Indonesia dan Australia perlu meningkatkan kerja sama penelitian dan hubungan antarmasyarakat tradisional kawasan pantai masing-masing negara untuk menggali beragam kearifan lokal yang mereka miliki bagi kepentingan konservasi sumberdaya bahari kedua negara, kata seorang peneliti. Bagi masyarakat Aborigin Australia, ikan hiu paus (whale shark), penyu dan dugong misalnya adalah hewan-hewan laut yang tidak boleh ditangkap karena dianggap sakral. Kearifan lokal yang sangat berguna bagi upaya konservasi ini juga dimiliki banyak kelompok masyarakat tradisional di Indonesia, katanya.
Di Maluku misalnya, ada yang dikenal dengan sebutan "sasi", yakni manajemen konservasi alam berbasis kearifan lokal. Salah satu bentuk kerja sama yang mungkin dilakukan adalah saling berkunjung antarmasyarakat tradisional kedua negara, kata Tonny.
Pengembangan kerja sama di tingkatmasyarakat ini tidak hanya akan mendukung upaya konservasi kekayaan bahari masing-masing negara tetapi juga setidaknya dapat memberi warna lain dari sekadar masalah penahanan nelayan Indonesia di Darwin, katanya.
Tonny berada di Darwin bersama tiga peneliti lain dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP RI, yakni Ir.elvi Wijayanti, MSc, Dr.Subhat Nurhakim, dan Drs. Tito Setiawan,MM, untuk menghadiri Konferensi "Coast to Coast" dan Forum Ahli Laut Arafura dan Timor (ATSEF) Australia.
Pakar-pakar yang berbicara di konferensi internasional tersebut adalah Will Steffen, Jo Mummery, Bob Naiman, Nicole Gurran, Eva Abal, Bob Pressey, Ray Masini, James Fox, dan Helene Marsh.

No comments:
Post a Comment