Popularitas bahasa Indonesia terus meredup di Australia dalam sekitar sepuluh tahun terakhir. Kondisi ini tidak hanya merisaukan Kedutaan Besar RI di Canberra selaku pemangku utama kepentingan diplomasi RI di negara itu tetapi juga mengusik hati kalangan guru dan akademisi setempat.
Kedua pihak bertemu dengan satu tekad bersama, yakni bagaimana mempromosikan pengajaran bahasa Indonesia di Australia guna mengembalikan popularitas bahasa yang pernah begitu kuat di mata pelajar, orang tua dan umumnya publik negara itu ke tingkat yang tak kalah jauh dari bahasa Arab, Jepang, dan China.
Berbekal keprihatinan dan semangat bersama itulah, KBRI Canberra Sabtu (25/10) menggelar Konferensi Bahasa Indonesia sehari yang dihadiri puluhan guru bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah, pengamat dan akademisi ANU, kepala sekolah, pejabat departemen pendidikan Australian Capital Territory, dan staf KBRI.
Dalam konferensi yang dibuka Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb dengan pembicara utama Manajer "Curriculum Support P12" ACT, Dr.Michael Kindler, dan Dosen Bahasa Indonesia ANU, Dr Amrih Widodo ini, digali berbagai masalah dan dicarikan solusi paling realistis atas masalah-masalah tersebut.
Dalam presentasinya bertajuk "Belajar Bahasa Indonesia Tanpa Pergi ke Indonesia", Amrih memaparkan secara gamblang berbagai tren, misi dan perkembangan sumberdaya pengajaran bahasa Indonesia di Australia dalam beberapa tahun terakhir.
Mengutip data statistik dan hasil penelitian mutakhir yang ada, staf pengajar Fakultas Studi-Studi Asia ANU itu menunjukkan posisi bahasa Indonesia yang terus terperosok dalam tren program pengajaran bahasa-bahasa Asia di lembaga pendidikan tinggi Australia dalam enam tahun terakhir sejak 2001.
Amrih juga memaparkan pengembangan profesi dan komunitas guru, serta sejumlah sampel pengajaran bahasa Indonesia untuk para guru yang sejalan dengan perkembangan modernitas Indonesia dan teknologi informasi dunia berdasarkan program "Language in Service for Teachers (LIFT) 1993-2006".
Dilihat dari jumlah mahasiswa Australia yang mengambil program bahasa Indonesia, kerisauan para guru dan diplomat Indonesia sangat beralasan karena jumlah mereka terus menurun dari 2001 hingga 2007.
Dalam kurun waktu itu, penurunan jumlah mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia yang masih diajarkan di 20 lembaga pendidikan tinggi ini mencapai 12 persen. Berbeda dengan bahasa Indonesia, pertumbuhan peminat bahasa Arab, China dan Jepang relatif baik. Bahkan di antara bahasa-bahasa asing yang diajarkan di tingkat universitas, jumlah mahasiswa yang mengambil program bahasa Arab di lima perguruan tinggi tumbuh sebesar 78 persen, bahasa China yang diajarkan di 26 institusi tumbuh 30 persen, Korea (15,3 persen), dan Jepang (1,5 persen), kata Amrih.
Tren menurunnya pengajaran bahasa Indonesia ini juga terjadi di kolese dan sekolah lanjutan atas. Sebagai contoh, dari 16 SMA negeri yang ada di Australian Capital Territory (ACT), hanya enam sekolah yang mengajar bahasa Indonesia, sedangkan sisanya mengajarkan bahasa-bahasa asing lain.
Popularitas pengajaran bahasa Indonesia yang terus menurun di negara yang justru bertetangga langsung dengan Indonesia ini, menurut Amrih, tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor seperti pemberlakuan peringatan keamanan untuk Indonesia, kebijakan pemerintah terhadap studi/bahasa Asia dan dukungan lembaga pendidikan.
Selain itu, tidak "seksinya" lagi Indonesia dilihat dari kemajuan ekonomi sehingga menimbulkan keraguan orang Australia akan manfaat dari belajar bahasa Indonesia untuk menunjang kehidupan mereka kelak juga merupakan variabel yang memengaruhi minat pelajar.
Guru sebagai tulang punggung
Namun di tengah terus anjloknya popularitas bahasa Indonesia di kalangan pelajar dan mahasiswa Australia, guru di SD/SMA menjadi tulang punggung pengajaran bahasa Indonesia di negara itu karena komitmen mereka yang besar pada kelestarian eksistensi pengajaran bahasa Indonesia, katanya.
Menurunnya popularitas bahasa Indonesia di mata publik Australia khususnya generasi muda yang dipicu oleh faktor-faktor di atas tadi memprihatinkan Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb.
Dubes Thayeb mengatakan, Indonesia adalah negara tetangga terdekat dan terbesar Australia. Hubungan kedua negara akan lebih mudah ditingkatkan jika terbangun interaksi yang baik di tingkat rakyat melalui pemahaman bahasa dan budaya.
Jika para pelajar Australia dapat pergi dan tinggal di Indonesia mereka bisa merasakan denyut kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Dengan demikian kekeliruan pandangan tentang Indonesia dapat dikikis, katanya.
Apa yang diharapkan Dubes Thayeb sejalan dengan pemikiran Kepala Pusat Asia Tenggara Fakultas Studi Asia Universitas Nasional Australia (ANU) George Quinn yang hadir dalam konferensi bahasa Indonesia itu.
Menurut Quinn, Australia sepatutnya malu dengan minimnya jumlah mahasiswanya yang studi di Indonesia karena tidak ada cara efektif untuk dapat memahami negara tetangga terbesar Australia itu kecuali dengan mengirim sebanyak mungkin pelajar dan mahasiswa ke sana.
"Perbedaan antara jumlah mahasiswa Indonesia yang studi di Australia dengan jumlah mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia sangat dramatis," katanya.
Kalau Indonesia kini punya sedikitnya 14 ribu mahasiswa yang kuliah di Australia, negara itu tahun lalu hanya memiliki 52 orang mahasiswa yang belajar di sejumlah universitas di Indonesia. Artinya, satu orang mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia mewakili 400 ribu warga Australia padahal Indonesia adalah tetangga terdekat Australia yang paling besar, kata penulis Buku "The Novel in Javanese (Leiden, 1992) dan "The Learner's Dictionary of Today's Indonesian" (Sydney, 2001) ini.
"Kondisi ini sangat luar biasa dan memalukan bagi Australia," katanya. Bagi George Quinn, cara paling efektif untuk memahami Indonesia dan Islam di sana adalah dengan melihat dan merasakan langsung denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Islam di Indonesia tidaklah seperti yang digambarkan dan diprasangkai media Australia, katanya.
Hanya saja hambatan terbesar bagi penguatan hubungan antarrakyat ini adalah masih diberlakukannya peringatan perjalanan (travel advisory) terhadap Indonesia oleh pemerintah Australia, katanya. Dalam konferensi itu, para guru, akademisi, dan staf KBRI Canberra yang hadir mengajukan belasan rekomendasi yang diyakini dapat membantu promosi pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Australia di masa mendatang.
Pelaksana Tugas Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di KBRI Canberra, Yoni Utomo, menyebutkan para peserta konferensi antara lain merekomendasikan perlunya intensifikasi promosi bahasa dan budaya Indonesia melalui siaran radio komunitas dan pergelaran seni budaya di sekolah-sekolah.
Peserta konferensi itu juga mengusulkan agar mahasiswa Indonesia dijadikan mitra sekolah, semisal menjadi pembicara tamu di sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia. Pemutaran film-film Indonesia, dan keterlibatan guru tari Indonesia di sekolah-sekolah Australia sehingga tari-tarian Nusantara bisa ditampilkan secara reguler di acara-acara sekolah juga dipandang penting untuk mendukung promosi pengajaran bahasa Indonesia tersebut.
Untuk mendukung kunjungan pelajar Australia ke Indonesia, para peserta konferensi meminta masyarakat Indonesia bersedia menjadi tuan rumah yang baik bagi para siswa yang berkunjung (home stay).
Dalam konferensi yang dihadiri Direktur Dukungan Kurikulum dan Pembelajaran Profesional Australian Capital Territory (ACT), Trish Wilks itu, terungkap pula keinginan untuk memperkuat jaringan komunikasi antarsiswa dan guru pengajar bahasa Indonesia. Penguatan komunikasi antarguru dan murid bahasa Indonesia tersebut dilakukan dengan memanfaatan jejaring blog dan email grup di Internet.
Keberhasilan promosi bahasa Indonesia di Australia itu tidak terlepas dari dukungan para orang tua dan kalangan bisnis. Seterusnya, untuk mengubah persepsi publik Australia tentang Indonesia, penyebaran informasi tentang pengalaman positif, kejelasan karir dan cerita sukses orang-orang Australia yang memiliki keahlian berbahasa Indonesia dirasa penting "Dukungan sektor bisnis ini tidak hanya terbatas pada dukungan keuangan, tetapi juga dukungan moral dan karir bagi mereka yang belajar bahasa Indonesia," kata Yoni Utomo.
Para peserta konferensi pun mengakui peran besar guru dalam menyukseskan pengajaran bahasa Indonesia di Australia. Karena itu, mereka mengusulkan agar para guru diberikan bonus mengikuti program pelatihan di Indonesia dan Australia, serta paket karir yang menarik.
Para peserta konferensi pun melihat signifikansi kehadiran pusat keunggulan bahasa Indonesia dan kerja sama KBRI Canberra dengan kedutaan-kedutaan besar Malaysia, Singapura, dan Brunei untuk mendukung promosi bahasa Indonesia dan rumpun Melayu di Australia melalui studi ekskursi.
Penyelenggaraan konferensi bahasa Indonesia ini direkomendasikan sekali dalam enam bulan, dan KBRI, departemen pendidikan ACT, dan ANU menjadi payung bagi promosi bahasa Indonesia khususnya di wilayah ACT.
Konferensi bahasa Indonesia di KBRI Canberra ini hanyalah langkah awal yang menuntut langkah-langkah kongkrit berikutnya jika semua pemangku kepentingan diplomasi RI di Australia bersungguh-sungguh untuk mengembalikan popularitas bahasa Indonesia yang terus terpuruk di tengah kebangkitan bahasa-bahasa Asia lainnya.
*) My news article for ANTARA on Oct 26, 2008
No comments:
Post a Comment