Saturday, December 29, 2007

AMROZI DAN INKONSISTENSI AUSTRALIA PADA HUKUMAN MATI


Oleh Rahmad Nasution

Hukuman mati bagi Amrozi bin H. Nurhasyim, Ali Ghufron dan Imam Samudera, tiga orang eksekutor Bom Bali 12 Oktober 2002 hanya soal waktu, setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang mereka ajukan.

Hanya saja, seperti yang disampaikan Jaksa Agung Hendarman Soepandji, eksekusi terhadap Amrozi belum akan dilakukan sampai ada keputusan terhadap grasi yang diajukan tim penasehat hukumnya.

Terlepas dari kapan eksekusi dilakukan, penolakan MA atas permohonan PK tetap mendapat tempat di media massa Australia.

Dalam perkara hukuman mati, publik di Australia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi Koalisi Partai Liberal-Nasional yang kini berkuasa maupun Partai Buruh Australia (ALP), secara resmi menentang hukuman mati.

Namun di sisi lain negeri itu telah kehilangan 88 orang warganya. Sehingga terhadap kasus Bom Bali 2002,kedua kekuatan utama di Australia tampak mendukung penuh keputusan pengadilan Indonesia.

Perdana Menteri John Howard termasuk pejabat pemerintah yang mendukung rakyatnya yang pro-hukuman mati bagi Amrozi Cs.

Menjelang rencana eksekusi bagi Amrozi pada 22 Agustus 2006 namun akhirnya ditunda karena kuasa hukummya mengajukan peninjauan kembali (PK), yang belakangan ditolak MA pada 18 September 2007, PM Howard ikut meramaikan perdebatan publik di media massa negara itu.

"Saya tahu banyak orang Australia yang percaya bahwa hukuman mati itu tepat dan mereka bukan barbar, bukan insensitif, bukan pula ingin membalas dendam atau menaruh dendam. Mereka adalah orang-orang yang percaya bahwa seandainya anda mengambil kehidupan orang lain, keadilan menuntut pengambilan atas hidup anda," kata Howard (The Age, 9/8/ 2003).

Di mata sejumlah anggota keluarga dan sahabat para korban Bom Bali 2002, hukuman mati bagi Amrozi Cs pun sebagai sesuatu yang pantas karena bagi mereka "mata harus dibayar dengan mata".

Danny Hanley, warga Australia yang kehilangan dua orang anak perempuannya dalam insiden di Bali itu, menegaskan sikap mereka yang pro-hukuman mati bagi Amrozi, terpidana yang suka senyum sehingga dijuluki media massa Australia sebagai "the smiling assassin" itu.

"Itulah yang terpenting bagi kita. Amrozi membunuh lebih dari 200 orang, termasuk dua anak perempuan saya, Renae dan Simone. Dan dia hanya mendapatkan imbalannya: kematian," kata Hanley (The Age, 8/8/2003).

Bagaimana dengan mereka yang tidak setuju dengan hukuman mati, terlebih lagi Australia sendiri sudah menghapus hukuman mati sejak disahkannya Undang Undang Penghapusan Hukuman Mati 1973. Orang terakhir yang dihukum mati di negara berpenduduk 20,2 juta jiwa itu adalah Ronald Ryan pada 1967.

Di mata mereka yang anti-hukuman mati, hukuman semacam itu tidak menjamin akan membuat jera pelaku lain dari tindak kejahatan yang sama.

Bagi Esther Mitchell misalnya, "hukuman mati justru sebuah kejahatan kemanusiaan yang tak ada bedanya dengan terorisme. Saling membunuh bukanlah jawaban!"

Bahkan, seperti terekam dalam kumpulan opini Suratkabar "The Age" Australia, ada saja orang Australia yang berpendapat bahwa seandainya Amrozi Cs diadili di Australia, sudah pasti dia tidak akan dieksekusi.

"Seandainya Amrozi diadili di Australia, kita tidak akan mengeksekusi dia. Karena kita sendiri tidak siap melumuri tangan kita dengan darahnya, adalah pengecut dan hipokrit kalau kita memuji keputusan orang lain (Indonesia). Tentu kita harus mengadilinya, tetapi melakukan pembunuhan atas pembunuhan yang dilakukannya hanya membuat kita (terlihat) barbar," kata Jen Harrison.

Di tingkat organisasi, pengesekusian terhadap Amrozi Cs itu juga menuai protes Amnesti International Australia.

Organisasi itu mengimbau Pemerintah Indonesia untuk menghentikan persiapan eksekusi terhadap ketiga terpidana mati kasus Bom Bali 12 Oktober 2002 itu dan mengganti hukuman mereka dengan "hukuman seumur hidup".

Amnesti Internasional Australia bahkan mengimbau siapa pun yang tidak setuju dengan hukuman mati agar mengirim surat keprihatinan kepada Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb dengan alamat Kedubes RI, 8 Darwin Avenue, Yarralumla ACT 2600, Fax (02) 6273 6017.

Selain meminta segala persiapan eksekusi terhadap ketiga terpidana dihentikan dan hukuman mati diganti dengan hukuman seumur hidup, organisasi itu juga mengimbau Pemerintah Indonesia untuk menandatangani dan meratifikasi Protokol Opsi kedua untuk Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta berkomitmen menghapus hukuman mati.

Pemerintah Indonesia pun diminta membeberkan informasi tentang jumlah tahanan yang berstatus hukuman mati, tanggal eksekusi, status permohonan PK, serta informasi tentang prosedur pemberitahuan kepada para tahanan dan anggota keluarga mereka.

Akankah ada grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Amnesti International Australia termasuk pihak yang meragukan hal itu.

Argumentasi organisasi yang berdiri sejak 1961 dan berkantor pusat di Inggris itu adalah pemberian grasi yang akan "membebaskan" Amrozi Cs itu sulit diberikan karena menyangkut kepentingan internasional dalam upaya Indonesia menangani terorisme dan ketiga terpidana telah pun sebelumnya menyatakan bahwa mereka tidak akan memohon pengampunan presiden.

Eksekusi terhadap Amrozi Cs hanya masalah waktu. Bagi kelompok yang pro-hukuman mati di Australia, kematian Amrozi Cs di ujung peluru senapan regu tembak Polri itu dianggap setimpal dengan tindakan mereka yang telah menghilangkan nyawa 202 orang tak terdosa.

Namun, persetujuan kelompok pro-hukuman mati di Australia itu justru menegaskan inkonsistensi mereka pada keyakinan mereka untuk menolak hukuman mati dalam sistim hukum mereka.

Akankah mereka yang pro-hukuman mati di Australia itu akan bersikap sama jika Indonesia pada akhirnya mengeksekusi para terpidana mati kasus "Bali Nine", sembilan warga Australia yang terlibat penyelundupan heroin seberat 8,2 kg dari Bali ke Australia?

Dari sembilan orang itu, setidaknya enam di antaranya, yakni Myuran Sukumaran, Andrew Chan, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen, Matthew James Norman, dan Scott Anthony Rush, telah dijatuhi hukuman mati.

*) disiarkan ANTARA pada 29 September 2007

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity