Saturday, December 29, 2007

PESAN DALAM LAWATAN RUDD KE INDONESIA

Oleh Rahmad Nasution

Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, Selasa, bertolak ke Bali untuk menghadiri Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) meski enggan menerima usul target pengurangan emisi 25-40 persen hingga tahun 2020.

Lawatan Rudd 11-13 Desember 2007 tidak hanya penting bagi masa depan perundingan pengurangan emisi rumah kaca dunia pasca berakhirnya target-target putaran pertama Protokol Kyoto pada 2012 tetapi juga bagi hubungan bilateral Australia-Indonesia.

Rudd dijadwalkan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela perhelatan dunia UNFCCC itu. Kunjungan resmi kenegaraan Rudd ke Jakarta direncanakan tahun 2008.

Keinginan mengunjungi kembali Indonesia sebenarnya sudah disampaikan Rudd kepada pers di Brisbane sehari setelah kubu Partai Buruh Australia (ALP) yang dipimpinnya menang telak dalam Pemilu Federal 24 November lalu.

Ketika itu, ia menyambut positif undangan Yudhoyono untuk menghadiri UNFCCC di Bali sekaligus menyampaikan keinginannya untuk kembali mengunjungi Indonesia pada "satu waktu di tahun baru (2008)".

Kembalinya ALP ke tampuk kekuasaan setelah menanti 11 setengah tahun, menyegarkan ingatan kedekatan hubungan Canberra-Jakarta semasa pemerintahan PM Paul Keating.

Semasa periode pemerintahannya (1991-1996), Indonesia menempati posisi khusus dalam kebijakan politik luar negeri Australia.

Bagi Keating, tidak ada satu negara pun yang lebih penting bagi Australia daripada Indonesia.

"Jika kami gagal menempatkan hubungan ini pada jalur yang benar, memelihara dan mengembangkannya, maka seluruh jejaring hubungan luar negeri kami tidaklah lengkap," kata Keating suatu ketika.

Namun hubungan khusus Canberra-Jakarta semasa Keating itu berubah drastis ketika tampuk pemerintahan Australia dipimpin John Howard dari Koalisi Partai Liberal-Nasional tahun 1996.

Selama 11 setengah tahun masa pemerintahan Howard, hubungan kedua negara mengalami pasang surut bahkan sempat berada di titik nadir akibat perbedaan sikap politik dalam isu-isu sensitif, seperti Timor Timur dan Papua.

Pemerintahan Howard mendukung upaya memerdekaan Timor Timur tahun 1999.

Kemudian hubungan kedua negara terasa membaik pasca bencana tsunami di Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004 dengan keikutsertaan Australia dalam misi kemanusiaan serta program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh-Nias.

Namun memburuk lagi tatkala pemerintahan Howar menerima suaka politik 42 dari 43 orang separatis Papua dengan memberikan visa menetap sementara di Australia pada tahun 2006.

Atas kasus itu, Dubes RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb sempat ditarik ke Jakarta.

Hubungan kedua negara membaik kembali saat penandatanganan Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia atau yang lebih dikenal dengan Perjanjian Lombok, November 2006.

Parlemen Australia dan Indonesia telah pula meratifikasi Perjanjian Lombok sebagai sebagai tonggak baru hubungan jangka panjang kedua negara.

Kini dengan kembalinya ALP ke tampuk pemerintahan federal Australia dapat memberikan harapan baru bagi hubungan bilateral yang semakin kokoh.

Pernyataan Rudd sehari sebelum bertolak ke Bali, adanya harapan baru bagi hubungan kedua negara itu tampak beralasan.

Pemimpin ALP yang resmi menjadi PM ke-26 Australia sejak 3 Desember lalu itu menempatkan prioritas tertinggi pada hubungan negaranya dengan Indonesia.

Gambaran tentang pendekatan kebijakan politik luar pemerintahan Rudd juga dapat disimak dari pidato Menlu Australia Stephen Smith pada acara perayaan natal bagi kalangan korps diplomatik di Canberra 3 Desember lalu.

Smith yang merupakan Menlu ke-35 mengawali pidato dengan kesadarannya pada peran para pendahulunya di pemerintahan ALP dalam membangun nama dan reputasi Australia di panggung politik luar negeri.

"Saya ingin meneruskan tradisi pelayanan Partai Buruh itu," kata Menlu ke-6 dalam pemerintahan ALP sejak Perang Dunia II itu.

Jantung dari pendekatan kebijakan luar negeri pemerintahan Rudd terletak pada tanggungjawabnya untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan keamanan nasional, memaksimalkan peluang-peluang ekonomi, serta memajukan kepentingan nasional dalam berbagai isu internasional.

Dalam konteks itu, ada tiga pilar yang menopang pendekatan pemerintah dalam kebijakan luar negerinya. Pertama, hubungan Australia dengan AS. AS sejak Perang Dunia II merupakan sekutu terdekat Australia.

Aliansi Australia dan AS secara konsisten didukung dan dikembangkan oleh partai politik utama di kedua negara yakni Partai Buruh dan Liberal (Australia) serta Demokrat dan Republik (AS).

"Aliansi ini akan menjadi pilar utama pendekatan kebijakan luar negeri kami. Persahabatan kami dengan AS begitu mendalam dan bernilai bagi kedua bangsa. Saya akan meneruskan cara ini untuk memajukan kepentingan bersama kedua bangsa," kata Smith.

Pilar kedua adalah keanggotaan Australia dalam PBB. Smith menyinggung peran negaranya semasa PM Ben Chifley dan Menlu Herbert Vere Evatt dalam ikut membantu berdirinya PBB.

Ia menyebut bukti peran aktif Australia dalam fase pertama kegiatan PBB dengan membantu Indonesia mencapai kemerdekaannya.

Australia juga bekerja sama secara aktif dengan komunitas internasional dalam merespon tantangan bersama dan mencari solusi atas isu-isu pelik dunia.

Sedangkan pilar ketiga, kata Smith kelahiran Narrogin, Australia Barat, 12 Desember 1955, adalah kawasan Asia Pasifik.

Sebagai bangsa berpenduduk 21 juta jiwa posisi Australia unik karena berada di kawasan dimana "teman-teman dan tetangga-tetangga terdekat kami" berada, kata Smith.

"Kawasan kami yang plural ini adalah rumah kami, dan rumah bagi banyak banyak teman dan tetangga terdekat kami," kata Smith yang pernah menjadi penasehat Keating pada 1991-1992.

Yang dimaksud Smith sebagai teman dan tetangga dekat Australia itu tidak lain adalah Selandia Baru dan negara-negara di Pasifik Selatan serta Asia Tenggara.

Selain itu, terdapat Jepang dan Korea Selatan yang disebut Smith sebagai dua negara yang secara tradisional telah menjadi mitra dagang Australia sejak usai Perang Dunia.

Di Asia timur itu pula terdapat China yang disebut sebagai negara terpenting bagi masa depan kemakmuran ekonomi dan sosial serta keamanan nasional Australia.

"Kami akan membangun kekuatan hubungan-hubungan ini melalui diplomasi bilateral, regional dan multilateral di masa mendatang," katanya.

Berdasarkan ketiga pilar itu Rudd akan membangun hubungan internasional demi kepentingan nasional Australia.

Dalam hal ini, "fair go" yang menjadi nilai dasar Australia akan dijadikan pedoman pemerintahan ALP dalam membangun hubungan domestik dan luar negerinya.

Nilai dasar "fair go" itu, bertumpu pada "sivilitas", "rasa menghargai" dan "harga diri". Australia mengulurkan tangan kepada mereka yang kurang beruntung dan siap sedia untuk mereka.

Diperluas

Kembali ke masalah prospek hubungan bilateral Indonesia dan Australia di bawah pemerintahan ALP, banyak bidang kerja sama yang bisa dikembangkan kedua negara.

Salah satu bidang kerja sama yang bisa dibisa diperluas, menurut pengamat politik hubungan Indonesia-Australia di Universitas Queensland (UQ), Akhmad Muzakki, adalah bidang keamanan perbatasan (border security).

Bidang kerja sama keamanan itu sebenarnya sudah dimulai oleh pemerintah kedua negara pada periode terakhir pemerintahan Howard. Namun kerja sama itu baru terbatas pada asistensi dan peningkatan ketrampilan menanggulangi ancaman terorisme.

Kerja sama itu bisa membantu Indonesia memperkuat pengamanan terhadap pulau-pulau terluar sebagai upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus menangkal jaringan teroris dan pelaku kejahatan trans-nasional.

Bagi Australia, kerja sama keamanan perbatasan itu memenuhi kepentingan nasionalnya karena negara benua itu juga memiliki kepentingan terhadap penguatan "border security" di wilayah Indonesia.

Argumentasinya, pertama, Indonesia masih dipersepsi sebagian publik Australia sebagai ancaman keamanan dari utara, baik terorisme maupun ancaman politik bersenjata.

"Sebenarnya ketakutan-ketakutan semacam ini justru merupakan sebuah potensi kerja sama," kata Muzakki.

Kedua, Australia dipusingkan oleh ancaman kejahatan trans-nasional, seperti penyelundupan manusia, pencurian ikan, dan imigran ilegal yang masuk ke wilayah jurisdiksi Australia lewat para calo di wilayah Indonesia.

"Artinya, perluasan kerja sama bidang 'border security' ini memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara," kata Muzakki.

Memperkuat hubungan sejati (genuine) Australia-Indonesia yang didasarkan pada kemitraan sejajar bagi kepentingan jangka panjang merupakan tantangan bagi kedua negara.

Tak salah bila berharap dari pertemuan Rudd-Yudhoyono di Bali akan meretas jalan menuju pendewasaan hubungan kemitraan sejati itu.

*) disiarkan ANTARA pada 11 Desember 2007

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity