Thursday, August 21, 2008

ROBEKNYA JUBAH KEPERCAYAAN "PETUALANG BAHARI" PADA INDONESIA

Oleh Rahmad Nasution

Perjalanan ratusan kapal layar (yacht) dari 15 negara yang mengikuti rute barat "Sail Indonesia" (SI) 2008 tidak berjalan mulus.

Ketidakmulusan pelayaran mereka setelah bertolak dari perairan Darwin, Australia Utara, pada 26 Juli siang, itu justru terjadi saat mereka secara bergelombang memasuki Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), 28-31 Juli.

Alih-alih mendapat sambutan suka cita sebagai "tamu", para nakhoda peserta reli itu justru mendapat perlakuan buruk dari para petugas Bea Cukai Kupang.

Setiap kapal pesiar peserta reli terbesar di kawasan Asia Tenggara yang merapat di Kupang itu ditempeli stiker "segel". Bagi mereka yang mencopot stiker, sudah menanti denda sebesar 1.700 dolar AS.

Aksi petugas Bea Cukai Kupang itu disayangkan Ketua Panitia SI 2008 di Darwin, David Woodhouse.

Menurut dia, tindakan tersebut tidak hanya telah "mencederai" promosi tahun kunjungan wisata Indonesia, tetapi juga telah menimbulkan kesalahpahaman, ketakutan, serta ketidaknyamanan para petualang bahari dunia.

"Penempelan stiker segel ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah 'Sail Indonesia', dan ini menjadi publisitas buruk bagi Kupang dan NTT," katanya kepada ANTARA di Darwin, beberapa hari lalu.

Menurut Woodhouse, insiden penyegelan tersebut tidak sepatutnya terjadi jika surat jaminan Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Aji Sularso sudah diterima pihak terkait, termasuk Bea Cukai Kupang, jauh sebelum kapal peserta tiba.

Surat Aji Sularso itu memberikan jaminan bahwa kapal pesiar peserta SI 2008 akan dibebaskan dari pembayaran "duty bond".

"Masalahnya adalah para peserta terlanjur merasa tidak nyaman dan khawatir dengan ancaman denda sebesar seribu tujuh ratus dolar (AS) jika stiker petugas Bea Cukai Kupang itu dilepas."

Sayangnya, surat jaminan yang ditandatangani Aji Sularso pada 22 Juli itu baru diterima pihak Bea Cukai Kupang pada 1 Agustus, katanya.

Dalam wawancara yang berlangsung di ruang kerja Konsul RI Darwin Harbangan Napitupulu itu David Woodhouse mengatakan, pihaknya tidak mengetahui sebab-musabab surat jaminan Aji Sularso tersebut sangat terlambat diterima oleh otoritas Bea Cukai Kupang sehingga insiden stiker segel tersebut pun terjadi.

Sebagai dampak dari perlakuan Bea Cukai Kupang tersebut, banyak kapal peserta SI 2008 segera meninggalkan Kupang menuju Bali karena Bali dinilai mereka lebih terbuka dan kooperatif terhadap para wisatawan bahari peserta SI, katanya.

Hanya saja, mereka terlanjur kehilangan kepercayaan dan timbul kekhawatiran kalau-kalau mereka akan mendapat perlakuan seperti yang mereka alami di Kupang saat memasuki pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia, katanya.

Kekhawatiran mereka itu beralasan karena Kupang hanyalah satu satu pelabuhan yang dikunjungi. Setelah dari Kupang, mereka melanjutkan pelayaran mereka ke Alor - Lembata - Maumere - Riung - Labuan Bajo - Bali - Karimun Jawa - Kumai - Bangka Belitung dan Batam. Dari Batam, mereka melanjutkan pelayaran ke Singapura dan Pulau Langkawi (Malaysia).

Terlepas dari insiden stiker segel itu, David Woodhouse mengatakan, pihaknya tetap akan mempertahankan Kupang sebagai "pintu masuk SI rute barat Indonesia tahun depan.

Akar persoalan penempelan stiker segel oleh para petugas Bea Cukai Kupang itu tidak dapat dilepaskan dari terbitnya peraturan baru kantor Bea Cukai RI yang mewajibkan para nakhoda kapal peserta SI menyerahkan uang deposit sebesar lima sampai 10 persen dari harga kapal.

Masalah "duty bond" itu sudah dianggap panitia SI 2008 selesai setelah Aji Sularso, mau "menjadi penjamin" kapal-kapal peserta SI.

"(Nakhoda) kapal-kapal peserta Sail Indonesia ini telah berjanji untuk strik pada tanggal masuk dan tanggal keluar mereka (dari Indonesia) sehingga pihak beacukai mengetahuinya dengan baik," katanya.

Bagi para nakhoda kapal-kapal pesiar peserta SI, peraturan baru Bea Cukai itu tidak hanya mempersulit tetapi juga memunculkan pertanyaan karena mewajibkan mereka menyerahkan uang deposit sebesar lima sampai 10 persen dari harga kapal.

Kontraproduktif

Insiden ini pun terasa ironis karena dua hari sebelum 116 kapal pesiar peserta SI 2008 itu bertolak dari Darwin menuju perairan Indonesia, Dirjen Pengembangan Destinasi Depbudpar Firmansyah Rahim sempat berbicara tentang potensi wisata bahari di Tanah Air dalam Forum Dialog Pariwisata di Jakarta.

Pada kesempatan itu, Firmansyah antara lain menekankan bahwa wisata bahari akan terus didorong untuk dapat memberikan kontribusi sekitar 25 persen dari total kunjungan wisman ke Indonesia sepanjang 2008 yang ditargetkan sebanyak tujuh juta orang.

Di antara kegiatan wisata bahari yang diharapkan Indonesia memberi sumbangan pada kunjungan wisman ke Tanah Air adalah Lomba Kapal Pesiar "Darwin-Ambon" 2008 dan reli "Sail Indonesia" 2008, disamping "Asian Beach Game" di Bali, September mendatang, katanya.

Menanggapi insiden Kupang, Firmansyah Rahim seperti dikutip situs "Bali Discovery Tours" mengatakan, pemerintah akan membuat satu sistim terpadu untuk menangani kunjungan kapal-kapal pesiar asing.

Di antara isu yang mendapat perhatian dalam sistim terpadu dan terkoordinasi itu adalah soal pelabuhan masuk dan pelabuhan keluar bagi kapal asing tersebut, serta penunjukan agensi untuk menangani "Sail Indonesia", katanya.

Woodhouse mengatakan, peraturan "duty bond" yang mewajibkan pembayaran uang jaminan pajak itu sepatutnya tidak dibebankan kepada peserta SI karena mereka bergerak selama tiga bulan dan tidak kemudian menetap di Indonesia.

"Peraturan itu menimbulkan masalah yang seharusnya tidak perlu terjadi. Kewajiban membayar 'duty bond' itu seharusnya hanya diberlakukan kepada kapal yang masuk dan menetap di Indonesia tetapi kalau mereka yang hanya tiga bulan berlayar dan keluar dari Indonesia harusnya dibebaskan dari aturan ini."

"Masalahnya adalah, sebagian besar peserta Sail Indonesia 2008 adalah orang yang baru pertama kali ikut dan mereka tidak punya pengalaman tentang peraturan di Indonesia. Mereka adalah para pelaut yang berkeliling dunia," kata Woodhouse.

Belum baiknya sistim teknologi informasi dan komunikasi antara petugas Bea Cukai yang ada di Kupang (pintu masuk jalur barat SI) dengan Batam sebagai pintu keluar perairan Indonesia misalnya merupakan kendala yang dikhawatirkan para nakhoda kapal peserta, katanya.

Jika "duty bond" itu tetap dibebankan, setiap peserta harus menyerahkan uang sebesar lima hingga 10 persen dari harga kapal yang berkisar antara 400 hingga 500 ribu dolar AS, katanya.

Untuk memulihkan citra Kupang dan NTT yang terlanjur "rusak" akibat insiden stiker segel di mata para petualang bahari dunia ini, David Woodhouse mengimbau Pemda setempat agar menyampaikan secara terbuka bahwa mereka serius menyambut dan memperlakukan kapal-kapal pesiar internasional dengan baik.

"Saya sendiri sangat mendambakan terbangunnya komunikasi dan kerja sama yang baik dengan berbagai pihak terkait di Kupang dan NTT sebagai upaya bersama menyukseskan kegiatan Sail Indonesia, termasuk ada semacam panitia lokal yang menjadi mitra kerja baik pihaknya demi kesuksesan Sail Indonesia," katanya.

Kondisi semacam ini sangat penting terlebih lagi pada 2009 Indonesia akan menyelenggarakan "Sail Bunaken" sebagai rangkaian acara konferensi internasional kebaharian dan perubahan iklim di Manado, Sulawesi Utara.

Di luar kasus penempelan stiker segel itu, sambutan masyarakat NTT terhadap 116 kapal pesiar asal Australia, Jerman, Belanda, Inggris, Norwegia, Amerika Serikat, Perancis, Swiss, Kanada, Selandia Baru, Afrika Selatan, Turki, Jepang, Swedia, dan Austria ini sangat baik, katanya.

Sambutan masyarakat yang dinilai baik oleh panitia dan umumnya awak kapal peserta itu adalah modal besar Indonesia untuk meraih kepercayaan para petualang bahari dunia.

*) My news article for ANTARA on August 15, 2008

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity