Mantan Dubes RI untuk Australia, Sabam Siagian, mengatakan, pemerintah Indonesia dan Australia patut memperhatian berbagai pergeseran di kedua negara dalam 10-15 tahun, sebelum terlampau optimis memandang masa depan hubungan bilateral."Pidato Rudd (Perdana Menteri Kevin Rudd-red.) tadi bagus. Itu satu hal yang baik tapi di hal lain ada soal-soal dalam hubungan bilateral kita yang belum disentuh. Soalnya ialah Indonesia yang bagaimana dalam 10-15 tahun lagi akan muncul dan Australia yang bagaimana 10-15 tahun lagi akan muncul," katanya di Sydney, Jumat.
Penilaian itu disampaikannya kepada ANTARA menanggapi isi pidato PM Kevin Rudd tentang kondisi, arah, dan masa depan hubungan Indonesia-Australia dalam acara makan malam Konferensi Hubungan Indonesia-Australia sekaligus peringatan 20 tahun berdirinya Institut Australia-Indonesia (AII) yang dihadiri ratusan peserta konferensi dan undangan di aula gedung galeri seni New South Wales, Sydney, Kamis malam (19/2).
Mantan Dubes RI untuk Australia yang kini redaktur senior Harian The Jakarta Post itu mengatakan, pergeseran-pergeseran besar di kedua negara itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam 10-15 tahun mendatang.
Di Australia, misalnya, bukan tidak mungkin dalam 10-15 tahun mendatang, perusahaan-perusahaan pertambangan besar negara itu dikuasai oleh China, kata Siagian.
Ia mendasarkan argumentasinya pada apa yang ia amati dari berita-berita besar di media dalam dua tiga hari terakhir ini tentang BUMN China membeli saham-saham perusahaan pertambangan besar Australia seperti Rio Tinto.
"Ini satu perkembangan luar biasa yang terjadi bagi rakyat biasa dan kelas menengah. Mereka tidak sadar kalau dalam 10-15 tahun lagi perusahaan-perusahaan besar Australia itu akan dikuasai China."
Incaran China pada perusahaan-perusahaan pertambangan besar Australia itu, katanya, sebenarnya sudah terjadi pada saat dirinya bertugas sebagai Dubes RI di Canberra awal 1990-an.
"Rekan saya, Dubes China, sudah sibuk mempelajari perusahaan-perusahaan besar pertambangan Australia. Dia selalu berkeliling Australia dan saya tanya dari mana? Dia terus terang pada saya. Ini pergeseran-pergeseran yang terjadi di Australia. Ada juga pergeseran di Indonesia," katanya.
Indonesia dan Australia perlu bersikap terhadap perubahan-perubahan besar yang akan terjadi di kedua negara sebelum kedua pihak terlalu optimis bahwa hubungan bilateral kedua negara "oke-oke saja" seperti yang dikatakan PM Rudd dalam pidato-pidatonya.
"Pidato-pidatonya itu bagus tapi kita juga mesti tetap waspada," katanya.
Posisi penting
Sebelumnya, dalam pidatonya di acara jamuan makan malam itu, PM Rudd menegaskan posisi penting Indonesia bagi Australia dalam menghadapi tantangan bersama di tingkat regional dan global serta signifikansi kerja sama bilateral bagi masa depan kedua bangsa.
"Kita bekerja sama memberikan kontribusi bagi dunia," katanya.
Pemimpin Australia itu mengatakan, kerja sama kedua negara dalam menghadapi krisis keuangan global saat ini misalnya bisa dilakukan di pertemuan G-20 di London April mendatang.
Tentang hubungan Indonesia dan Australia, PM Rudd memberikan penilaian sangat baik ditandai dengan jumlah pertemuan dirinya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah tujuh kali dalam berbagai kesempatan dan tiga kali kunjungannya ke Indonesia dalam setahun usia pemerintahannya.
Hubungan negaranya dengan Indonesia "vital" bagi Australia dan apa pun tantangan yang dihadapi negaranya di kawasan membuka peluang kerja sama dengan Indonesia, katanya.
Konferensi Hubungan Indonesia-Australia yang mengangkat tema "Mitra-Mitra di Era Baru" itu diikuti sekitar 140 orang anggota delegasi dari kedua negara.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi, seperti pengusaha, pegiat lingkungan hidup, masyarakat madani, akademisi dan peneliti, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan pekerja media.
Di antara mereka yang hadir adalah para eksekutif senior perusahaan-perusahaan besar kedua negara seperti Rio Tinto, BHP, Leightons, Thiess, Santos, ANZ, Commonwealth Bank, Deacons, Corrs, Allens, Kelompok Wings, Petrolog, SCTV, Indomobil, Sinar Mas Grup, dan PT Jababeka.
Dari kalangan pejabat pemerintah, peneliti, tokoh masyarakat, dan pegiat lembaga kajian, hadir Ketua Lembaga Kajian Lowy, Allan Gyngell, Greg Fealy (Indonesianis ANU), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawangsa, Andrew MacIntyre (ANU) dan Greg Barton (Universitas Monash).
Dari kalangan anggota parlemen dan pekerja media kedua negara, hadir antara lain Ketua Majelis Rendah Australia, Harry Jenkins, Ketua Komisi I DPR-RI Theo Sambuaga, serta para redaktur senior Harian The Jakarta Post, ANTV, dan Majalah Tempo.
Dalam konferensi yang berlangsung hingga Sabtu siang itu, delegasi RI juga diperkuat oleh kehadiran Menlu RI Nur Hassan Wirajuda, Menteri Perdagangan Mari E Pangestu, dan Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar.
*) My updated news for ANTARA on Feb 20, 2009

No comments:
Post a Comment