Komunitas Indonesia di kota Brisbane dan sekitarnya sekitar tiga bulan lalu sempat bersuka cita dengan kabar akan kembalinya Garuda Indonesia melayani rute penerbangan langsung Brisbane-Denpasar mulai 14 Desember 2008. Namun mereka kembali harus kecewa.
Masa penantian mereka pada kembalinya Garuda di Brisbane yang sudah memasuki tahun kedua sejak rute penerbangan Brisbane-Denpasar itu dihentikan manajemen Garuda awal 2007 dipastikan akan semakin panjang.
Manajer Umum Senior Garuda Indonesia untuk Australia dan Pasifik Baratdaya, Poerwoko Soeparyono, sudah memastikan bahwa rencana kembalinya Garuda mulai 14 Desember tidak jadi dilaksanakan.
Dua alasan utama penundaan itu adalah dampak krisis keuangan global dan pemberlakuan peringatan perjalanan Australia untuk Indonesia, termasuk Bali, kata Poerwoko dalam pernyataan persnya di situs "Travel Blackboard" 28 November lalu.
"Krisis (keuangan) global dan devaluasi dolar Australia berdampak besar terhadap pendapatan kami. Dewan Direktur Garuda kemudian memutuskan bahwa saat ini bukan waktu yang tepat bagi Garuda melakukan investasi (pembukaan kembali rute penerbangan Brisbane-Denpasar-red.)," katanya.
Sebelum rencana pembukaan kembali rute penerbangan langsung 14 Desember itu dibatalkan, pihak Garuda pada awalnya berencana melayani tiga kali penerbangan Denpasar-Brisbane PP dalam seminggu dengan Airbus 330 berkapasitas 300 tempat duduk.
Dalam rencana awal penerbangan perdananya, Garuda bernomor penerbangan GA-712 akan terbang dari Denpasar Bali ke Brisbane pada 13 Desember. Pada 14 Desember pukul 09.30 pagi, Garuda dengan nomor penerbangan GA-713 berangkat kembali ke Denpasar.
Rencana hadirnya kembali Garuda di Brisbane itu sebelumnya sempat memberikan asa baru bagi banyak warga Indonesia yang berdomisili di ibukota negara bagian Queensland, Australia, dan wilayah-wilayah sekitarnya.
Sesepuh warga Indonesia di Brisbane, Iman Partoredjo, misalnya mengatakan, banyak anggota komunitas yang merindukan Garuda Indonesia kembali ke kota ini. "Kalau Garuda ada, kita akan sambut baik. Dulu pun (Garuda) disambut baik," katanya.
Pernyataan senada juga disampaikan Hidayat Amir, mahasiswa program doktor bidang ekonomi di Universitas Queensland. Menurut Amir, kalangan mahasiswa Indonesia akan memiliki alternatif yang menarik jika Garuda kembali ke Brisbane.
Hanya saja, Garuda harus siap bersaing dengan maskapai penerbangan manapun kendati "ada semacam kebanggaan bagi kita, orang Indonesia, jika Garuda hadir kembali di Brisbane".
Untuk memenangkan persaingan terbuka itu, dua aspek daya saing yang bisa ditawarkan Garuda ke konsumen adalah "harga" dan "pelayanan", katanya.
Sambutan pada rencana serius Garuda untuk kembali terbang ke Brisbane dari Denpasar seperti pernah dilakukan bertahun-tahun sebelum dihentikan sejak Januari 2007 juga datang dari kalangan biro perjalanan Australia di Queensland.
Setidaknya, seperti pernah disampaikan Manajer Umum Garuda untuk Darwin, Syahrul Tahir, sekitar tiga minggu sebelum manajemen Garuda menunda rencana operasi di Brisbane ini, sudah ada sekitar 80 biro perjalanan yang telah mengonfirmasi kehadiran mereka di acara peluncuran Garuda 12 Desember malam.
Rencana kembalinya Garuda ini juga mendapat sinyal dukungan dari pemerintah negara bagian Queensland seperti ditunjukkan menteri perdagangannya pada satu acara baru-baru ini, katanya.
"Kita (Garuda) pun antusias untuk mendukung upaya meningkatkan kerja sama 'sister state' (negara bagian/provinsi kembar) Queensland dengan Jawa Tengah," kata Syahrul Tahir.
Potensi prospektif
Dilihat dari potensi pasar Queensland, rute penerbangan langsung Brisbane-Denpasar tetap prospektif karena Bali masih menjadi salah satu tujuan berlibur paling menarik bagi para wisatawan muda dan lanjut usia Australia. Pengamat pariwisata Bali, Dr.I Nyoman Darma Putra, melihat potensi pasar itu untuk Garuda.
"Orang-orang muda Australia ke Bali untuk 'surfing' (berselancar) dan 'have fun' (bersenang-senang), sedangkan mereka yang berusia lanjut, seperti para pensiunan yang punya banyak uang tapi tidak lagi mampu terbang jauh, seperti ke Eropa dan Amerika, memilih Bali karena jam terbangnya yang relatif pendek," katanya.
Penulis buku "Tourism, Development and Terrorism in Bali" bersama Prof.Michael Hitchcock (London, Ashgate, 2007) itu mengatakan, dalam berbagai kesempatan, ia sering bertemu orang-orang Australia berusia lanjut yang menanyakan ketidakhadiran penerbangan langsung Garuda dari Brisbane ke Denpasar, Bali.
Alasan utama kebanyakan mereka mau berlibur ke Bali adalah statusnya sebagai daerah tujuan wisata internasional dengan waktu terbang yang relatif pendek. Bali juga dapat dijadikan tempat menyalurkan kegiatan sosial mereka untuk membantu panti asuhan dan masyarakat kurang mampu.
Pendek kata, potensi pasar dari kehadiran kembali Garuda Indonesia di Brisbane tetap terbuka apalagi setelah Qantas tidak lagi terbang ke Bali pasca-gonjang-ganjing harga minyak dunia beberapa waktu lalu.
Langkah Garuda memperbanyak rute penerbangannya dari kota-kota utama Australia, termasuk Brisbane, ke Denpasar itu, menurut Darma Putra, juga akan membantu kemajuan industri pariwisata Indonesia, khususnya Bali.
Sejauh ini, Garuda baru melayani penerbangan langsung ke Denpasar Bali dari Darwin (Australia Utara), Sydney (New South Wales), Melbourne (Victoria), dan Perth (Australia Barat).
Namun Garuda bak "patah sayap" di Brisbane setelah kandasnya rencana kembalinya 14 Desember 2008. Penundaan rencana tersebut telah terlanjur menimbulkan kekecewaan dan citra buruk terlebih lagi datangnya keputusan penundaan dari manajemen Garuda itu dinilai banyak calon penumpang tiba-tiba.
Bob Hardian, dosen Universitas Indonesia (UI) yang belum lama merampungkan program pendidikan doktornya di bidang sains komputer di Universitas Queensland (UQ), mengatakan, keputusan penundaan tersebut sangat disayangkan karena sudah pasti akan merusak citra Garuda di Australia.
"'Damage' (kerusakan) bagi imej Garuda jauh lebih besar daripada sekadar kerugian material yang harus ditanggung akibat pembatalan ini. Saya melihat munculnya masalah ini sangat terkait dengan buruknya perencanaan Garuda."
Sepatutnya, manajemen Garuda di Jakarta dan Australia sudah mempertimbangkan semua risiko apa pun yang mungkin muncul dalam perencanaannya sejak awal, kata Bob yang sudah membelikan tiket Garuda untuk penerbangan anak dan istrinya ke Jakarta via Brisbane-Denpasar Desember 2008 ini.
"Adanya penundaan ini mengesankan bahwa perencanaan Garuda nggak matang. Tidak sepatutnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) se-kelas Garuda melakukan ini," katanya.
Kekecewaan yang sama juga disampaikan Malia Rita Ningsih, residen tetap asal Indonesia yang sudah mengatongi tiket Garuda Brisbane-Denpasar-Jakarta untuk tanggal keberangkatan 16 Desember 2008.
Guru bahasa Indonesia di salah satu SMA di Queensland itu mengatakan, dia termasuk di antara banyak warga Indonesia di Brisbane yang sangat bergembira mendengar kabar bahwa Garuda akan kembali melayani rute penerbangan langsung Brisbane-Denpasar sekitar tiga bulan lalu.
"Karenanya saya tidak jadi beli tiket Royal Brunei Airlines karena mendengar Garuda akan terbang kembali dari Brisbane ke Denpasar mulai 14 Desember 2008. Tapi, siapa yang nggak kesal dan kecewa dengan keputusan ini. Garuda yang sejak dulu ditunggu-tunggu kehadirannya kembali, lha malah nggak jadi," katanya.
Sebelum Garuda menghentikan rute penerbangannya dari Brisbane awal 2007, dia "tidak pernah ke lain hati" atau tidak pernah naik maskapai penerbangan negara lain kecuali Garuda Indonesia kalau pulang ke Tanah Air.
"Banyak calon penumpang Garuda kecewa, terutama ibu-ibu yang akan pulang ke Jakarta via Denpasar dari Brisbane bersama anak-anak mereka tanggal 16 Desember 2008," kata Malia.
*) My news article for ANTARA on Dec 1, 2008
No comments:
Post a Comment