaya tidak naik turun," katanya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Australia-Indonesia (AII) Tim Lindsey, mengatakan, persoalan persepsi publik tentang hubungan kedua negara tidak mudah namun dapat diatasi dengan peran berbagai elemen masyarakat madani, khususnya media, dalam mengembangkan "narasi baru" tentang Indonesia dan Australia saat ini.
Beberapa bidang yang mendapat perhatian khusus adalah pendidikan, kepemudaan, dan dialog antaragama walaupun begitu banyak usul mengemuka selama konferensi.
Bagi Australia, peningkatan kapasitas warganya untuk lebih mudah memahami Indonesia sangat diperlukan dan jejaring kerja sama di tingkat rakyat yang selama ini sudah terbangun akan terus dikembangkan untuk mendukung terbangunnya hubungan bilateral yang lebih kokoh dan lebih dalam, katanya.
"Konferensi di Sydney ini akan dilanjutkan dengan konferensi yang sama di Jakarta," kata pakar hukum Islam Universitas Melbourne yang beristrikan penulis wanita Indonesia, Julia Suryakusuma, itu.
Masukan bagi pemerintah
Nikolas Feith Tan, anggota delegasi Australia yang juga tampil sebagai pembicara di konferensi itu, mengatakan, laporan akhir tentang hasil konferensi baru akan rampung sekitar dua minggu lagi.
Namun pengajaran bahasa Indonesia dari SD hingga universitas di Australia dan pengajaran bahasa Inggris dari SD hingga perguruan tinggi di Indonesia oleh para peserta pertukaran pemuda kedua negara akan menjadi salah satu kegiatan, katanya.
Laporan hasil Konferensi Hubungan Indonesia-Australia di Sydney itu akan disampaikan kepada kedua pemerintah, katanya menambahkan.
Konferensi yang berakhir Sabtu siang itu diikuti sekitar 140 orang anggota delegasi dari kedua negara.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi, seperti pengusaha, pegiat lingkungan hidup, masyarakat madani, akademisi dan peneliti, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan pekerja media.
Di antara mereka yang hadir adalah para eksekutif senior perusahaan-perusahaan besar kedua negara seperti Rio Tinto, BHP, Leightons, Thiess, Santos, ANZ, Commonwealth Bank, Deacons, Corrs, Allens, Kelompok Wings, Petrolog, SCTV, Indomobil, Sinar Mas Grup, dan PT Jababeka.
Dari kalangan pejabat pemerintah, peneliti, tokoh masyarakat, dan pegiat lembaga kajian, hadir Ketua Lembaga Kajian Lowy, Allan Gyngell, Greg Fealy (Indonesianis ANU), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawangsa, Andrew MacIntyre (ANU) dan Greg Barton (Universitas Monash).
Dari kalangan anggota parlemen dan pekerja media kedua negara, hadir antara lain Ketua Majelis Rendah Australia, Harry Jenkins, Ketua Komisi I DPR-RI Theo Sambuaga, serta para redaktur senior Harian The Jakarta Post, ANTV, dan Majalah Tempo.*) My news for ANTARA on Feb 21, 2009

No comments:
Post a Comment