Australia sepatutnya menampilkan diri sebagai bagian dari Asia supaya lebih mudah diterima. Jika Australia tetap menganggap diri sebagai negara barat di kawasan Asia Pasifik, jarak dengan negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, akan selalu ada, kata seorang tokoh Muslim Indonesia."Harus ada kesamaan 'chemistry' (kesamaan kimia) untuk memperlancar hubungan Australia dengan Indonesia. Untuk itu, Australia perlu menampilkan diri sebagai bagian dari Asia sehingga kesamaan kimianya 'nyambung'," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, di Sydney, Jumat.
Dijumpai di sela kehadirannya dalam Konferensi Hubungan Indonesia-Australia yang berlangsung hingga Sabtu siang (21/2), Din mengatakan, dalam konteks hubungan kedua negara, selama ini hubungannya sering mengalami pasang-surut dan mengandung sentimen publik yang tinggi.
Menurut tokoh Muhammadiyah ini, setidaknya ada dua konteks utama yang menyertai pasang surutnya hubungan tersebut, yakni masalah Timor Timur dan kampanye perang melawan terorisme sejak terjadinya insiden Bom Bali 2002 yang menimbulkan banyak korban jiwa warga Australia.
Namun beberapa tahun terakhir ini, hubungan kedua negara sudah semakin membaik tidak hanya di tingkat pemerintah tetapi juga antara masyarakat dan pemerintah (people-to-government) seperti ditunjukkan oleh adanya kerja sama pemerintah Australia dengan PP Muhammadiyah, katanya.
Dalam kunjungan Perdana Menteri Kevin Rudd ke Jakarta Juni 2008, ditandatangani nota kesepahaman kerja sama pemerintah Australia dengan Muhammadiyah di bidang pendidikan, manajemen penanganan bencana, penguatan demokrasi dan pengayaan budaya, kata Din Syamsuddin.
Konferensi Hubungan Indonesia-Australia di Sydney ini memiliki nilai strategis bagi upaya memperkuat hubungan kedua negara secara substantif.
"Yang perlu dibahas adalah langkah-langkah konkrit meningkatkan hubungan ekonomi, politik, dan budaya. Butir ketiga itu penting dilakukan melalui program pertukaran generasi muda dan tokoh-tokoh ormas Islam yang telah pun diselenggarakan Australia melalui program pertukaran pemimpin muda Muslim kedua negara," katanya.
Dukungan Bishop
Penilaian positif tentang konferensi tersebut juga disampaikan Wakil Ketua Partai Liberal Australia yang juga Menteri Luar Negeri Bayangan Oposisi Australia, Julie Bishop.
Bishop yang ditemui ANTARA di sela konferensi itu mengatakan, banyak isu penting yang dibahas terkait dengan bagaimana menggali peluang kerja sama memperkuat persahabatan kedua negara. Para anggota delegasi kedua negara bertukar fikiran tentang bagaimana merespons kepentingan bersama di kawasan.
"Di antara isu-isu strategis dan memenuhi kepentingan bersama kedua negara itu adalah bisnis dan keamanan serta bagaimana kita merespons tantangan krisis keuangan global," katanya.
Konferensi Hubungan Indonesia-Australia yang meretas era baru kemitraan kedua negara itu Jumat memasuki sesi inti dengan menghadirkan Menlu Stephen Smith dan Menlu Hassan Wirajuda.
Keduanya menyampaikan pidato yang diikuti sesi tanya-jawab dan terbuka bagi wartawan. Setelah itu, peserta konferensi yang berlangsung di James Cook Ballroom Hotel InterContinental Sydney itu mengikuti sesi tertutup yang mengupas isu demokrasi, pembangunan ekonomi, bisnis dan investasi dan lingkungan hidup.
Dalam sesi pertama yang mengupas "dinamika, peluang dan tantangan bersama Indonesia-Australia sebagai dua negara demokratis di era politik baru" yang dipandu pengamat politik Universitas Nasional Australia (ANU) Prof Andrew MacIntyre, dua akademisi Indonesia dan seorang pejabat pemerintah Australia menjadi panelis.
Mereka adalah Dr Rizal Sukma dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Jakarta, Dr Anies Baswedan (Universitas Paramadina) dan Clare Martin dari Dewan Layanan Sosial Australia (ACOSS).
Dalam sesi dua yang mengupas masalah peluang baru kerjasama dan pembangunan ekonomi, bisnis dan investasi, Sekretaris Parlemen Australia untuk Urusan Pembangunan Internasional Bob McMullan dan Ketua BKPM Muhammad Lutfi tampil sebagai pembicara bersama dua pengusaha.
Jumat sore, peserta konferensi mengupas isu lingkungan yang menghadirkan Menteri Perubahan Iklim Australia Penny Wong, Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Mas Achmad Santosa (pegiat hukum lingkungan) dan Oliver Yates dari Macquaire Capital Australia.
Sebelumnya, dalam sesi pembukaan konferensi, Menlu Australia Stephen Smith dan Menlu Hassan Wirajuda menyampaikan pidato yang mengupas arah, kilas balik sejarah dan masa depan hubungan kedua negara dengan menekankan pentingnya aspek hubungan di tingkat rakyat.
Ancaman
Menlu Smith mengingatkan, dua ancaman bagi hubungan kedua negara, yakni sikap "berpuas diri" dan "kejutan" (surprise), sedangkan Menlu Wirajuda mengingatkan bahwa hubungan bilateral ini "bukan hanya antara dua pemerintah saja".
"Rakyat Australia dan Indonesia merupakan pemilik bersama hubungan ini," katanya.
Karena itu, Hassan Wirajuda meminta seluruh pemangku kepentingan dari kalangan non-pemerintah di kedua negara, seperti pengusaha, akademisi, pekerja media, kaum wanita dan pemuda, pelajar, petani, kalangan eksekutif dan artis agar terlibat dalam apa yang disebutnya "diplomasi total" bagi penguatan fondasi hubungan.
"Kemitraan (dua bangsa-red.) pertama dibangun oleh saling mengenal dan menghargai. Kemudian diperluas dan diperkuat dengan aksi melalui kerja sama yang saling menguntungkan," katanya.
Konferensi yang berlangsung sampai Sabtu siang (21/2) itu diikuti sekitar 140 orang anggota delegasi dari kedua negara.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi, seperti pengusaha, pegiat lingkungan hidup, masyarakat madani, akademisi dan peneliti, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan pekerja media.
Di antara mereka yang hadir adalah para eksekutif senior perusahaan-perusahaan besar kedua negara seperti Rio Tinto, BHP, Leightons, Thiess, Santos, ANZ, Commonwealth Bank, Deacons, Corrs, Allens, Kelompok Wings, Petrolog, SCTV, Indomobil, Sinar Mas Grup, dan PT Jababeka.
Dari kalangan pejabat pemerintah, peneliti, tokoh masyarakat, dan pegiat lembaga kajian, hadir Ketua Lembaga Kajian Lowy, Allan Gyngell, Greg Fealy (Indonesianis ANU), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawangsa, Andrew MacIntyre (ANU) dan Greg Barton (Universitas Monash).
*) My news for ANTARA on Feb 20, 2009

No comments:
Post a Comment