Oleh Rahmad Nasution
"Sedia Payung Sebelum Hujan", begitu langkah-langkah antisipatif yang diambil Australia dalam merespon ancaman pandemi flu burung, yang membunuh sedikitnya 78 orang di Indonesia dan 16 orang di China.
Ketika flu burung menyebabkan kerugian sekitar Rp13 triliun kepada industri peternakan unggas Indonesia sejak mewabah tahun 2003 itu, Australia justru masih "aman-aman" saja.
Hingga kini, tidak ada laporan tentang adanya kasus Avian Influenza (AI) di negara benua yang hanya berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa itu.
Kendati masih "relatif aman", berbagai langkah antisipatif sudah disiapkan pemerintah federal untuk menghadapi kemungkinan terburuk, termasuk menyediakan 8,75 juta obata antiviral Tamiflu dan Relenza sebagai cadangan yang siap pakai.
Dengan cadangan sebanyak itu, Australia tercatat sebagai salah satu negara dengan cadangan Tamiflu dan Relenza terbesar di dunia.
Laporan Kementerian Kesehatan dan Penuaan Australia tentang rencana manajemen pandemi influenza 2006 menyebutkan, cadangan sebanyak 8,75 juta antiviral Tamiflu dan Relenza hingga awal 2007 itu siap digunakan dalam waktu 24 jam jika diperlukan.
Selain itu, Pemerintah Australia juga sudah menyiapkan dua juta masker "P2", sebanyak 40 juta masker bedah serta berbagai sarung tangan dan peralatan medis lain yang diperlukan.
Sejak 2002, kesiapan Australia dalam mengantisipasi terjadinya pandemi penyakit menular maupun serangan terorisme biologi (bio-terrorism) terus dilakukan, termasuk menyediakan alat pemeriksa yang disebut "thermal imaging scanners" di bandar udara-bandar udara.
Perangkat "Thermal Imaging Scanners" itu bermanfaat untuk mengidentifikasi orang-orang yang mungkin terjangkit flu.
Menteri Kesehatan dan Penuaan Australia Tony Abbott mengatakan, ancaman pandemi flu mematikan itu merupakan sesuatu yang "nyata".
"Memang sulit untuk memprediksi kapan pandemi itu terjadi, namun Australia tentu dapat bersiap diri. Pemerintah Persemakmuran sudah menyiapkan berbagai langkah yang diperlukan guna memastikan Australia benar-benar terlengkapi untuk merespon (ancaman ini)," katanya.
Sejak flu burung mewabah akhir 2003, pemerintah telah mengambil langkah dengan menyiapkan dana sebesar 555 juta dolar Australia untuk memastikan kemampuan Australia dalam menangani pandemi.
"Dana itu termasuk 141 juta dolar untuk membantu para tetangga (negara tetangga) kita agar mereka dapat lebih baik menanggulangi ancaman flu burung ini," katanya.
Dalam rencana aksi Australia, dua hal yang menjadi fokus adalah "kontainmen" wabah dan pemeliharaan berbagai pelayanan yang penting. "Kontainmen berarti, di tahap awal pandemi, berbagai upaya intensif sudah harus dilakukan untuk menanggulangi pandemi sehingga tercukupi waktu untuk membuat vaksin influenza."
"Bukti ilmiah terbaru menunjukkan bahwa upaya penanggulangan awal dan intens membantu pembuatan vaksin pada waktunya. Kontrak-kontrak dengan pabrik pembuat obat sudah juga dilakukan," katanya.
Strategi kontainmen tersebut juga meliputi pengurangan jumlah orang yang masuk ke Australia dan berbagai langkah pengawasan infeksi, serta karantina singkat bagi mereka yang terkena virus flu, katanya.
Guru Terbaik
Bagi Australia, sejarah merupakan guru terbaik. Betapa tidak, negara tetangga Indonesia ini pernah merasakan pahitnya pandemi flu Spanyol tahun 1919 karena sekitar 11.500 warganya, kebanyakan remaja, meninggal.
Dunia pun pernah mengalami pandemi flu pada 1918, 1957, dan 1968. Pada pandemi flu Spanyol yang terjadi dalam tiga gelombang, yakni 1918, 1919 dan 1957-1958, antara 20 hingga 40 juta orang meninggal di seluruh dunia.
Dalam pandemi flu Asia tahun 1957, dua juta orang dilaporkan tewas. Bayi dan orang lanjut usia merupakan kelompok penderita yang sangat rentan terhadap virus flu ini, sedangkan pada pandemi flu Hongkong tahun 1968-1970, satu juta orang di seluruh dunia meninggal dunia.
Menyadari ancaman yang dapat saja terjadi setiap saat, terlebih lagi Australia bertetangga langsung dengan Indonesia, negara yang "babak-belur" diamuk rentetan bencana alam dan wabah virus H5N1 dalam beberapa tahun terakhir, membangun kolaborasi merupakan bagian dari strategi antisipatifnya.
Bahkan, dalam masalah penanganan flu burung di Indonesia, Australia tercatat sebagai salah satu negara sahabat yang paling gencar membantu Indonesia sejak virus mematikan yang menyerang unggas tersebut merebak tahun 2003.
Pada Oktober 2006 lalu misalnya, Pemerintah Australia memberikan bantuan tambahan sebesar Rp11 milyar untuk membantu memperkuat deteksi flu burung di Indonesia.
Duta Besar Australia di Jakarta Bill Farmer mengatakan, bantuan tambahan yang merupakan bagian dari paket bantuan Australia sebesar Rp107 milyar untuk memberantas virus flu burung di Indonesia itu digunakan untuk memperkuat kapasitas Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner dalam mendiagnosis virus H5N1 di peternakan.
Dari nilai yang telah dijanjikan itu, Pemerintah Australia hingga Oktober 2006 telah mengeluarkan sebesar Rp62 milyar untuk membiayai pengerahan tim cepat tanggap Badan Kesehatan Dunia (WHO), pembelian 50.000 paket Tamiflu, pembuatan Rencana Nasional Kesiapan Pandemik untuk Indonesia, dan Pengawasan Berbasis Masyarakat.
Kedua negara juga sudah bekerja sama dalam memperkuat jaringan laboratorium kesehatan hewan Indonesia di tingkat provinsi, nasional dan regional, serta memperkuat sistem karantina internal guna mencegah penyebaran penyakit ke daerah-daerah yang belum terkena virus flu burung.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, kerja sama dan koordinasi yang erat antarnegara memang sangat diperlukan dalam menanggulangi virus flu burung sangat penting karena kalaupun terjadi "outbreak" (pandemi) serius di Indonesia, Australia pasti akan terkena dampaknya.
"Kalaupun yang terkena 'outbreak' Indonesia, maka Australia juga akan terpengaruh. Negara-negara Asia Pasifik lain tidak bisa diam-diam saja. Mereka juga terkena dampak dari 'outbreak' itu," katanya sesaat sebelum bertemu Tony Abbott MHR di sela kehadirannya dalam pertemuan tingkat Menkes APEC di Sydney.
Dalam pertemuan kedua menteri kesehatan itu, kembali kerja sama baru Indonesia dan Australia diperluas.
Kali ini, seperti dikatakan Menkes Siti Fadilah Supari, kedua pihak sepakat untuk mengembangkan vaksin Avian Influenza secara transparan sebagai bagian dari komitmen bilateral dalam memberantas wabah H5N1.
Dampak ekonomi
Virus flu burung tidak hanya mematikan tetapi juga berdampak buruk terhadap perekonomian negara yang terjangkit sebagaimana dapat dilihat dari pengalaman Indonesia.
Mengingat pentingnya isu ini, pertemuan para menkes Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang kini beranggotakan Indonesia, Australia, AS, Brunei, Kanada, Chile, RRC, Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini , Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, dan Vietnam itu juga tampaknya memperkuat langkah bersama untuk menanggulangi pandemi flu burung ini.
Sinyal bagi penguatan langkah bersama 21 anggota ekonomi forum kerja sama ekonomi yang sudah eksis sejak 1989 itu pun sudah disampaikan Menteri Kesehatan dan Penuaan Australia Tony Abbott selaku tuan rumah pertemuan yang berlangsung di Hotel Westin Sydney dari 6 hingga 8 Juni ini.
Dalam pernyataannya, Tony Abbott mengingatkan bahwa koordinasi dan kolaborasi antaranggota ekonomi APEC tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang dengan sendirinya berjalan, dan pertemuan menteri kesehatan (HMM) di Sydney ini merupakan kesempatan bersama untuk melanjutkan rencana aksi yang telah disepakati dalam pertemuan di Vietnam tahun 2006.
"Pertemuan ini akan memusatkan perhatian pada pengembangan pendekatan yang berkesinambungan dan multi sektoral untuk lebih bersiap diri dalam menangani pandemi penyakit menular," katanya.
Pertemuan HMM dan Satgas Kesehatan APEC ini juga memberikan kesempatan kepada para menteri untuk menilai kembali berbagai pencapaian selama ini guna mengkaji pentingnya kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung ketahananan ekonomi dan tingkat kemakmuran sosial di kawasan Asia Pasifik, katanya.
Pertemuan di Sydney ini juga akan difokuskan pada bagaimana menolong anggota-anggota ekonomi APEC sehingga mereka mampu menghadapi pandemi flu burung dan berbagai ancaman kesehatan lainnya melalui kerja sama regional dan internasional serta kemitraan dengan sektor swasta.
HMM APEC 2007 yang mengambil tema "Membangun Investasi Kita: Pendekatan Berkesinambungan dan Multi Sektoral untuk Kesiapan Pandemik dan Berbagai Ancaman Kesehatan Yang Muncul" itu merupakan kesempatan Australia untuk "memagari" diri dari ancaman yang dapat datang setiap saat ini.
Australia tampaknya berupaya keras menghindari kenaasan yang dialami Indonesia dan negara-negara lain yang terjangkit flu burung yang secara global telah menyebabkan kerugian material sedikitnya dua miliar dolar AS atau Rp18,282 triliun (1 dolar AS=Rp9.141-red) hanya dalam kurun waktu September 2005- September 2006, serta nyawa warga negara.
Seperti ditegaskan Tony Abbott dalam laporan kementeriannya yang dalam sampul depannya tertulis "Informasi Penting untuk Seluruh Rakyat Australia" bahwa "kemungkinan terjadinya pandemi influenza adalah sesuatu yang nyata adanya". Dan Australia telah "menyediakan payung sebelum 'hujan' itu benar-benar datang".
*) dipublikasi ANTARA pada 6 Juni 2007
Saturday, December 29, 2007
"SEDIA PAYUNG SEBELUM HUJAN": STRATEGI AUSTRALIA ANTISIPASI FLU BURUNG
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
About Me
- Rahmad Nasution
- Brisbane, Queensland, Australia
- Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".
Useful Links
- Aircraft Lovers? Go Here
- ALA's tips in Andi Arsana's blog
- ANTARA News Service
- Asia Security Blog
- ASPI: Aussie Govt's Think Tank
- Australian Defence White Paper
- Bagi yang pengen ngaji Qur'an
- BBC Training
- Blog Adian Husaini
- Blog Guardian UK
- British Journalism Review
- Center for Learning English
- CNN
- Cornell Modern Indonesian Collection
- Cornell Modern Indonesian Collection
- Diknas' Free Text Books
- Diknas' Free Text Books
- Diknas' Free Text Books
- Diknas' Free Text Books
- English dictionary
- Era Muslim Online
- Free Electronic Journals
- Go to "Gudang Lagu"
- Go to UQ's digital repository
- Inspiring blog of Armein Zainal Rahman Langi
- Kisi-Kisi Ujian Nasional
- Kompas Online
- Learning from MIT
- Learning IELTS
- Missing Indonesia? Go Here
- Nature (Journal of Science)
- Peace Journalism (Jake Lynch)
- Power Reporting (Online Resources)
- Quick Tips of IELTS
- Rekam Jejak Indonesia-TV Dokumenter
- Republika Online
- The United Nations
- The University of Queensland (UQ)
- Universitas Sumatera Utara (USU)
- Watching Indonesian TV
- Watching Metro TV Jkt
- Weblog of Lowy Institute Australia
No comments:
Post a Comment