Indonesia dan Australia sepakat membawa penyelesaian masalah penyelundupan migran gelap dan perdagangan manusia ke forum "Bali Process", yakni pertemuan tingkat menteri yang khusus membahas dua jenis kasus kejahatan trans-nasional ini.Dukungan pada "Bali Process" itu disampaikan Menlu Australia Stephen Smith dan Menlu RI Nur Hassan Wirajuda dalam konferensi pers bersama seusai pertemuan bilateral mereka di Sydney, Kamis sore.
Menlu Smith mengatakan, pertemuan kembali tingkat menteri "Bali Process" akan dilaksanakan April mendatang. Pertemuan tersebut diawali dengan pertemuan para pejabat tinggi negara-negara yang diundang di kota Brisbane pekan depan.
Dirinya dan Menlu Wirajuda sempat menyinggung isu-isu yang terkait dengan penyelundupan manusia dan pertemuan Bali Process itu dalam pertemuan bilateral mereka, termasuk isu pengungsi Muslim Rohingya.
Menlu Wirajuda menimpali bahwa bagi Indonesia, isu penyelundupan manusia bukan masalah bilateral Indonesia dan Australia sebagai negara transit dan negara tujuan para migran gelap melainkan masalah internasional yang melibatkan negara asal, negara transit dan negara tujuan.
"Bagaimana menyelesaikan masalah migran ilegal ini tetap berpulang pada negara asal mereka," katanya.
Menlu Wirajuda selanjutnya menjelaskan tentang kedatangan sekitar 400 orang warga Muslim Rohingya yang disebut Wirajuda sebagai "fenomena baru yang dihadapi Indonesia".
"Indonesia sudah memberikan perlindungan, makanan dan layanan kesehatan kepada mereka. Sekitar 51 orang bahkan sempat dirawat di rumah sakit," katanya.
Posisi Thailand
Sebelumnya, dalam masalah ini, pemerintah Thailand dilaporkan sudah menyetujui usul Indonesia untuk menjalankan mekanisme "Bali Process" dalam menyelesaikan masalah gelombang" manusia perahu" Rohingya, Myanmar.
Masalah pengungsi Muslim Rohingya itu telah pun mengundang perhatian kalangan Muslim Australia.
Federasi Dewan Islam Australia (AFIC) bahkan berharap pemerintah RI tidak mendeportasi para pengungsi Muslim Rohingya ke negara asal mereka, Myanmar.
Sebaliknya AFIC berharap Indonesia menampung mereka untuk sementara waktu sampai ada penyelesaian terbaik atas masalah ini.
"Kami berharap pemerintah RI menunjukkan rasa kasihannya pada penderitaan para Muslim Rohingya yang merupakan kelompok minoritas tertindas di Myanmar," kata Presiden AFIC, Ikebal Adam Patel, dalam suratnya kepada Kedutaan Besar RI di Canberra baru-baru ini.
Pemerintah RI diharapkan tidak mengembalikan para pengungsi Muslim Rohingya itu ke tangan pemerintah mereka yang tiran karena dikhawatirkan hukuman mati menunggu mereka disana.
"Atas nama kemanusiaan dan rasa kasihan, kami berharap pemerintah RI mempertimbangkan nasib mereka dan mengizinkan mereka menetap sementara waktu di Indonesia sampai ada penyelesaian yang pantas," kata Patel.
Sebanyak 391 orang "manusia perahu" Rohingya kini ditampung di dua tempat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah sempat terkatung-katung di tengah laut selama beberapa lama dan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh otoritas keamanan Thailand.
Mereka tiba di wilayah provinsi paling utara Pulau Sumatera itu dalam dua gelombang, yakni 193 orang pada 7 Januari dan 198 orang lainnya pada 3 Februari.
Gelombang pertama para pengungsi Muslim Rohingya ditampung sementara di Pulau Weh, Sabang, sedangkan yang datang 3 Februari ditampung di Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur.
Januari lalu, pihak berwenang Thailand dilaporkan telah melepas sedikitnya 1000 orang Muslim Rohingya ke laut lepas dengan perahu-perahu mereka tanpa dilengkapi perlengkapan dan stok air/makanan yang memadai.
*) My news for ANTARA on Feb 19, 2009

No comments:
Post a Comment