Australia boleh jadi merupakan salah satu bintang Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang tengah berlangsung di Bali.
Julukan itu tak berlebihan karena sejak hari pertama konferensi, Australia memang menyedot perhatian dunia dengan kesediaan pemerintahan baru negara itu meratifikasi Perjanjian Kyoto yang menyebabkan keterisolasian Amerika Serikat (AS).
Signifikansi posisi Australia sebagai bagian dari kelompok negara industri maju dalam persoalan target sementara pengurangan emisi gas rumah kaca juga ditunggu sesama delegasi negara peserta konferensi maupun kelompok-kelompok hijau seperti Greenpeace.
Pusat perhatian banyak pihak kepada negara benua berpenduduk 21 juta jiwa yang juga tetangga langsung Indonesia itu semakin lengkap setelah pada Selasa (11/12), Perdana Menteri Kevin Rudd tiba di Bali untuk memimpin langsung delegasi negaranya di UNFCCC.
Kehadirannya di pulau wisata utama Indonesia dimana 88 orang warganegaranya tewas bersama 104 warga Indonesia dan mancanegara dalam serangan teroris 12 Oktober 2002 itu juga merupakan kunjungan luar negeri pertamanya sejak diangkat 3 Desember lalu.
Kemunculan PM Rudd di Bali tiga hari menjelang berakhirnya konferensi yang diharapkan menghasilkan "Bali Roadmap" (Peta Jalan Bali) itu diwarnai dengan menguatnya tekanan kelompok hijau terhadap posisi Australia supaya ikut mendukung target sementara negara-negara maju dalam pengurangan emisi hingga 40 persen tahun 2020.
"Bali Roadmap" itu sendiri akan menjadi rujukan negara-negara anggota PBB untuk memulai perundingan bagi putaran aksi internasional untuk merespons perubahan iklim saat target-target putaran pertama di bawah Protokol Kyoto berakhir tahun 2012.
Apakah PM Rudd akan mengikuti langkah Selandia Baru yang telah mendukung patokan target sementara pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar itu sebagaimana diharapkan kelompok prolingkungan?
Sebenarnya beberapa hari menjelang keberangkatannya ke Bali itu, PM Rudd justru sudah mengindikasikan keengganannya untuk mendukung target tersebut.
Sebaliknya, seperti dilaporkan ABC, PM Rudd mengatakan, ia ingin membantu menjembatani ketimpangan antara kelompok negara maju dan negara berkembang dalam perundingan mengenai pengurangan emisi gas rumah kaca ini.
Ia mengatakan, perundingan-perundingan di seputar target pengurangan emisi akan berlangsung "alot dan sulit".
Namun tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan titik temu dalam perundingan tersebut selama semua pihak bertemu pada kepentingan bersama, katanya.
Dalam hal ini, Rudd menegaskan keinginan pemerintahnya untuk bekerja sama secara erat dengan Selandia Baru.
"Kami akan terus saling kontak saat kedua pemerintah menghadapi tantangan perubahan iklim, tantangan yang kami hadapi dalam pertemuan Bali maupun perundingan tentang agenda dua tahun mendatang," katanya dua hari menjelang keberangkatannya ke Bali.
Sikap dasar pemerintah Australia dalam soal target pengurangan emisi adalah bahwa target tersebut harus layak secara ekonomi dan layak bagi lingkungan.
Bahkan masalah perubahan iklim dipandang pemerintahan PM Rudd lebih sebagai isu ekonomi sehingga pertimbangan tentang seberapa besar dampak target pengurangan emisi terhadap masa depan perekonomian Australia merupakan isu penting bagi pemerintahnya.
Karenanya ia berulang kali mengatakan bahwa pihaknya merasa perlu mendengarkan saran berbagai pihak yang berkompeten tentang apakah target pengurangan emisi tersebut sudah sesuai dengan Australia baik secara lingkungan maupun ekonomis.
Salah satu laporan yang sangat ditunggu PM Rudd adalah hasil studi Prof Ross Garnaut, ekonom terkemuka Universitas Nasional Australia (ANU), tentang perdagangan emisi dan dampak target sementara pengurangan emisi terhadap perekonomian Australia.
Laporan Garnaut itu baru akan disampaikan ke pemerintah federal sekitar Juni 2008.
Terlepas dari bagaimana rekomendasi Garnaut dalam laporan studinya itu, yang pasti Menteri Perubahan Iklim Australia Penny Wong berharap UNFCCC di Bali dapat menghasilkan keputusan yang memberikan peluang terbaik bagi Australia maupun dunia untuk melangkah maju menuju pemecahan atas masalah perubahan iklim.
Peluang bisnis dan ketahanan ekonomi
Keputusan PM Rudd untuk meratifikasi Protokol Kyoto bertepatan dengan hari pertama penyelenggaraan UNFCCC di Bali itu telah mengembalikan negaranya kembali ke peta perjuangan merespons tantangan perubahan iklim.
Dengan keputusan tersebut, Australia kembali mendapatkan jalan untuk memainkan peranan kepemimpinan dalam konferensi yang dihadiri para delegasi dari 189 negara di dunia itu.
Selain itu, masuknya Australia ke dalam kelompok negara anggota Protokol Kyoto juga memberikan peluang bisnis yang besar.
Pemimpin Dewan Energi Bersih (CEC) Australia, Dominique La Fontaine misalnya, memperkirakan dunia usaha Australia berpeluang meraih manfaat bisnis senilai 55 miliar dolar AS per tahun dari perdagangan emisi di seputar Protokol Kyoto.
Dengan masuknya menjadi anggota Protokol Kyoto itu, Australia berkewajiban memenuhi target seperti mematok target pengurangan emisi hingga 60 persen pada level 2.000 hingga tahun 2050, dan membentuk skema perdagangan emisi nasional pada 2010.
Australia juga diminta mematok target 20 persen untuk energi yang dapat diperbaharui hingga tahun 2020 dengan cara memperluas pemakaian sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui secara dramatis, seperti energi matahari dan angin.
Laporan hasil analisis ekonomi terbaru "Climate Institute" (CI) menyimpulkan bahwa Australia dapat mengikuti jejak negara-negara utama dalam menghindari terjadinya dampak terburuk perubahan iklim global maupun risiko-resiko ekonomis yang timbul dari upaya menciptakan ekonomi energi yang bersih di dunia.
Laporan CI tersebut juga menunjukkan, seandainya Australia membalikkan polusinya yang meningkat hingga 2012 dengan mengurangi emisi hingga 20 persen pada 2020 dan menjadi "karbon netral" pada 2050, maka kegiatan ekonomi negara itu diperkirakan meningkat dari kurang dari satu triliun dolar menjadi tiga triliun dolar hingga 2050.
Menurut Direktur Eksekutif CI, John Connor, untuk tahun 2050, ekonomi Australia diperkirakan dapat tumbuh sekitar 2,8 persen setahun dengan peluang lapangan kerja meningkat dari 9,7 juta menjadi 16,7 juta pada 2050 itu.
Dampak jangka panjang terhadap harga bahan bakar (energi) dan tingkat keterjangkauannya pun tetap dapat dikelola dengan pemakaian energi listrik, bahan bakar dan gas rata-rata turun dari enam persen dari rata-rata pendapatan yang ada sekarang menjadi empat persen pada 2050, katanya.
Artinya, pengurangan emisi gas rumah kaca secara substansial di Australia layak dilakukan dan sejalan dengan pertumbuhan pendapatan, lapangan kerja, dan standar hidup yang terus berkembang.
Karenanya, sulit dinafikan bahwa UNFCCC di Bali merupakan bagian dari kepentingan nasional Australia mengingat negara itu sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Dalam pandangan Connor, mengambil posisi kepemimpinan secara internasional dengan berkomitmen pada pengurangan gas emisi di dalam negeri secara konsisten adalah juga kepentingan nasional Australia.
Akankah posisi kepemimpinan internasional itu benar-benar dimainkan PM Rudd selama kehadirannya di UNFCCC Bali?
*) dipublikasi ANTARA pada 12 Desember 2007
No comments:
Post a Comment