Saturday, December 29, 2007

AUSTRALIA TAK ACUH DENGAN "KRISIS BAHASA" PELAJARNYA


Oleh Rahmad Nasution

Era Australia memiliki Indonesianis kawakan, seperti George Quinn, Chris Manning, dan Greg Fealy, cepat atau lambat hanya akan tinggal kenangan jika defisit penguasaan bahasa asing, khususnya Indonesia, di kalangan pelajar negara yang bertetangga dengan Asia ini terus terjadi.

Sulit membayangkan apakah akan kembali lahir spesialis Jawa dan Indonesia lain dari generasi muda Australia sekaliber Dr.George Quinn, Ketua Pusat Asia Tenggara di Fakultas Studi-Studi Asia Universitas Nasional Australia, jika persentase siswa kelas 12 yang menguasai bahasa Indonesia, terus menurun.

Dalam dunia keilmuan sosial dan humaniora, Quinn tidak hanya dikenal sebagai ahli sastra dan budaya populer kontemporer Jawa dan Madura yang mumpuni, namun juga dikenal para diplomat dan mahasiswa Indonesia di Canberra sebagai seorang akademisi yang sangat menguasai bahasa dan budaya Indonesia.

Bagi Sekretaris I KBRI Canberra Dino Kusnadi, penulis "The Novel in Javanese" (Leiden, 1992) dan "The Learner's Dictionary of Today's Indonesian" (Sydney, 2001) itu tidak hanya memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang sempurna tapi juga memahami "nuansa gaya berfikir orang Indonesia".

"Ini jarang sekali. Orang bisa saja menerjemahkan dan 'ngomong', tapi 'nggak' bisa memahami 'frame of mind' (kerangka berfikir). Pak George Quinn adalah sosok akademisi yang memahami benar cara berfikir orang Indonesia."

"Ibaratnya, orang Tapanuli yang memahami cara berfikir orang Jawa atau orang Jawa yang tahu cara berfikir orang Medan, begitulah kira-kira Pak George Quinn," katanya.

Keseriusan para pelajar Australia untuk mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa Asia lain terus menyusut dan kondisinya saat ini sudah mencapai tingkat kritis.

Kondisi yang kritis itu kembali disuarakan kalangan akademisi negara berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa yang bertetangga langsung dengan Indonesia dan Benua Asia itu.

Kali ini delapan universitas terkemuka di negara itu menuntut adanya aksi radikal dari pemerintah dengan mewajibkan penguasaan "bahasa kedua" bagi seluruh siswa mulai dari kelas satu hingga kelas 10 untuk menanggulangi krisis dalam jumlah siswa kelas 12 yang lulus dengan penguasaan satu bahasa asing.

Jumlah para siswa kelas 12 yang lulus dengan penguasaan satu bahasa asing turun dari 40 persen pada tahun 1960-an menjadi enam persen saat ini.

Ke-delapan perguruan tinggi terkemuka Australia baik dalam pengajaran maupun penelitian itu adalah Universitas Queensland (berdiri 1909), Universitas Adelaide (1874), Universitas Nasional Australian (1946), Universitas Melbourne (1853), Universitas Monash (1958), Universitas New South Wales (1949), Universitas Sydney (1850), dan Universitas Australia Barat (1911).

Direktur Eksekutif Kelompok Delapan (Group of Eight) Michael Gallagher, seperti dikutip "The Australian", mengatakan, kondisi sekarang ini tidak cukup digambarkan oleh kata "krisis" untuk menjelaskan betapa menurunnya pendidikan bahasa asing di sekolah maupun perguruan tinggi di Australia.

Jumlah bahasa asing yang diajarkan di tingkat pendidikan tinggi saat ini turun dari 66 menjadi 29 saja dalam 10 tahun terakhir, katanya.

"Terlepas dari berbagai upaya positif dari para guru dan pakar bahasa yang komit (dengan masalah ini), persentase jumlah pejalar kelas 12 yang lulus dengan penguasaan satu bahasa asing turun dari 40 persen tahun 1960-an menjadi enam persen saja di beberapa negara bagian di Australia saat ini," katanya.

Untuk itu, Michael Gallagher meminta adanya pendekatan nasional yang melibatkan sekolah, universitas, pemerintah negara bagian dan pemerintah federal untuk menangani defisit penguasaan bahasa asing.

"Defisit nasional kita dalam penguasaan bahasa asing merupakan sesuatu yang tidak bisa lagi kita abaikan." kata Michael.

Kekurangan Australia dalam keahlian berbahasa asing ini justru bertalian erat dengan kepentingan negara itu dalam persaingan dan keamanan di lingkungan global saat ini, katanya.

Kondisi krisis ini, menurut temuan "Group of Eight", disebabkan oleh sebagian besar sekolah negeri dan swasta di Australia tidak menuntut para siswanya mengambil satu bahasa asing sehingga kekurangan lulusan yang menguasai satu "bahasa kedua" itu memberi tekanan pada departemen bahasa di universitas-universitas.

Disebutkan, dari 29 bahasa asing yang masih ditawarkan di tingkat pendidikan tinggi, sembilan di antaranya ditawarkan oleh satu universitas di Australia dan hanya tujuh (bahasa) yang benar-benar terwakili lintas sektor.

"Group of Eight" juga menyebutkan, hanya ada lima universitas yang menawarkan mata kuliah bahasa Arab dan kurang dari tiga persen mahasiswa belajar satu bahasa Asia kendati sekitar 70 persen pasar ekspor terbesar Australia justru Asia.

Kelompok delapan universitas terkemuka di Australia itu mengusulkan kepada pihak-pihak terkait agar mengucurkan dana yang lebih besar untuk memperkuat pengajaran bahasa, khususnya di perguruan tinggi.

Dana itu diperlukan tidak hanya untuk memperkuat moral, keahlian dan jumlah guru bahasa, tetapi juga untuk memperluas "bonus" bagi para siswa yang mengambil bahasa-bahasa asing di kelas 12.

Sebenarnya, kondisi yang mengkhawatirkan dalam pengajaran dan penguasaan bahasa kedua di kalangan siswa Australia itu sudah beberapa tahun terakhir ini menjadi wacana publik.

Pada April lalu misalnya, Dewan Organisasi Sekolah-Sekolah Publik (CSSO) Australia dalam laporannya menyebutkan, pengajaran bahasa asing di sekolah-sekolah Australia terabaikan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir sehingga menjadikan negara itu cenderung lebih berpandangan "ke dalam".

Pengajaran bahasa-bahasa asing di sekolah-sekolah Australia juga tidak diikuti dengan kehadiran guru-guru yang bermutu dan alokasi waktu yang cukup di tengah tuntutan kurikulum yang padat.

Keberlanjutan para siswa untuk mengikuti pelajaran bahasa-bahasa asing sejak dari tingkat SD hingga tingkat pendidikan selanjutnya juga relatif rendah karena hanya sekitar 40 persen siswa yang disurvei CSSO mampu melanjutkan pendidikan kebahasaannya itu.

Menurut laporan CSSO tersebut, pengajaran bahasa-bahasa asing tampaknya tidak lagi masuk dalam agenda pendidikan selama lebih dari satu dasawarsa terakhir dan tidak pula masuk dalam perdebatan publik kendati pemerintah federal selalu menekankan pentingnya nilai-nilai Australia dan multikulturalisme dalam komunitas yang plural.

Menanggapi masalah pentingnya penguasaan bahasa asing, mantan Menteri Imigrasi Australia Amanda Vanstone pernah mengatakan bahwa setiap anak di Australia seharusnya diwajibkan belajar Bahasa Mandarin atau Bahasa Indonesia dari kelas satu hingga kelas 12 guna memperbaiki hubungan Australia dengan negara-negara di kawasan Asia.

Juru Bicara Partai Buruh untuk Masalah Pendidikan Stephen Smith pun berucap bahwa pihaknya sedang mengkaji apakah pelajaran bahasa asing harus menjadi bagian dari mata pelajaran wajib, namun pemerintah di bawah pimpinan Partai Buruh akan memberikan kesempatan kepada lebih banyak siswa untuk mempelajari setidaknya satu bahasa asing.

Dalam pandangan Dr.George Quinn, dalam kasus Bahasa Indonesia, kasus bom Bali 2002 dan 2005, Schapelle Corby dan gerakan separatis termasuk faktor-faktor yang memengaruhi minat dan ketertarikan kalangan pelajar soal bahasa asing.

Ketiga faktor itu juga kait-mengkait dengan munculnya sentimen anti Islam di Australia. Selain itu, tidak banyak pelajar Australia yang bepergian ke Indonesia sejak insiden bom itu juga ikut memengaruhi minat mereka karena mereka kehilangan kontak langsung dengan budaya Indonesia, katanya.

Secercah harapan masih tersisa di Universitas Nasional Australia (ANU) karena, seperti diakui George Quinn, subyek Indonesia masih kuat di perguruan tinggi terkemuka di negara benua itu, dan lebih dari seratus mahasiswa mengambil subyek Bahasa Indonesia.

Namun, tanpa adanya keseriusan dari Pemerintah Australia, krisis penguasaan bahasa asing, termasuk Indonesia, akan terus terjadi di tengah kepentingan Australia yang cenderung terus meningkat dengan Asia baik di bidang perdagangan dan keamanan, termasuk dengan Indonesia, negara tetangga dekat di utara. *) disiarkan ANTARA pada 3 Juni 2007

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity