Pemerintah Indonesia dan Australia sudah saatnya duduk bersama membuat keseragaman peta batas laut yang akan menjadi pegangan bagi para nelayan Indonesia maupun aparat Australia yang bertugas mengamankan wilayah perairan supaya kesalahpahaman bisa dihindari kedua pihak."Harus ada satu keseragaman peta Indonesia dan Australia baik dari aspek teknis, bentuk maupun informasi untuk kepentingan para nelayan Indonesia dan otoritas Australia yang bertugas," kata Sekretaris II Pensosbud Konsulat RI Darwin, Arvinanto Soeriaatmadja, kepada ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane, Minggu.
Sejumlah kasus penangkapan nelayan Indonesia oleh otoritas kapal-kapal patroli Australia di perairan laut Arafura, sering disebabkan oleh pegangan peta yang berbeda di antara kedua pihak.
Banyak di antara nelayan Indonesia yang sempat dan masih ditahan di Pusat Penahanan (detention center) imigrasi Australia di Darwin, Northern Territory (NT) mengungkapkan bahwa mereka menggunakan "peta nomor 367" yang dikeluarkan TNI Angkatan Laut tahun 2000 sebagai pegangan mereka dalam melaut.
Dalam "peta nomor 367" itu, perbatasan laut kedua negara memang terlihat namun daerah zona penangkapan yang diarsir sesuai dengan kesepakatan MoU Box 1974 kedua negara tidak jelas terlihat dalam peta yang dikeluarkan TNI AL dan menjadi pegangan para nelayan, katanya.
"Kita sudah menerima 'peta nomor 367' yang menjadi pegangan banyak nelayan kita ini dari Otoritas Manajemen Perikanan Australia (AFMA). Memang secara teknis, tidak terlihat jelas daerah yang diarsir sebagaimana yang ada dalam peta yang dikeluarkan pihak Australia," katanya.
Di lapangan, para petugas AFMA tetap merujuk pada peta yang mereka miliki, sedangkan para nelayan Indonesia merujuk pada peta TNI AL. "Menurut saya, harus ada satu keseragaman baik teknis bentuk maupun informasinya yang akan menjadi pegangan bagi para nelayan dan petugas AFMA di lapangan," katanya.
Persoalan perbedaan peta merupakan salah satu poin penting yang mengemuka dalam dialog antara Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb dengan puluhan nelayan seusai melakukan shalat Jumat bersama di Pusat Penahanan Darwin 23 Mei lalu.
Dalam dialog yang turut dihadiri Konsul RI di Darwin, Harbangan Napitupulu, banyak di antara para nelayan merasa ditangkap kapal-kapal patroli Australia saat mereka masih berada di dalam perairan jurisdiksi Indonesia berdasarkan peta nomor 367 ini, katanya.
Dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Australia, berdasarkan MoU Box 1974, para nelayan tradisional Indonesia masih memiliki akses penangkapan di zona khusus.
Kawasan yang diperbolehkan Australia bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah Kepulauan Karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.
Sepanjang April lalu, Konsulat RI Darwin mencatat setidaknya ada 253 nelayan Indonesia yang ditahan otoritas Australia di Pusat Penahanan Darwin. Sebagian besar adalah para nelayan asal Sulawesi Selatan yang merupakan awak dari 33 kapal ikan.
Ditangkap di Indonesia
Terkait perihal penangkapan kapal-kapal ikan Indonesia itu, Konsul RI Darwin Harbangan Napitupulu mengutip pengakuan banyak nelayan mengatakan, mereka ditangkap saat masih berada di dalam jurisdiksi perairan Indonesia.
Bahkan pada 14 Mei lalu, lebih dari 200 nelayan Indonesia yang sedang ditahan di Pusat Pehananan Darwin, menggelar protes atas tindakan otoritas Australia yang mereka tuding telah menangkap kapal-kapal ikan mereka di dalam perairan Indonesia.
Sehari setelah aksi protes di Pusat Penahanan Darwin itu, Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia, Tony Burke, mengatakan kepada parlemen negara itu bahwa sebanyak 55 nelayan Indonesia yang ditahan di Pusat Penahanan Darwin terbukti tidak melanggar kedaulatan perairan Australia.
Para nelayan itu diberikan kompensasi atas kapal-kapal mereka yang dihancurkan aparat Australia pada saat penangkapan, kata Burke.
Terhadap pengakuan dan pembayaran kompensasi ini, Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb menyambut baik sikap ksatria pemerintah federal Australia yang mengakui bahwa sembilan dari 33 kapal nelayan Indonesia yang telanjur ditangkap kapal patroli negara itu terbukti tidak bersalah dan diberi ganti rugi.
"Buat saya, ini adalah sikap yang sangat baik. Kedekatan kita (sebagai dua negara bertetangga) memang memerlukan suatu kontak yang lebih baik," katanya di sela kunjungan kerjanya di Darwin.
Dubes Thayeb mengakui bahwa ia bertemu Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia Tony Burke, sebelum Burke menyampaikan kepada parlemen negaranya pertengahan Mei lalu bahwa sebanyak 55 orang nelayan Indonesia terbukti tidak melanggar kedaulatan perairan Australia.
Sikap Australia yang lebih terbuka ini menandakan hubungan kedua negara sudah semakin baik dan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada secara baik.
Dalam masalah "illegal fishing" (penangkapan ikan secara tidak sah) di perairan Australia oleh kapal ikan asing, termasuk asal Indonesia, Menteri Dalam Negeri Australia Bob Debus, baru-baru ini mengatakan bahwa "illegal fishing" adalah masalah yang bukan hanya dihadapi Australia tetapi juga Indonesia.
Cara efektif untuk mengatasi persoalan itu adalah kerjasama internasional, katanya. "Pencurian ikan adalah masalah internasional yang telah mengancam stok ikan dunia, lingkungan bahari dan keamanan perbatasan semua negara di kawasan," kata Debus.
*) My news for ANTARA on June 1, 2008

No comments:
Post a Comment