Sunday, May 25, 2008

AUSTRALIA PULANGKAN 50 NELAYAN INDONESIA

Pemerintah Australia kembali memulangkan 50 orang nelayan Indonesia yang ditahan otoritas negara itu di Pusat Penahanan Darwin ke Tanah Air via Kupang, Sabtu.

"Pemulangan mereka dilakukan dalam dua tahap. Pada Sabtu pagi sekitar pukul 09.00, diberangkatkan 25 orang dan pada pukul 15.00 (waktu Darwin) diberangkatkan lagi 25 orang," kata Sekretaris III/Pensosbud Konsulat RI Darwin, Wahono Yulianto.

Para nelayan itu merupakan bagian dari awak 24 kapal ikan Indonesia yang ditangkap kapal-kapal patroli Australia April lalu. Pemulangan mereka dilakukan pemerintah Australia dengan pesawat sewa, katanya.

Otoritas imigrasi Australia 17 Mei lalu juga sudah memulangkan 43 nelayan Indonesia yang menurut hasil investigasi pemerintah Australia sendiri terbukti tidak bersalah. Mereka berasal dari sembilan kapal ikan yang mendapat kompensasi, katanya.

"Pada 17 Mei pagi, dipulangkan pula 13 orang nelayan kita yang masuk kategori reguler (atau nelayan yang dinyatakan bersalah oleh Australia-red.)," kata Wahono.

Sepanjang April lalu, Konsulat RI Darwin mencatat setidaknya ada 253 nelayan Indonesia yang ditahan di Pusat Penahanan Darwin. Sebagian besar adalah para nelayan asal Sulawesi Selatan, seperti Pulau Buton. Mereka merupakan awak dari 33 kapal ikan yang ditangkap otoritas Australia bulan lalu.

Terkait perihal penangkapan kapal-kapal ikan Indonesia itu, Konsul RI Darwin Harbangan Napitupulu mengutip pengakuan banyak nelayan mengatakan, mereka ditangkap saat masih berada di dalam jurisdiksi perairan Indonesia.

Bahkan pada 14 Mei lalu, lebih dari 200 nelayan Indonesia yang sedang ditahan di Pusat Pehananan Darwin, menggelar protes atas tindakan otoritas Australia yang mereka tuding telah menangkap kapal-kapal ikan mereka di dalam perairan Indonesia.

Sehari setelah aksi protes di Pusat Penahanan Darwin itu, Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia, Tony Burke, mengatakan kepada parlemen negara itu bahwa sebanyak 55 nelayan Indonesia yang ditahan di Pusat Penahanan Darwin terbukti tidak melanggar kedaulatan perairan Australia.

Para nelayan itu diberikan kompensasi atas kapal-kapal mereka yang dihancurkan aparat Australia pada saat penangkapan, kata Burke.

Terhadap pengakuan dan pembayaran kompensasi ini, Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb menyambut baik sikap ksatria pemerintah federal Australia yang mengakui bahwa sembilan dari 33 kapal nelayan Indonesia yang telanjur ditangkap kapal patroli negara itu terbukti tidak bersalah dan diberi ganti rugi.

"Buat saya, ini adalah sikap yang sangat baik. Kedekatan kita (sebagai dua negara bertetangga) memang memerlukan suatu kontak yang lebih baik," katanya di sela kunjungan kerjanya di Darwin.

Dubes Thayeb mengakui bahwa ia bertemu Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia Tony Burke, sebelum Burke menyampaikan kepada parlemen negaranya pertengahan Mei lalu bahwa sebanyak 55 orang nelayan Indonesia terbukti tidak melanggar kedaulatan perairan Australia.

Sikap Australia yang lebih terbuka ini menandakan hubungan kedua negara sudah semakin baik dan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada secara baik.

Terkait persoalan "illegal fishing" (penangkapan ikan secara tidak sah) di perairan Australia oleh kapal ikan asing, termasuk asal Indonesia, Menteri Dalam Negeri Australia Bob Debus, baru-baru ini mengatakan bahwa "illegal fishing" adalah masalah yang bukan hanya dihadapi Australia tetapi juga Indonesia.

Cara efektif untuk mengatasi persoalan itu adalah kerjasama internasional, katanya. "Pencurian ikan adalah masalah internasional yang telah mengancam stok ikan dunia, lingkungan bahari dan keamanan perbatasan semua negara di kawasan," kata Debus.

Dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Australia, berdasarkan MoU Box 1974, para nelayan tradisional Indonesia masih memiliki akses penangkapan di zona khusus sebagaimana tertera dalam peta yang disepakati ke dua negara.

Kawasan yang diperbolehkan Australia bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah Kepulauan Karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

*) My news for ANTARA on May 24, 2008

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity