Saturday, December 29, 2007

RAMADHAN TANPA BEDUG DI AUSTRALIA


Oleh Rahmad Nasution

Ramadhan di Australia tak ubahnya bulan-bulan lain di sepanjang tahun. Tak ada yang berbeda dalam roda dan aura kehidupan publik di sana.

Disebut demikian karena umat Islam yang merupakan kelompok minoritas di negara benua berpenduduk 20,2 juta jiwa itu menjalankan sendiri ibadah puasanya di tengah "mainstream" kehidupan mayoritas warga non-Muslim Australia yang tak berubah di sekitar mereka.


Jangan bermimpi akan lantunan azan magrib yang menandai tibanya waktu berbuka puasa dari pengeras-pengeras suara masjid dan musholla. Tidak pula ada tradisi sekelompok anak dan remaja yang dengan riang gembira berkeliling jalan-jalan desa dan perumahan sembari menabuh bedug menjelang sahur.


Di pagi buta yang dingin, yang kerap menjadi penanda tibanya waktu subuh hanyalah suara kicauan burung-burung Kookabura atau hewan-hewan lain.
Muslim Indonesia di negeri ini pun tidak akan pernah "disapa" Ustadz Jefri Al Buchori alias Uje atau para penceramah lain yang silih berganti tampil di layar televisi Tanah Air.

Aura Ramadhan seperti yang dinikmati ratusan juta Muslim di Tanah Air memang tak hadir di Australia, tanah kaum Aborigin yang justru menjadi kelompok masyarakat yang miskin dan terbelakang di tanah mereka sendiri itu.


Denyut nadi kehidupan masyarakat Brisbane, kota terbesar ketiga Australia yang merupakan ibukota Negara Bagian Queensland, misalnya, berjalan seperti biasa. "Business as usual!".

Berbagai restoran siap saji dan kedai kopi pinggir jalan, "food court" di gedung-gedung plaza maupun lokasi wisata kuliner lain di seputar kota yang wilayahnya dibelah Sungai Brisbane itu tetap buka tanpa dilengkapi tirai apalagi spanduk berisi "maaf bagi Muslim yang berpuasa".

"Refectory" (kantin) kampus universitas pun setali tiga uang. Kantin-kantin di kampus utama Universitas Queensland (UQ) St.Lucia termasuk di antara yang tetap dipenuhi orang-orang yang makan dan minum.

Di ruang-ruang publik, seperti "pantai buatan" South Bank Brisbane yang menjadi tempat favorit bagi warga kota untuk berenang atau sekadar "berjemur" dan taman-taman kota, juga tak menampakkan perubahan karena boleh jadi mereka tak mengenal bulan suci bagi kaum Muslim itu.


Ketidakhadiran Ramadhan di negara benua itu seakan lengkap dengan tak adanya ucapan selamat resmi dari pemerintah kepada warga minoritas Muslimnya yang berpuasa -- satu hal membedakan Canberra dengan Washington DC.


Presiden Amerika Serikat (AS), negara adidaya yang menjadi "kiblat" politik dan ekonomi Canberra selama Perdana Menteri John Howard berkuasa, justru sudah bertahun-tahun lamanya mentradisikan pemberian ucapan selamat berpuasa Ramadhan maupun merayakan Hari Raya Idul Fitri kepada warga Muslim Amerika dan dunia.


Di tengah situasi ruang publik yang tak berubah itu, sekitar 300 ribuan Muslim Australia yang berasal dari beragam latar belakang suku bangsa menjalankan ibadah puasanya.
Hidupkan Ramadhan Bagi masyarakat Muslim Indonesia yang berdomisili di berbagai kota utama Australia, ketidakhadiran bedug dan kehebohan pasar panganan Ramadhan yang lazim ditemui di banyak tempat di Tanah Air tak menyurutkan semangat mereka untuk "menghidupkan nuansa Ramadhan" di lingkungan mereka.

Azhari Yahya, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh yang kini sedang menyelesaikan program magisternya di Crawford School of Economics and Government Universitas Nasional Australia (ANU), misalnya, mengatakan, shalat tarawih tidak selalu ditunaikan di masjid melainkan di rumah sendiri bersama anggota keluarga. "Namun, Insya Allah, KBRI Canberra menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah setiap Jumat malam dan Sabtu malam setiap pekan selama Ramadhan," kata ayah dua anak itu.

Selain acara berbuka puasa dan shalat tarawih berjamaah di KBRI Canberra setiap Jumat malam dan Sabtu malam, Ketua Panitia Ramadhan 2007 di Canberra, Imam As'ari, mengatakan, pihaknya juga telah menyiapkan sejumlah program yang menarik dan bermanfaat sepanjang bulan suci.


Beberapa kegiatan yang telah disiapkan itu adalah peringatan Nuzulul Qur'an pada 17 Ramadhan, pesantren kilat bagi anak-anak dan orang dewasa setiap Sabtu sore, lomba cerdas cermat tentang keislaman bagi anak-anak, lomba membaca Al Quran, lomba azan, hafalan ayat-ayat Al Quran, dan menggambar kaligrafi Islam.

"Kita juga mendukung jamaah yang ingin melakukan i'tiqaf di Masjid Canberra pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Pengumpulan dan penyaluran zakat fitrah, zakat harta, infaq dan sadaqah juga kita lakukan," katanya.

Kegiatan sepanjang Ramadhan yang didukung penuh oleh berbagai organisasi dan kelompok pengajian masyarakat Muslim Indonesia, seperti Pesantren anak, Minaret, AIMF, dan Nahdlatul Ulama (NU), KBRI Canberra, Korpri serta PPIA Canberra itu akan berpuncak pada acara malam takbiran, sholat Idul Fitri bersama di kompleks KBRI Canberra, dan halal bil halal di Wisma Duta, kata Imam.

Bagaimana dengan Melbourne, Sydney dan Brisbane?
Konsul Jenderal RI di Melbourne, Budiarman Bahar, mengatakan, kesemarakan Ramadhan pun tak kalah terasanya di kalangan komunitas Muslim Indonesia di ibukota Negara Bagian Victoria itu karena mereka umumnya menunaikan shalat tarawih berjamaah secara berkelompok di beberapa tempat.

"Untuk acara buka puasa bersama, Insya Allah KJRI Melbourne menyelenggarakannya pada 30 September," katanya.

Acara berbuka puasa dan tarawih bersama bagi masyarakat Muslim juga menjadi bagian dari program kegiatan Konsulat Jenderal RI di Sydney, kota terbesar di Australia dan menjadi tempat domisili sekitar 7.000 warga Indonesia itu.

Berpusat di musholla Di Brisbane, "kehadiran Ramadhan" di kalangan orang-orang Indonesia antara lain berpusat di Musholla Kampus UQ St.Lucia. Presiden Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB), Mohamad Fauzi, mengatakan, dalam menyambut datangnya Ramadhan 2007, pihaknya telah memulainya dengan kegiatan membersihkan musholla Ahad lalu (9/9).

Namun, seperti Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, IISB tidak menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah sendiri melainkan ikut dengan agenda kegiatan shalat tarawih Asosiasi Mahasiswa Muslim Universitas Queensland (MSA-UQ) di musholla kampus, katanya.


Kegiatan lainnya adalah menyelenggarakan acara berbuka puasa (Ifthor) bersama secara bergiliran setiap pekan, pesantren kilat bagi putra-putri jamaah pada pekan ketiga Ramadhan, serta pengumpulan dan penyaluran zakat fitrah, zakat mal, infaq dan shadaqah oleh seksi sosial IISB.


Dalam acara berbuka puasa bersama IISB pada 22 September lalu, sekitar seratus orang Muslim dari Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah hadir.
Suasana riuh dan penuh keakraban mewarnai acara berbuka puasa yang disediakan sejumlah keluarga Indonesia yang berhimpun dalam IISB itu.

Orang tua yang datang bersama anak-anak mereka bercampur baur dengan komunitas mahasiswa Muslim mancanegara. Dengan sabar mereka mengantre panganan berbuka berupa kolak ubi, buah, nasi, semur daging, sambal teri, bakwan jagung, sayur lodeh, dan kue-kue.

Banyak di antara mereka menyantap makanannya sambil duduk di atas terpal plastik warna biru yang dibentangkan di halaman musholla.
Setengah jam sebelum tiba waktu berbuka dan diikuti dengan shalat Magrib berjamaah, ceramah singkat bertema "Ramadhan dan Al Qur'an" diberikan Edy Idris Syahrial, mahasiswa pascasarjana UQ asal Mataram.

Dalam ceramahnya, Edy mengingatkan perlunya kaum Muslimin menambah dan memperbaiki mutu bacaan Al Qur'an mereka selama sebulan penuh Ramadhan. Sesepuh masyarakat Indonesia di Brisbane, Iman Partiredjo, mengatakan, acara Iftar bersama yang digagas keluarga-keluarga dan para mahasiswa Indonesia itu sudah berlangsung sejak 1980-an.

Sebelum mengambil tempat di Musholla dan halaman Musholla UQ yang berlokasi di persimpangan jalan Hawken Drive dan UpLand itu, acara berbuka puasa pernah dilakukan dari rumah ke rumah.
Bahkan, saat malam takbiran tiba, ada saja yang menyediakan rumahnya untuk menjadi tempat acara takbiran, kata mantan dosen IKIP Bandung yang pindah tugas ke Australia untuk mengajar Bahasa Indonesia tahun 1960-an itu.

Berpuasa Ramadhan di negara yang berpenduduk mayoritas non-Muslim dengan kondisi sosio-budaya, politik, dan ekonomi yang jauh berbeda dari Indonesia itu penuh "godaan".

Namun, seperti kata Hendry Baikuni, mahasiswa program doktoral UQ, Tuhan akan memberikan pahala yang setimpal dengan beratnya "godaan".

"The more the temptation is, the more the reward will be (semakin besar godaan, semakin besar penghargaan yang diterima)," katanya.

*) disiarkan ANTARA pada 25 September 2007

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity