Saturday, December 29, 2007

MOHAMED HANEEF, KORBAN "POLITIK KETAKUTAN" AUSTRALIA


Oleh Rahmad Nasution

Mohamed Haneef, dokter asal India yang hampir empat minggu ditahan di Queensland dengan tuduhan terlibat aksi teror sebelum akhirnya dibebaskan 27 Juli lalu, merupakan korban dari ketidakakuratan informasi intelijen Inggris dan ketegasan undang-undang anti terorisme Australia.

Kendati Haneef telah kembali jadi "manusia merdeka" saat ini, kasusnya tampaknya akan terus bergulir sebagai wacana publik dan politik domestik negara yang akan menyelenggarakan Pemilu guna menentukan pemerintahan baru tahun ini.

Menteri Luar Negeri Alexander Downer yakin bahwa kasus dokter Haneef ini tidak memengaruhi hubungan diplomatik Australia dan India namun Politisi Partai Hijau, Bob Brown mengatakan, penanganan kasus ini telah merusak reputasi internasional Australia dan ia akan mendorong Senat melakukan penyelidikan.

Komisioner Polisi Federal Australia (AFP), Mick Keelty, membela para anggotanya yang terlibat dalam investigasi kasus dokter Mohamed Haneef dengan melemparkan tudingan bahwa "kekeliruan-kekeliruan" dalam kasus ini berawal dari kesalahan para investigator Inggris.

Seperti terungkap dalam wawancaranya dengan surat kabar-surat kabar milik Fairfax, Keelty mengatakan, polisi Inggris pada awalnya menyampaikan kepada para investigator AFP bahwa kartu nomor telepon (SIM Card) dokter Mohamed Haneef ditemukan di dalam mobil jeep yang digunakan sepupu keduanya, Kafeel Ahmed, dalam sebuah serangan bom mobil yang gagal di Bandar Udara Glasgow 30 Juni lalu.

Fakta yang benar adalah SIM Card dokter Haneef itu justru ditemukan di rumah abang Kafeel Ahmad bernama Sabeel di daerah Liverpool yang berjarak ratusan kilometer dari lokasi penyerangan.

Hanya saja, kata Mick Keelty, tim investigasi kasus ini terikat pada dua kondisi sekaligus. Pertama, mereka tidak dapat membiarkannya pergi karena Australia dapat dituding telah membiarkan seorang (tersangka) 'teroris' bebas keluar.

Kedua, segera setelah Direktur Kejaksaan Publik (DPP) Persemakmuran meminta AFP untuk menjatuhkan tuduhan kepada dokter medis berusia 27 tahun itu, mereka tidak lagi dapat menahannya di tempat penahanan di bawah undang-undang anti terorisme yang ada berlaku.

Namun Keelty, seperti dikutip AAP, setuju bahwa saran DPP bisa saja "masih prematur". "Seandainya DPP tidak menyebut ada bukti yang cukup untuk menjatuhkan dakwaan, tim investigasi dapat melanjutkan penahanan atau membebaskannya sembari melanjutkan investigasi," katanya.

Dokter Mohamed Haneef yang sebelum ditahan bekerja di Rumah Sakit Gold Coast, Negara Bagian Queensland, Sabtu malam (28/7) meninggalkan Brisbane menuju Bangalore, India, setelah Departemen Imigrasi Australia mengembalikan paspornya namun ia tetap kehilangan visa kerjanya.

Pengacara Haneef, Peter Russo, mengatakan, kliennya itu tidak dideportasi tetapi ia memilih pulang. Para pejabat imigrasi Australia yang membantu Haneef untuk bisa kembali ke India telah melarangnya untuk berbicara kepada media massa sebelum meninggalkan Brisbane.

Haneef sendiri seperti dikutip ABC News mengatakan, ia ingin kembali bergabung bersama istri dan anaknya.

Dalam hampir empat minggu terakhir, media cetak dan elektronika Australia terus- menerus memberitakan masalah Mohamed Haneef yang sempat mendekam di Penjara Wolston, arah barat Brisbane, dengan tuduhan terlibat dalam serangan teroris di Bandar Udara Glasgow Inggris.

Bahkan, dokter India Muslim itu juga sempat dituduh berencana meledakkan gedung tertinggi di kota pantai wisata terkemuka negara itu, Gold Coast namun pengadilan setempat membatalkan atau menganulir semua tuduhan dan berakhir dengan pembebasan dirinya.

Kelompok minoritas Muslim di Australia tidak berdiam diri dengan kasus dokter Haneef.

Bersama kelompok akademisi, intelektual dan dokter dari lintas agama, warga Muslim Queensland misalnya menggelar sebuah forum rakyat di Pusat Konferensi Lintas Iman Universitas Griffith Brisbane pada 22 Juli lalu guna mengungkapkan simpati mereka pada nasib Haneef.

Mereka yang hadir tidak hanya menyesalkan perlakuan gegabah terhadap dokter India Muslim tersebut, namun mereka juga mengeritisi undang-undang anti terorisme yang telah dipakai secara keliru oleh Pemerintahan Perdana Menteri John Howard dan didukung Partai Buruh Australia (ALP).

Seperti terungkap dalam "Crescents Community News" No.0142 (buletin berita masyarakat Muslim Brisbane-red.), mereka yang berkumpul di Universitas Griffith itu menyampaikan seruan bersama kepada seluruh rakyat Australia agar senantiasa mewaspadai "terjadinya erosi atas hak azasi manusia" dalam penerapan undang-undang anti terorisme tersebut.

Walaupun tetap mengakui pentingnya undang-undang anti terorisme sebagai perangkat hukum negara dalam memerangi bahaya terorisme, namun mereka berpandangan bahwa undang-undang anti terorisme itu sudah saatnya ditinjau kembali.

"Kami meminta partai-partai politik meninjau kembali undang-undang anti terorisme dan undang-undang migrasi, serta mampu menjamin bahwa undang-undang tersebut nantinya konsisten dengan nilai-nilai Australia," kata Suster Wendy Flannery saat membacakan petisi para peserta forum Universitas Griffith tersebut.

Kasus dokter Mohamed Haneef masih menyisakan masalah di dalam negeri Australia. Masalah tersebut tidak hanya terkait dengan bagaimana akhir cerita dari perjuangan dokter Haneef untuk mendapatkan kembali visa kerjanya yang telah dicabut menteri imigrasi Australia setelah ia dinyatakan "bersih" dari tuduhan.

Kasus dokter Haneef ini, disadari atau tidak, kembali menambah kesalahpahaman publik Australia terhadap Islam dan Muslim yang terlanjur dicitrakan media massa mereka sebagai "tertuduh" dalam kasus teror.

Mungkin kasus dokter Mohamed Haneef hanya sebuah kebetulan. Namun, apa yang pernah disampaikan mantan Perdana Menteri Malcolm Fraser tentang "politik ketakutan"-nya pemerintahan PM John Howard terhadap Islam dan Muslim di depan anggota civitas akademika Universitas Nasional Australia (ANU) 30 April lalu tak dapat begitu saja diabaikan.

Ketika itu Fraser berucap bahwa Pemerintahan PM John Howard "sedang menggunakan politik ketakutan untuk merusak nilai-nilai tradisional Australia", dan Howard "sedang berusaha membuat Pemilu tahun ini (2007) 'Pemilu-nya Muslim'".

Beberapa bulan menjelang Pemilu yang tanggal penyelenggaraannya belum diumumkan PM Howard, kasus terorisme terhadap dokter India Muslim, Mohamed Haneef, yang tidak terbukti ini terjadi.

*) disiarkan pada 29 Juli 2007

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity