Sunday, November 23, 2008

AGENDA KEMISKINAN DALAM PERANG "PEOPLE SMUGGLING" INDONESIA-AUSTRALIA

Oleh Rahmad Nasution

Pertemuan Forum Menteri Australia-Indonesia (AIMF) ke-sembilan yang berlangsung di Canberra 12 November lalu menjadi momen yang menegaskan kembali komitmen bersama kedua negara untuk terus memerangi aksi kejahatan penyelundupan dan perdagangan manusia.

Komitmen bersama itu tertuang dalam satu lembar Pernyataan Bersama Menteri AIMF ke-sembilan tentang Penyelundupan Manusia dan Perdagangan Manusia (people smuggling-trafficking in persons) yang ditandatangani Menteri Luar Negeri RI Nur Hassan Wirajuda dan Menlu Australia Stephen Smith.

Pernyataan itu terpisah dari lembar Pernyataan Bersama Menteri berisi 47 paragraf yang menggarisbawahi kerja sama, keprihatinan dan respons kedua negara berkaitan dengan masalah regional dan global, peluang kerja sama perdagangan dan investasi, kemitraan pembangunan, dan penguatan hubungan di tingkat rakyat.

Keluarnya pernyataan bersama yang menyoroti isu penyelundupan dan perdagangan manusia di akhir pertemuan AIMF yang diikuti 12 orang menteri itu dinilai tepat waktu karena sejak September 2008 Australia kembali diganggu oleh kehadiran kapal-kapal asal Indonesia yang mengangkut para pencari suaka asing.

Pada 29 September, aparat keamanan laut Australia memergoki kapal yang dinakhodai Abdul Hamid (35), warga Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat, bersama 12 orang pencari suka asal Iran dan Afghanistan di perairan dekat Pulau Ashmore.

Sepekan kemudian, tepatnya 6 Oktober, kapal patroli laut Australia kembali menangkap satu kapal pengangkut 14 orang pencari suaka asal Afghanistan lainnya dengan nakhoda yang juga orang Indonesia.

Kapal yang dinakhodai Amos Ndolo (58), warga Pulau Rote, Flores, Nusa Tenggara Timur, itu ditemukan saat sandar di sebuah fasilitas penyimpanan produk lepas pantai di perairan Laut Timor.

Kedua kasus ini mengundang keprihatinan Perdana Menteri Kevin Rudd. Bahkan dia dilaporkan menelepon langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 8 Oktober.

Daftar kasus penyelundupan manusia ke Australia tahun 2008 bertambah panjang setelah kapal patroli angkatan laut negara itu menyelamatkan dua awak kapal pengangkut 10 orang pencari suaka yang karam sekitar 80 mil tenggara Pulau Ashmore 19 November lalu.

Namun, pada kasus terakhir ini, status kewarganegaraan maupun asal usul kedua awak kapal belum jelas karena, seperti disampaikan Pejabat Konsul RI di Perth, Andi A.Bastari, keduanya belum bisa dipastikan merupakan warga negara Indonesia karena belum ada notifikasi resmi apapun dari pihak terkait Australia.

Dibandingkan kasus-kasus tiga tahun sebelumnya, jumlah kapal yang tertangkap hingga 19 November 2008 belum sebanyak tahun 2005, 2006, dan 2007.

Berdasarkan catatan Kementerian Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia, pada 2005, ada empat kapal dengan 11 orang pencari suaka yang masuk negara itu. Pada 2006, jumlahnya meningkat menjadi enam kapal dengan 60 orang pencari suaka, dan pada 2007, ada lima kapal dengan 148 orang penumpang.

Berbagai kasus penyelundupan manusia yang ada selama ini memperlihatkan Indonesia dan Australia tidak lebih dari sekadar negara transit dan tujuan para pencari suaka dari negara-negara yang didera perang dan konflik bersenjata.

"Bali Process"

Hasil pertemuan AIMF ke-sembilan di Canberra 12 November lalu menegaskan tekad kedua negara untuk tetap memprioritaskan upaya memerangi aksi penyelundupan dan perdagangan manusia di kawasan Asia Pasifik melalui kerja sama bilateral dan pembangunan kapasitas regional di bawah payung "Bali Process".

Kedua pemerintah memandang pentingnya kedua jenis kejahatan ini ditangani secara menyeluruh dalam semangat kerja sama yang melibatkan negara asal, transit dan tujuan.

Indonesia dan Australia dipandang perlu mencari cara-cara praktis untuk mengamankan wilayah perbatasan negara masing-masing sebagai bagian dari kerja sama yang lebih luas untuk memerangi kejahatan trans-nasional ini karena jaringan sindikat penyelundupan manusia masih menjadi ancaman serius bagi kedua negara.

Untuk menumpas para pelaku kejahatan ini, kedua pemerintah melihat perlunya peningkatan kerja sama melalui bantuan operasional dan tukar-menukar informasi, serta penguatan basis hukum nasional Indonesia dan Australia sesuai dengan instrumen internasional yang ada.

Pertemuan AIMF ke-sembilan di Canberra itu pun menyambut baik penegasan kembali kepemimpinan bersama Indonesia dan Australia dalam "Bali Process" serta menunggu terselenggaranya pertemuan tingkat menteri "Bali Process" pertengahan tahun 2009.

"Bali Process", pertemuan yang diselenggarakan bersama oleh Indonesia dan Australia di Bali enam tahun lalu dan dihadiri para wakil dari 50 negara untuk mencari langkah-langkah praktis dalam menumpas aksi kejahatan penyelundupan manusia itu selayaknya diimbangi dengan agenda pengentasan kemiskinan PBB.

Agenda pengentasan kemiskinan ini bisa berbarengan dengan aksi tegas Polri menumpas sindikat penyelundupan warga asing yang menjadikan Indonesia transit mereka menuju Australia.

Mengapa pencapaian target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) PBB tahun 2015 dipandang penting? Dalam berbagai aksi kejahatan trans-nasional, termasuk penyelundupan dan perdagangan manusia, kemiskinan selalu menjadi salah satu faktor pemicu.

Setidaknya kasus Abdul Hamid dan Amos Ndolo mendukung argumentasi bahwa kemiskinan mendorong pelaku lapangan untuk "berjudi" dengan jalan nasibnya dan sanksi hukum yang berat dan tegas dari Australia karena tergiur dengan upah sebesar 10- 20 juta rupiah.

Uang yang jumlahnya mungkin dianggap besar oleh Abdul Hamid dan Amos Ndolo tapi tidak sebanding dengan sanksi hukuman penjara 20 tahun di Australia yang kini mengancam keduanya itu pernah disampaikan Sekretaris II Konsulat RI Perth, Dian Nirmalasari.

Mengutip pengakuan Amos Ndolo, Dian mengatakan kepada ANTARA bahwa Amos dijanjikan bayaran sebesar Rp20 juta oleh orang yang menyuruhnya membawa belasan orang asing ke Pulau Ashmore Reef kalau dia sudah kembali dari sana.

Abdul Hamid dan Amos Ndolo boleh jadi hanyalah orang-orang kecil yang mau melibatkan diri dalam kegiatan yang dipandang Menteri Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia, Senator Chris Evans, sebagai "kejahatan yang menjijikkan" karena dorongan kemiskinan akut dirinya.

*) My news article for ANTARA on Nov 23, 2008

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity