Saturday, August 23, 2008

RENDAHNYA APRESIASI ANCAM MASA DEPAN TARI TRADISIONAL INDONESIA

Pemimpin padepokan tari Bali "Ulu Chandra", Wayan Sutedja, gundah dengan masa depan kelestarian kekayaan tari tradisional Indonesia.

Kegundahan pribadinya itu disebabkan oleh langkanya anak-anak dan remaja di Tanah Air yang tertarik belajar dan mendalami aneka tari-tarian asli negerinya dan menjadikannya "gantungan hidupnya" sebagai dampak dari rendahnya apresiasi pemerintah dan bangsanya pada profesi seniman, katanya.

"Ketakutan saya pribadi pada generasi berikut adalah mereka belajar tari Jawa dari Belanda dan tari Bali dari Jepang karena anak-anak cucu kita tak bisa hidup dari sekadar berprofesi sebagai penari, betapa pun maestronya mereka akibat apresiasi kita yang sangat rendah pada seni," kata Wayan Sutedja.

Ditemui ANTARA di sela kesibukannya mendampingi personil tari padepokannya di Darwin, Minggu, pengusaha barang-barang kerajinan perak Bali yang mencintai seni tari Bali dan Nusantara pada umumnya ini mengatakan, para seniman Indonesia belum bisa hidup dengan layak dari hanya berkarir sebagai seniman.

Di tengah kondisi Indonesia yang belum menghargai secara pantas profesi seni tari ini, orang-orang asing justru berdatangan ke Bali dan daerah-daerah lain di Tanah Air untuk belajar tari tradisional, katanya.

"Berbeda dengan kita, di luar negeri kondisinya justru lebih baik. Di Indonesia, siapa pun maestro seni tradisional bahkan tidak bisa hidup dengan upah minimum regional (UMR) di Bali. Seorang penari bali yang kaliber tidak menerima bayaran satu juta rupiah per sekali tampil," katanya.

Kondisi inilah yang tidak menumbuhkan minat dan semangat generasi penerus Indonesia untuk memilih profesi seni tari sebagai pilihan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia seperti halnya penyanyi dan kalangan profesional lain di masyarakat, kata pria asal Desa Banjar Calo Bali itu.

"Mana bisa pemain 'Si Gale-Gale' (seni tari patung khas Batak di Pulau Samosir Danau Toba-red.) hidup dari 'Si Gale-Gale'. Jadi, potong kuping saya kalau anak anda mau disuruh belajar menari Tortor karena dia tidak bisa hidup dari situ. Beda dengan penyanyi."

Penyanyi laris seperti Krisdayanti tidak hanya mendapat bayaran yang sangat tinggi untuk sekali manggung tetapi dia juga diberikan tempat menginap yang enak di hotel berbintang, kata Wayan Sutedja mencoba memberi gambaran tentang perbedaan tajam tentang "masa depan" profesi penyanyi dan penari.

Sistim "Ngayah"

Menjawab pertanyaan tentang mengapa Padepokan Ulu Chandra yang resmi didirikannya sejak sepuluh tahun lalu masih tetap bertahan di tengah rendahnya apresiasi kongkrit banyak pihak terhadap seni tari dan penari, ia mengatakan, sistim "Ngayah" adalah benteng keyakinan dia dan para penari Ulu Chandra.

Sistim "Ngayah" inilah yang membuat para personil Ulu Chandra yang memiliki latar belakang pekerjaan yang beragam di luar aktivitas berkeseniannya selalu menari ke pura-pura walaupun tanpa dibayar karena adanya hubungan manusia dengan Tuhan dari menari tersebut, katanya.

"Di Bali, dengan konsep Ngayah tadi, tanpa dibayar pun kita akan tetap menari karena menari itu bagian dari ibadah. Di Ulu Chandra sendiri, ada di antara penarinya bekerja sebagai pematung, pemahat, pegawai negeri sipil, petani, sarjana tari, dan pemandu wisata," kata Wayan Sutedja.

Hanya saja, saat diminta untuk tampil di hotel berbintang di Bali, para pengelola hotel sepatutnya melihat pertunjukan tari tersebut dalam dimensi "the real business" (bisnis) sehingga bayaran bagi para penari pun selayaknya wajar. Namun yang terjadi dalam 40 tahun terakhir ini, apresiasinya tetap rendah.

"Salah satu buktinya, saat saya kecil dulu, saya naik truk (pengangkut) sapi kalau mau menari di hotel berbintang di Bali. Kondisi sekarang ini ternyata tidak berubah. Truk sapi masih menjadi andalan transportasi banyak grup kesenian Bali ke tempat pentas mereka. Ini benar-benar sangat tidak manusiawi," katanya.

Sistim "Ngayah" kembali menjadi pendorong grup tari Bali untuk tetap bertahan walaupun mereka tahu bahwa hotel misalnya adalah "petro dolar".

Kondisi yang kontraproduktif ini sepatutnya mendapat perhatian serius negara, kalangan pengusaha, dan masyarakat pada umumnya demi melestarikan seni budaya bangsa, katanya.

Kehadiran 21 orang personil "Ulu Chandra" di Darwin, Australia Utara, berkaitan dengan partisipasi mereka dalam acara "Pesona Indonesia" yang sudah berlangsung 23 Agustus malam dan "Festival Darwin" 25 Agustus malam.

*) My news for ANTARA on August 24, 2008

2 comments:

irfan hutagalung said...

Hi Mad,
Ini Irfan Hutagalung. Udah balik lagi kerja ya. Penuh betul nih blog. rajin sekali ente ya.
Btw, apa yang Rahmad tulis ini sesungguhnya apa yang juga sudah ditulis banyak orang dan diulang-ulang lagi oleh orang lain. seniman tradisional yg kere, keprihatinannya atas generasi muda yg ogah belajar seni made in dewe, sekaligus memuji orang asing yang lebih menghargai seni bangsa sendiri ketimbang orang indo sendiri. That was old story Mad. Nothing was new.

Seni Indonesia or seni nusantara or seni yg tumbuh dari masyarakat indo di tanah nusantara dan senimannya akan mati kalo memang mereka harus mati. Sebaliknya "seni asing" or seni non nusantara, or seni import akan berkibar ya karena memang harus berkibar. Maksud saya adalah the stronger will survive and vise versa. Gak usah disesali. that's life.

Rahmad Nasution said...

ya Sobat benar, that's the fact of life. ibarat iklan yang ditayangkan berulang-ulang, saya juga sedang melakukan itu. mudah-mudahan ada orang pemerintah dan kalangan pengusaha yang tersentuh dan menggalan gerakan 'mengubah paradigma berfikir' bangsa ini pada seniman secara bertahap, amien..

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity