Tanggal 3 Desember 2007 merupakan hari bersejarah bagi Australia karena pada tanggal tersebut negara itu resmi memasuki proses ratifikasi Protokol Kyoto setelah pemerintah sebelumnya "mengabaikan" perjanjian PBB tentang pengurangan emisi itu.
Adalah Kevin Rudd pemimpin yang menjadikan Australia bagian dari negara-negara anggota penuh protokol yang diadopsi pada Konferensi ketiga Para Pihak untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kyoto, Jepang, 11 Desember 1997 itu.
Langkah tersebut diambil Kevin Rudd bertepatan dengan hari dimana ia mengambil sumpah selaku perdana menteri ke-26 Australia di depan Gubernur Jenderal Michael Jeffery.
Langkahnya menandatangani instrumen ratifikasi Protokol Kyoto yang memberikan jalan bagi negara itu menjadi anggota penuh Protokol Kyoto sebelum akhir Maret 2008 itu dilakukan PM Ruud seminggu sebelum ia memimpin delegasi Australia ke UNFCCC Bali.
Di bawah aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ratifikasi Protokol Kyoto baru berlaku 90 hari setelah instrumen ratifikasi diterima PBB.
Bergabungnya Australia ke dalam Protokol Kyoto itu merupakan "langkah maju yang signifikan" dalam upaya Australia ikut merespon dampak negatif perubahan iklim di dalam negeri dan bersama-sama masyarakat internasional, kata PM Rudd.
Dengan keikutsertaan resmi negaranya dalam perjanjian ini, berarti Australia berkewajiban berupaya memenuhi target Protokol Kyoto.
Target-target dimaksud adalah mematok pengurangan emisi hingga 60 persen pada level 2.000 hingga tahun 2050, dan membentuk skema perdagangan emisi nasional pada 2010.
Selain itu, Australia pun diminta mematok target 20 persen untuk energi yang dapat diperbaharui hingga tahun 2020 dengan cara memperluas pemakaian sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui secara dramatis, seperti energi matahari dan angin, katanya.
Terlepas dari bagaimana langkah-langkah yang akan diambil pemerintahan PM Rudd untuk memenuhi target-target Protokol Kyoto itu, langkahnya telah menjadikan posisi Amerika Serikat (AS) semakin terisolir sebagai negara yang tidak meratifikasi perjanjian itu.
Betapa tidak, selama Australia diperintah PM John Howard (1996-2007), negara benua berpenduduk sekitar 21 juta jiwa itu berjalan seiring dengan AS. Namun kini posisi dasar keduanya berbeda.
Menanggapi perubahan mendasar posisi Australia itu, pemimpin delegasi AS di UNFCCC Bali, Harlan Watson, seperti dikutip Stasiun TV "SBS", mengatakan, pihaknya berupaya mencari perjanjian global baru untuk merespons ancaman perubahan iklim ini.
Namun kehadiran AS di Bali tidak dimaksudkan untuk menjadi "perintang jalan". Sebaliknya, AS, katanya, ingin bersikap "fleksibel" dan "bekerja secara konstruktif" dalam penyusunan "Bali Roadmap" (peta jalan Bali).
"Bali Roadmap" tersebut terkait dengan langkah memulai perundingan bagi putaran aksi internasional untuk merespons perubahan iklim saat target-target putaran pertama di bawah Protokol Kyoto berakhir tahun 2012.
Bagi pemerintahan baru Australia, Konferensi ke-13 UNFCCC di Bali pada 3-14 Desember 2007 merupakan ujian tersendiri.
PM Rudd pun telah menegaskan rencana kehadirannya bersama Menteri Perubahan Iklim dan Air, Penny Wong, serta Menteri Lingkungan Hidup, Peter Garrett, dalam konferensi yang diikuti para delegasi dari 189 negara itu.
PM Rudd mengatakan, Australia harus menjadi bagian dari proses negosiasi di Bali karena perubahan iklim ikut "memengaruhi kita, memengaruhi anak-anak kita, dan memengaruhi kawasan serta dunia".
"Tentu (UNFCCC Bali) ini merupakan proses yang panjang dan sulit. Karena itulah saya senang bisa datang ke sana bersama dengan Penny Wong dan Peter Garrett sebagai bagian dari delegasi Australia untuk memulainya karena kita harus membuatnya tepat untuk masa depan."
Signifikansi UNFCCC Bali
Signifikansi UNFCCC di Bali bagi Australia itu juga diakui Direktur Eksekutif Insititut Iklim (CI), John Connor.
Bahkan ia berpandangan bahwa konferensi tersebut merupakan bagian dari kepentingan nasional Australia mengingat negara itu sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Bencana kekeringan yang melanda Queensland yang telah memaksa pemerintah negara bagian itu memberlakukan peraturan pengetatan pemakaian air misalnya merupakan bukti betapa Australia sangat rentan terhadap gejala perubahan iklim.
"Jadi merupakan kepentingan nasional Australia untuk mengambil posisi kepemimpinan secara internasional dengan berkomitmen pada pengurangan gas emisi di dalam negeri secara konsisten," kata Connor.
Dalam kaitan dengan respons terhadap masalah perubahan iklim itu, posisi kepemimpinan Australia menjadi penting dan bahkan "merupakan investasi yang dapat dicapai, bijaksana, dan terjangkau," katanya.
Laporan hasil analisa CI tentang perekonomian Australia dan kaitannya dengan langkah pro aktif dalam merespon tantangan perubahan iklim menunjukkan sinyal positif.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa Australia dapat mengikuti jejak negara-negara utama dalam menghindari terjadinya dampak terburuk perubahan iklim global maupun resiko-resiko ekonomi yang timbul dari upaya menciptakan ekonomi energi yang bersih di dunia.
"Laporan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Australia yang menentukan dalam memotong polusi gas rumah kaca di dalam negeri dapat dilaksanakan," katanya.
Laporan CI itu juga menunjukkan, jika Australia membalikkan polusinya yang meningkat hingga 2012 dengan mengurangi emisi hingga 20 persen pada 2020 dan menjadi "karbon netral" pada 2050, kegiatan ekonomi negara itu diperkirakan meningkat dari kurang dari satu triliun dolar menjadi tiga triliun dolar hingga 2050.
"Untuk tahun 2050, ekonomi (Australia) tumbuh sekitar 2,8 persen setahun dengan peluang lapangan kerja meningkat dari 9,7 juta menjadi 16,7 juta pada 2050 itu," katanya.
Dampak jangka panjang terhadap harga bahan bakar (energi) dan tingkat keterjangkauannya pun tetap dapat dikelola dengan pemakaian energi listrik, bahan bakar dan gas rata-rata turun dari enam persen dari rata-rata pendapatan yang ada sekarang menjadi empat persen pada 2050, katanya.
Artinya, pengurangan emisi gas rumah kaca secara substansial di Australia layak dilakukan dan sejalan dengan pertumbuhan pendapatan, lapangan kerja, dan standar hidup yang terus berkembang, kata Connor.
Apa yang disimpulkan "Climate Institute" (CI) dalam laporan analisanya itu setidaknya menambah keyakinan diri pemerintahan PM Rudd untuk melangkah bersama masyarakat dunia menjawab tantangan perubahan iklim global.
*) disiarkan ANTARA pada 3 Desember 2007
No comments:
Post a Comment