Kembalinya Partai Liberal Australia (ALP) ke tampuk kekuasaan setelah berada dalam masa penungguan selama 11 setengah tahun menyegarkan kembali ingatan banyak pihak di Indonesia akan kedekatan hubungan Jakarta-Canberra semasa Paul Keating menjadi perdana menteri.
Betapa tidak, di masa pemerintahannya (1991-1996) itu, Keating tidak hanya dikenal memiliki hubungan pribadi yang relatif baik dengan Presiden RI saat itu, Soeharto, tetapi juga menempatkan Indonesia secara khusus dalam kebijakan luar negeri pemerintahannya.
Tempat khusus Indonesia dalam kebijakan luar negeri Australia itu disampaikan sendiri oleh Keating dalam sebuah pertemuan di Sydney tahun 1994.
Dalam pertemuan tersebut, ia menegaskan "tidak ada satu negara pun yang lebih penting bagi Australia daripada Indonesia. Jika kami gagal menempatkan hubungan ini pada jalur yang benar, memelihara dan mengembangkannya, maka seluruh jejaring hubungan luar negeri kami tidaklah lengkap."
Pernyataan itu, menurut Indonesianis muda Universitas Wollongong, Margaret Hanlon, menunjukkan tingkat kepentingan Indonesia di mata Keating.
Bahkan, seperti dijelaskan Hanlon dalam artikelnya "Keating's Engagement: Too Many Eggs in the Suharto Basket?", Indonesia itu sama pentingnya dengan Amerika Serikat dan Jepang.
Kedekatan geografis dan potensi besar kedua negara untuk berkembang bersama-sama dilihat Margaret Hanlon sebagai dua faktor penting bagi Keating sehingga dia memberikan perhatian yang sama besarnya dengan perhatiannya kepada AS (sekutu dekat) dan Jepang sebagai dua mitra dagang utama Australia.
Apakah "warisan Keating" itu akan berulang di era Perdana Menteri terpilih Kevin Rudd?
Sinyal ke arah itu sudah terlihat ketika PM Rudd menyambut positif undangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepadanya untuk menghadiri konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) di Bali Desember 2007.
Sinyal tersebut semakin jelas ketika ia menekankan kepada Presiden Yudhoyono tentang betapa sangat pentingnya sebuah hubungan bilateral yang kuat, serta keinginannya untuk mengunjungi Indonesia pada "satu waktu di tahun baru (2008)" untuk memperluas hubungan kedua negara.
Keinginan politisi ALP kelahiran Queensland 21 September 1957 untuk dapat mengunjungi Indonesia pada 2008 itu menandakan arah pemerintahannya yang menjadikan Indonesia salah satu prioritas dalam kebijakan luar negeri (LN) Australia.
"Kita menyambut baik keinginan Perdana Menteri Kevin Rudd untuk mengunjungi Indonesia karena ini merefleksikan bahwa di bawah pemerintahan Rudd, Indonesia menjadi salah satu prioritas utama dalam kebijakan luar negeri Australia," kata Minister Counsellor Bidang Politik KBRI Canberra, Samsu Rizal.
Sebenarnya keinginan PM Rudd menjadikan Indonesia negara sahabat pertama yang dikunjunginya adalah hal yang wajar mengingat besarnya kepentingan hubungan kedua negara baik di tingkat bilateral maupun kawasan (ASEAN).
Tidak hanya itu. Terkait dengan kerja sama-kerja sama lainnya, Samsu Rizal melihat PM Rudd cenderung memainkan apa yang disebut strategi "middle power diplomacy" di mana pemerintahannya akan lebih mengandalkan mekanisme multilateral dan diplomasi kawasan dalam menangani berbagai isu internasional.
Hanya saja, dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia, kedua pihak tampaknya perlu terus bekerja sama secara erat dalam mengurangi atau mengikis habis kecurigaan yang masih ada di kalangan publik kedua negara, bahwa Indonesia dan Australia masih merupakan ancaman keamanan bagi masing-masing pihak.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah masalah perbedaan sistim politik dan kultur politik di kedua negara bersahabat ini. Sejumlah pihak di Australia misalnya kerap mengutarakan pendapatnya tentang isu tertentu di Indonesia yang belum tentu sepenuhnya benar dan kemudian mendapat respons yang cukup kritis dari berbagai pihak di Indonesia.
Dalam kasus pengadilan terhadap Schapelle Corby, warga Australia asal Gold Coast, Queensland, yang tertangkap membawa 4,1 kg marijuana ke Indonesia melalui Bali pada Oktober 2004, misalnya, reaksi publik di Australia mendapat reaksi kritis dari berbagai kalangan di Indonesia.
"Jadi bagaimana kedua pihak bisa mengurangi emosi di tingkat publik menjadi sangat penting. Pendek kata, adalah penting bagaimana cara meningkatkan pengertian di tingkat masyarakat. Karena itu, 'interfaith dialogue' (dialog antariman), pengenalan budaya, kerja sama antarlembaga, riset, kerja sama kepemudaan, olahraga dan antarpekerja media massa kedua negara menjadi penting," katanya.
Mengenai harapan berbagai kalangan di Tanah Air kepada pemerintahan baru Australia untuk menghapus "travel advisory" (saran perjalanan) kepada Indonesia, ia mengatakan, harapan itu dapat dipahami namun "travel advisory" ini pun patut dilihat sebagai satu kebijakan pemerintah Australia untuk melindungi rakyatnya.
"Travel advisory itu wajar-wajar saja di mana pun, tapi bagi kita pemberlakuan ini harus didasarkan pada data yang objektif dan kredibel supaya 'travel advisory' itu menjadi lebih kredibel dan Indonesia tidak begitu terganggu," katanya.
Harus dibaca dengan bijak
Pengamat politik yang juga mahasiswa doktoral Universitas Queensland (UQ) Akhmad Muzakki berpendapat "travel advisory" yang masih diberlakukan Australia kepada Indonesia ini seharusnya dibaca publik Tanah Air sebagai tanggungjawab pemerintah Australia untuk melindungi warga negaranya.
"Siapa pun yang duduk di pemerintahan Australia tetap akan mempertimbangkan faktor yang mementingkan keselamatan warga negara. Kasus insiden bom Bali 2002 dan 2005 memberikan pelajaran banyak kepada Pemerintah Australia. Dan reputasi pemerintah akan jatuh kalau keamanan warganya terancam."
"Jadi yang lebih layak bagi pemerintah Indonesia adalah bukan berharap banyak pada pencabutan 'travel advisory', tetapi bagaimana penguasa yang baru dari ALP bisa diajak Indonesia untuk semakin memperkuat kerja sama bidang keamanan misalnya," kata Akhmad Muzakki.
Selain itu, dalam masalah "travel advisory" yang memberlakukan gradasi, diplomasi Indonesia sebaiknya tetap berupaya memahami kepentingan politik pemerintah Australia terhadap rakyatnya, namun dalam waktu yang sama berupaya pula mengantisipasi dampak buruk pemberlakuannya bagi Indonesia, katanya.
Cara antisipatif yang mungkin adalah bagaimana pemerintah Indonesia mendekati Australia supaya mereka mau menurunkan gradasi "travel advisory" tersebut.
"Sebagai contoh, jika sekarang sangat tidak dianjurkan bepergian ke Indonesia kecuali kalau mendesak. Nah, bagaimana pengecualian-pengecualian itu yang diperluas. Untuk kepentingan pendidikan, pertukaran budaya, dan program ACICIS misalnya, masuk dalam pengecualian-pengecualian itu," katanya.
Menurut Akhmad Muzakki, kemenangan ALP dalam Pemilu Federal 24 November 2007 itu memberikan harapan baru bagi hubungan Indonesia dan Australia, terlebih lagi rujukan Kevin Rudd ketika berbicara tentang Indonesia selalu mantan PM Paul Keating.
Setidaknya, peluang kedua negara memperluas kerja sama bilateralnya di bidang keamanan perbatasan (border security) semakin terbuka dan hal ini dapat dimanfaatkan Indonesia untuk meningkatkan kapasitas aparat keamanannya dalam mengamankan wilayah NKRI yang begitu luas, katanya.
Kerja sama itu bisa membantu Indonesia memperkuat pengamanan terhadap pulau-pulau terluar sebagai upaya menjaga kedaulatan NKRI sekaligus membendung masuknya jaringan teroris dan pelaku kejahatan transnasional, katanya.
Bagi Australia, kerja sama bidang keamanan perbatasan ini pun memenuhi kepentingan nasionalnya karena negara benua berpenduduk sekitar 21 juta jiwa itu juga memiliki kepentingan terhadap penguatan "border security" di wilayah Indonesia.
Argumentasinya adalah pertama, Indonesia masih dipersepsi sebagian publik di Australia sebagai ancaman keamanan dari utara, baik terorisme maupun ancaman politik bersenjata. "Sebenarnya ketakutan-ketakutan semacam ini justru merupakan sebuah potensi kerja sama," katanya.
Kedua, Australia dipusingkan oleh ancaman kejahatan transnasional, seperti penyelundupan manusia (people smuggling), pencurian ikan, dan masuknya imigran ilegal ke wilayah jurisdiksi Australia lewat para calo di wilayah Indonesia.
"Artinya, perluasan kerja sama bidang 'border security' ini memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara. Yang namanya kerja sama bilateral kan selalu didasarkan pada kepentingan nasional masing-masing. Dan kerja sama bisa terwujud kalau keduanya bisa memetik manfaat untuk kepentingan keduanya."
Di bidang kerja sama keamanan, keduanya memiliki kepentingan sama yang sangat besar. Kemenangan ALP dalam Pemilu Federal 24 November 2007 itu semakin memberi peluang bagi kerja sama yang jauh lebih terbuka dibandingkan dengan pemerintahan koalisi Partai Liberal-Nasional yang dipimpin John Howard, katanya.
Hanya saja, kecakapan diplomasi Indonesia sangat diperlukan untuk bisa menciptakan peluang kerja sama yang lebih terbuka itu. "Sejarah pun membuktikan bahwa ketika pemerintahan federal Australia dipegang partai buruh, secara komparatif hubungan bilateralnya dengan Indonesia lebih baik," kata Akhmad Muzakki.
"Di bawah Koalisi Partai Liberal-Nasional, memang terlihat ada tren peningkatan dalam hubungan kedua negara," katanya.
Perubahan pemerintahan Australia itu setidaknya kembali mengingatkan 'kita' akan "warisan Keating" di era 1990-an.
*) dipublikasi ANTARA pada 27 November 2007
No comments:
Post a Comment