Wednesday, December 3, 2008

ISU PAPUA DALAM BINGKAI HUBUNGAN INDONESIA-AUSTRALIA


Oleh Rahmad Nasution

Kepulangan dua warga Indonesia asal Papua penerima visa proteksi pemerintah Australia tahun 2006, Yunus Wainggai, dan putrinya, Anike Wainggai, ke Tanah Air 29 November lalu kembali memukul kelompok separatis Papua Barat pimpinan Hermai Wanggai di Australia.

Kembalinya Yunus dan anaknya yang berusia tujuh tahun atas kemauan sendiri itu juga semakin menguak kebohongan Herman Wanggai tentang kondisi tidak aman dan merasa terancam di Indonesia yang menjadi alasan para pencari suaka tahun 2006 menyeberang ke Australia untuk mencari perlindungan.

Kepulangan Yunus dan putrinya ini sekaligus menjadi bukti bertambah dewasanya hubungan bilateral Indonesia-Australia. Kedewasaan yang tercermin dari relatif lancarnya proses kepulangan Yunus dan anaknya ke Tanah Air itu hampir tidak mungkin terjadi di era pemerintahan John Howard.

Sebaliknya, justru di era Howardlah, masalah 43 orang pencari suaka asal Papua Barat yang mengarungi lautan dengan menumpang kapal kayu yang dinakhodai Yunus Wainggai, menembus pertahanan laut Australia, dan kemudian terdampar di Cape York awal 2006 itu terjadi.

Kasus ini sempat memperburuk hubungan Jakarta-Canberra ditandai dengan penarikan sementara Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb setelah pemerintah Australia menghadiahi visa proteksi sementara kepada orang-orang Indonesia asal Papua Barat ini.

Namun kasus yang telah menimbulkan insiden diplomatik serius dan memperdalam ketidakpercayaan sebagian publik Indonesia pada Australia itu pula yang mendorong pemerintah kedua negara duduk bersama untuk merumuskan perjanjian keamanan yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Lombok tahun 2006.

Perjanjian yang ditandatangani di Lombok oleh menteri luar negeri kedua negara pada 13 November 2006 dan resmi berlaku sejak 7 Februari 2008 itu menegaskan komitmen Indonesia dan Australia untuk saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah masing-masing negara.

Konsisten dengan kewajiban internasional dan hukum nasional masing-masing, kedua negara sepakat untuk tidak memberi dukungan apapun atau juga berpartisipasi dalam kegiatan perorangan maupun entitas yang dapat mengancam stabilitas, kedaulatan atau keutuhan wilayah pihak lain, termasuk mereka yang berupaya memakai wilayah salah satu negara untuk mendorong atau melakukan kegiatan-kegiatan separatisme.

Kepulangan Yunus Wainggai dan putrinya, Anike, ke Indonesia melalui penerbangan Sydney-Jakarta 29 November lalu itu merupakan peristiwa kedua yang membuat Herman Wainggai kebakaran jenggot setelah kepulangan Hana Gobay dan Yubel Kareni ke Indonesia 23 September lalu.

Seperti terungkap dari jaringan komunikasi antarpara pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM), Herman Wainggai menuding kepulangan keduanya sebagai buah dari operasi intelijen Indonesia di Australia dan Vanuatu namun tuduhan ilusifnya itu dibantah sendiri oleh Gembong OPM di Vanuatu, Andy Ayamiseba.

Andy Ayamiseba yang dituding Herman mematahkan kampanye diplomatik OPM di luar negeri untuk menjelek-jelekkan Indonesia karena mendukung keinginan Yunus, Anike, dan Siti Wainggai (istri Yunus yang menetap di Vanuatu-red.) untuk pulang membantah apa yang disebut Herman sebagai operasi intelijen Indonesia itu.

"Kaka tau (tahu) ade Yunus dan Anike pulang ke tanah air hari ini (29 November) atas kemauan mereka sendiri, karena alasan pribadi dan ibu Siti (istri Yunus-red.) akan menyusul mereka juga atas kemauan sendiri dan kaka tidak berhak untuk menahan Siti di sini," kata Andy kepada Herman Wanggai dalam surat elektronisnya.

Terkait dengan urusan Yunus dan istrinya dengan KBRI Canberra, gembong OPM di Vanuatu itu melihatnya sebagai "urusan mereka sendiri (yang) disaksikan oleh Australian Authorities(pejabat pemerintah Australia) dan Pengaca Yunus sendiri."

Lalu, menurut Andy, pihak yang mewawancarai Siti Wainggai di Vanuatu adalah petugas Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) yang didampingi penerjemah berbahasa Indonesia, serta kepala imigrasi Vanuatu. "Jadi ini semua dorang dua suami istri punya kemauan sendiri, dan kaka sama sekali tidak berhak mencampuri keputusan suami dan istri."

Surat Siti Wainggai

Apa yang dijelaskan Andy Ayamiseba itu sejalan dengan isi "statement of fact" (pernyataan fakta) Siti Wainggai dari Port Villa, ibukota negara Vanuatu, tertanggal 27 November 2008.

Dalam surat yang ditandatangani Siti dan diberi stempel resmi "Trans-Melanesian Lawyers" warna merah itu, terungkap keinginannya untuk pulang ke Jayapura karena putri tertua mereka yang tinggal di Jayapura sedang sakit keras karena komplikasi paru-paru dan pihak keluarga memintanya pulang untuk merawatnya.

"Suami saya dan saya memutuskan untuk pulang setelah lama sekali menanti status pengungsi tidak kunjung datang dari pemerintah Australia, serta perpisah saya dengan keluarga yang sudah berjalan lebih dari tiga tahun," kata Siti dalam suratnya itu.

Terhadap kepulangan Yunus dan Anike, Deplu RI di Jakarta menegaskan bahwa, seperti halnya kepulangan Hana dan Yubel pada 23 September lalu, kepulangan ayah dan anak ini pun menegaskan fakta bahwa klaim mereka untuk mencari suaka politik ke Australia karena alasan takut dituntut atau diadili adalah tidak berdasar.

Dua kasus kepulangan sebagian dari kelompok 43 pencari suaka asal Papua di Australia itu menunjukkan adanya tipu daya dan janji-janji yang tidak dipenuhi Herman Wainggai dan kelompoknya.

Bagi pemerintah RI, menanggapi secara positif permintaan pulang Yunus dan putrinya serta menfasilitasi kepulangan keduanya ke Tanah Air adalah bagian dari tanggungjawabnya memberi perlindungan kepada warga negara di luar negeri.

Kepulangan Yunus dkk semakin memojokkan posisi Herman Wainggai dan membuatnya kebakaran jenggot.

Dalam kasus kembalinya Hana Gobay dan Yubel Surei ke Papua dengan difasilitasi KJRI Melbourne dan KBRI Canberra 23 September lalu, dia bahkan sempat mengancam keselamatan keduanya dengan menyebut mereka "musuh bersama para pendukung Papua Merdeka".

Menanggapi kepulangan WNI asal Papua ini, Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb, mengatakan, kepulangan mereka tidak hanya mematahkan argumentasi kelompok anti-Indonesia bahwa kondisi di provinsi paling timur NKRI tersebut tidak aman.

Kepulangan mereka juga menunjukkan semakin dewasanya hubungan Indonesia-Australia karena unsur pemerintah kedua negara sudah semakin mampu menangani isu-isu sensitif dan membicarakannya secara baik dan transparan.

"Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith pun pernah mengatakan bahwa adanya keinginan WNI asal Papua untuk pulang itu adalah masalah Indonesia dengan warga negaranya," kata Dubes Thayeb.

Perkembangan positif hubungan kedua negara dalam merespons isu Papua ini tampaknya mutlak dibarengi dengan keseriusan pemerintah RI dalam mempercepat pembangunan yang menyejahterakan rakyat di dua provinsi paling timur Indonesia itu.

Bagi pemerintah Australia, bagaimana mendidik publik di negaranya agar memiliki pemahaman yang proporsional tentang Indonesia baru yang demokratis dan tidak terus-menerus menerima disinformasi tentang Papua Barat versi kelompok Herman Wainggai adalah pekerjaan rumah yang dinilai mendesak.

Sulit untuk membantah fakta bahwa walaupun sudah ada Perjanjian Lombok, Australia tetap saja dipakai oleh kelompok Herman Wainggai bersama sejumlah warga Australia pro-OPM sebagai basis perjuangan mereka.

Buktinya kelompok pro-OPM tetap saja mudah menggelar aksi demo atau menaikkan bendera Bintang Kejora di sejumlah tempat seperti yang mereka lakukan pada 1 Desember lalu. Di antara bendera-bendera itu berkibar di gedung milik pemerintah, seperti aula kota Leichhardt dan Marrickville, Sydney.

*) My news article for ANTARA on Dec 3, 2008

1 comment:

infogue said...

Artikel anda:

http://pemerintahan-indonesia.infogue.com/
http://pemerintahan-indonesia.infogue.com/isu_papua_dalam_bingkai_hubungan_indonesia_australia

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity