Wednesday, November 19, 2008

EKSEKUSI AMROZI DAN AMBIVALENSI AUSTRALIA

Oleh Rahmad Nasution

Pangeran Charles dari Inggris telah kembali ke negerinya. Pemilu Amerika Serikat yang berakhir dengan kemenangan bersejarah Barack Obama pun telah terlaksana pada 4 November lalu, namun eksekusi Amrozi cs tetap menjadi misteri.

Setidaknya hingga Sabtu malam (8/11) waktu Brisbane, Amrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudera, tiga pelaku Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang termasuk 88 turis Australia, masih menghirup udara segar.

Bagi media televisi di Australia, tiada hari tanpa Amrozi dkk. Berita-berita di seputar perkembangan persiapan hukuman mati terhadap ketiga "Bali bombers" dan kondisi keamanan Indonesia telah menjadi menu utama pemberitaan harian mereka dalam dua pekan terakhir.

Di tengah ketidakpastian yang berlanjut itu, ada satu hal yang sudah pasti, yakni sikap pemerintah Australia yang ambivalen dan suara rakyatnya yang terpecah dalam menyikapi rencana eksekusi Amrozi cs yang diperkirakan terjadi antara tanggal 1 dan 15 November 2008.

Sikap pemerintah federal Australia yang ambivalen itu tercermin dari pandangannya yang berbeda dalam menyikapi hukuman mati bagi warga negaranya di luar negeri dan warga negara asing, terlebih lagi para pelaku kejahatan terorisme.

Dalam masalah eksekusi Amrozi cs, Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith menegaskan sikap Canberra yang memandang hal itu sebagai proses hukum Indonesia.

Ia membantah bahwa Pemerintah Australia bersikap munafik karena menyerahkan soal eksekusi ketiga pelaku yang bertanggungjawab terhadap kematian 88 warganya enam tahun lalu kepada pemerintah Indonesia.

"Jika ada warga negara Australia yang terancam hukuman mati di luar negeri, kami akan mengajukan diri untuk mewakili dia. Kami tidak melakukan hal yang sama atas nama warga negara lain. Tentu kami tidak mewakili para teroris," katanya.

Di mata Perdana Menteri Kevin Rudd, Amrozi cs tidak lebih dari para "pembunuh" dan dampak dari serangan mereka di Bali enam tahun lalu terhadap para keluarga korban membuat "hatinya menangis", kata Rudd dalam satu pernyataannya baru-baru ini.

Ketidaktegasan pemerintah yang bahkan cenderung membiarkan ketiga pelaku Bom Bali 2002 dieksekusi regu tembak Polri itu dikritik sejumlah media negara itu.

Media Australia itu menyuarakan keprihatinan kalangan pengacara dan akademisi Australia tentang implikasi dari sikap ambivalen pemerintahnya terhadap nasib tiga warga Australia yang juga terancam hukuman mati dalam kasus narkoba di Indonesia.

Suratkabar "The Australian" (31/10) mengutip Colin McDonald QC, pengacara Scott Rush mengatakan, sikap pemerintah menyulitkan upaya penyelamatan nyawa tiga warga Australia yang terancam hukuman mati dalam kasus penyelundupan 11,25 kilogram heroin di Bali 17 April 2005.

Scott Rush adalah salah satu dari sembilan pemuda Australia yang terlibat kasus penyelundupan narkoba di Bali yang kemudian dikenal dengan sebutan "Bali Nine". Dia bersama Andrew Chan dan Myuran Sukumaran divonis hukuman mati.

Menurut McDonald, pemerintah Australia sepatutnya menyampaikan sinyal penolakan dan kutukannya pada hukuman mati Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera atau sikap ambilavensi Canberra ini justru menyulitkan upaya penyelamatan nyawa Scott Rush dkk di masa mendatang.

Negasi sikap dasar

Sebenarnya penolakan pada hukuman mati adalah sikap dasar Partai Buruh Australia (ALP) sebagaimana disampaikan mantan menteri luar negeri bayangan ALP, Robert McClelland, Oktober 2007.

Australia pun telah lama menghapus hukuman mati dari sistem hukumnya menyusul lahirnya Undang-Undang Penghapusan Hukuman Mati tahun 1973. Orang terakhir yang dieksekusi adalah Ronald Ryan pada 1967.

Senada dengan pandangan Colin McDonald, Julian McMahon, pengacara yang pernah membela warga Australia keturunan Vietnam Van Nguyen (25) yang dihukum gantung di Singapura dalam kasus narkoba tahun 2005, juga menyuarakan hal yang sama.

Hukuman terhadap ketiga pelaku serangam Bom Bali 2002 itu, menurut McMahon, sebaiknya lebih manusiawi, sesuai dengan kewajiban hukum Australia dan kebijakan tertulis negara, bukan "mata dibayar dengan mata".

Ia khawatir kegagalan pemerintah bersikap konsisten pada penolakan hukuman mati ini akan mendorong media di Asia menuduh Australia "munafik" dan mempertanyakan aturan Australia yang berbeda dalam menyikapi eksekusi bagi warganya dan warga negara asing di luar negeri.

Kekhawatiran pada implikasi dari sikap ambivalen Pemerintah Australia pada rencana eksekusi ketiga "Bali Bombers" terhadap nasib Scott Rush dkk itu juga disampaikan Direktur Pusat Hukum Asia Universitas Melbourne, Tim Lindsay.

Di kalangan publik Australia sendiri, rencana eksekusi Amrozi cs juga direspons secara berbeda.

Menurut Indonesianis Universitas Nasional Australia (ANU), George Quinn, masyarakat di negaranya terbelah ke dalam dua kelompok besar.

Bagi kelompok pertama, hukuman mati merupakan perbuatan yang tak berprikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia terlepas dari aksi berdarah Amrozi cs enam tahun lalu.

Namun ia pribadi masuk ke dalam kelompok masyarakat yang pro-eksekusi terhadap ketiga pelaku sebagai konsekuensi atas aksi mereka enam tahun lalu.

Ketegasan pemerintah dan otoritas hukum Indonesia atas eksekusi Amrozi cs akan meningkatkan "citra Indonesia" di Australia, katanya.

Di antara mereka yang vokal mengampanyekan penghentian hukuman mati bagi ketiga terpindana kasus Bom Bali 2002 ini adalah kalangan gereja Katolik dan Anglikan.

Uskup Wilayah Utara dan Barat Keuskupan Anglikan Melbourne, Philip Huggins dan Peter Arndt dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Katolik Keuskupan Agung Brisbane adalah dua di antara kalangan agamawan yang bahkan menyurati KBRI Canberra.

Seperti dikatakan Sekretaris III Fungsi Penerangan KBRI Canberra, Basriana Basrul, keduanya meminta pemerintah RI menghentikan rencana eksekusi tersebut.

Suara orang-orang Australia yang tidak mengingingkan kematian Amrozi cs terus menggema mengimbangi sikap pemerintahnya yang ambivalen dan mengingkari prinsip hukumnya sendiri.

*) My news article for ANTARA on Nov 8, 2008

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity