Oleh Rahmad Nasution
"Anda (Presiden George W.Bush) harus bertaubat!" Itulah penggalan seruan Pendeta Dr.Petrus Octavianus, DD, Ph.D. dalam pidato yang menawan pada acara peluncuran buku, 14 November 2006 di Jakarta.
Pertobatan, kata pendeta yang akrab disapa Pak Octav itu, perlu dilakukan Bush karena keputusannya untuk menyerang dan menduduki Irak sejak 2003 telah melanggengkan lingkar kekerasan dan berpotensi melahirkan konflik berkepanjangan antara umat beragama di dunia.
Octav yang pada 14 November malam itu meluncurkan buku "Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia Adidaya (2030-2055) jilid ketiga, adalah tokoh Kristiani Indonesia yang telah menyurati Bush tiga tahun lalu guna memintanya untuk mengurungkan niat menginvasi Irak.
Melalui surat tertanggal 5 Februari 2003 itu, ia mengingatkan bahwa invasi AS untuk mendongkel Saddam Husein hanya akan menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda yang justru akan melahirkan konflik berkepanjangan antara umat beragama di dunia.
"Kemungkinan lahirnya konflik yang berkepanjangan antara umat Islam dengan umat Kristen di dunia, karena sebagian umat Islam di dunia memandang peperangan itu sebagai perang antara Islam dan Kristen karena mereka memandang (Bapak) Presiden G.W.Bush bukan hanya sebagai Presiden Amerika Serikat tetapi juga sebagai tokoh Kristen...," katanya dalam surat itu.
"Kelanjutan dari konflik ini, akan banyak orang menderita akibat pembunuhan dan balas dendam," kata pimpinan Yayasan Persekutuan Perkembangan Injil Indonesia (YPPII) kelahiran Laes, Desa Oelasin, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur, 29 Desember 1928 itu.
Dalam pandangan Pendeta Octav, konsekuensi dari kebijakan Presiden Bush di Irak yang justru menjadi penyebab kekalahan Partai Republik -- kendaraan politik Bush -- dalam Pemilu sela 7 November lalu itu sangat serius bagi keamanan dunia.
Konflik berlarut-larut di Irak itu tidak hanya menyebabkan banyaknya anak Irak dan Amerika yang kehilangan orang tua dan para istri menjadi janda karena suami-suami mereka menjadi korban kekerasan perang, tetapi juga menyebabkan negeri itu berada di ambang perang saudara dan meningkatkan aksi terorisme di dunia.
Dalam surat berbahasa Inggris itu, Octav tampak berupaya sekuat tenaga untuk meyakinkan Bush bahwa langkah pemerintahnya menyerang Irak merupakan keputusan yang salah karena ia tetap meyakini bahwa tetap ada jalan keluar yang damai untuk menyelesaikan masalah Irak.
Jalan damai yang dimaksud pendeta yang telah menulis 52 buku dalam 78 tahun usianya itu adalah mengikuti apa yang telah dilakukan mantan presiden AS Abraham Lincoln yang melaksanakan "doa puasa nasional dan internasional di seluruh Amerika" maupun mantan perdana menteri Inggris Winston Churchill yang juga berserah diri kepada Tuhan saat menghadapi ancaman serangan Jerman dalam Perang Dunia II.
Namun, Bush menampik semua saran Octav dalam suratnya itu, termasuk usul agar dilakukan apa yang disebutnya "doa puasa nasional (rakyat AS) dan internasional" oleh berbagai bangsa yang cinta damai.
Orang nomor satu di AS itu tetap menginvasi Irak dengan berbagai konsekuensinya.
Keberhasilan pasukan koalisi pimpinan AS menduduki Irak dan menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein tidak serta merta menjadikan negeri itu lebih baik, dan dunia lebih aman.
Dalam bahasa Pendeta Petrus Octavianus, Presiden Bush telah keliru dalam menerapkan "teori pukul lalat tanpa merusak kue" dalam menangani masalah Irak.
Bak kata pepatah -- "Nasi Sudah Menjadi Bubur". Kondisi Irak yang rapuh dan langgengnya rantai kekerasan di negeri itu merupakan fakta dari kekeliruan kebijakan pemerintahan Bush kendati Bush sendiri tetap berkeyakinan bahwa dunia lebih aman tanpa Saddam Hussein.
Penentangan yang luas dari berbagai elemen rakyat Indonesia terhadap rencana kunjungannya ke Istana Bogor 20 November 2006, termasuk seakan merupakan bagian dari ongkos yang harus diterima Bush atas kebijakan luar negerinya di Irak.
Bahkan, nama Bush ikut terseret ke pusaran opini publik di Indonesia yang menyebutnya sebagai "penjahat perang", tudingan yang beberapa hari belakangan diarahkan ke mantan menteri pertahanannya, Donald Rumsfeld, pasca pengunduran dirinya 9 November lalu.
Anggota Komisi I DPR-RI, Suripto, mengatakan, baik Rumsfeld dan Bush harus secepatnya diseret ke Mahkamah Internasional karena keduanya berada satu paket sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Irak.
"Jika Rumsfeld penjahat perang, secara otomatis Bush juga penjahat perang dan pelanggar HAM berat. Karena keduanya satu paket," kata anggota Komisi I DPR Suripto.
Waktu bagi Bush untuk memperbaiki kebijakan luar negerinya di Irak maupun kawasan lain di dunia yang selama ini justru kontraproduktif terhadap upaya menciptakan kehidupan dunia yang lebih baik dan aman tetap terbuka dalam dua tahun sisa periode pemerintahannya.
Akankah Bush kali ini mendengar seruan Pendeta Octav agar dia segera bertobat? Hanya waktu yang akan menunjukkan apakah kebesaran hati seorang negarawan masih ada dalam sanubari pemimpin negara adidaya yang akan menjadi "tamu kehormatan" rakyat Indonesia ini.
*) tulisan menjelang kunjungan Bush ke Bogor 2006
Saturday, December 29, 2007
BUSH, IRAK, DAN PENDETA INDONESIA*)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
About Me
- Rahmad Nasution
- Brisbane, Queensland, Australia
- Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".
Useful Links
- Aircraft Lovers? Go Here
- ALA's tips in Andi Arsana's blog
- ANTARA News Service
- Asia Security Blog
- ASPI: Aussie Govt's Think Tank
- Australian Defence White Paper
- Bagi yang pengen ngaji Qur'an
- BBC Training
- Blog Adian Husaini
- Blog Guardian UK
- British Journalism Review
- Center for Learning English
- CNN
- Cornell Modern Indonesian Collection
- Cornell Modern Indonesian Collection
- Diknas' Free Text Books
- Diknas' Free Text Books
- Diknas' Free Text Books
- Diknas' Free Text Books
- English dictionary
- Era Muslim Online
- Free Electronic Journals
- Go to "Gudang Lagu"
- Go to UQ's digital repository
- Inspiring blog of Armein Zainal Rahman Langi
- Kisi-Kisi Ujian Nasional
- Kompas Online
- Learning from MIT
- Learning IELTS
- Missing Indonesia? Go Here
- Nature (Journal of Science)
- Peace Journalism (Jake Lynch)
- Power Reporting (Online Resources)
- Quick Tips of IELTS
- Rekam Jejak Indonesia-TV Dokumenter
- Republika Online
- The United Nations
- The University of Queensland (UQ)
- Universitas Sumatera Utara (USU)
- Watching Indonesian TV
- Watching Metro TV Jkt
- Weblog of Lowy Institute Australia
No comments:
Post a Comment