Saturday, December 29, 2007

KEVIN RUDD DAN HARAPAN BARU HUBUNGAN INDONESIA-AUSTRALIA



Oleh Rahmad Nasution

Kevin Rudd membuat sejarah. Partai Buruh Australia (ALP) yang menyokongnya menang telak atas Koalisi Partai Liberal-Nasional dalam Pemilu Federal 24 November 2007. Kemenangan itu sekaligus mengakhiri era pemerintahan John Howard yang telah berkuasa sejak 1996.

Kevin Rudd menjadi perdana menteri ke-26 Australia setelah pada penghitungan suara Sabtu malam (24/11), ALP berhasil mengantongi sedikitnya 83 dari 150 kursi di parlemen atau jauh melebihi kubu koalisi yang hanya memeroleh 58 kursi.

Politisi berusia 50 tahun dan telah meniti karir politik di ALP selama 25 tahun itu sekaligus mampu membuktikan tekad kuat yang disampaikannya di awal kampanye Pemilu 14 Oktober lalu bahwa "untuk menang, kita harus membuat sejarah".

Dengan kemenangan besar itu, Rudd tidak hanya telah mengukir sejarah bagi dirinya dan partainya karena berhasil menumbangkan supremasi Howard yang telah menguasai pemerintahan federal sejak 11 Maret 1996.

Kemenangan tersebut juga telah membuktikan bahwa mayoritas rakyat Australia menginginkan sebuah kepemimpinan baru yang kaya akan ide-ide segar dan visi jauh ke depan.

Selama enam minggu masa kampanye, Rudd dan ALP memang menawarkan kepemimpinan baru yang membawa misi dan ide segar bagi Australia yang lebih baik.

Howard dan kubu koalisi Partai Liberal-Nasional berupaya mengimbangi geliat ALP itu dengan mengusung tema kampanye "kepemimpinan yang tepat". Howard bahkan mengawali kampanyenya dengan satu ucapan: "cintai saya atau benci saya".

Namun kali ini mayoritas rakyat menginginkan pemimpin baru. Kemenangan Rudd bersama ALP ini telah diramalkan berbagai lembaga survei seperti ACNielsen dan Galaxy, jauh sebelum Howard menetapkan tanggal pelaksanaan Pemilu Federal 24 November 2007.

Analis Pemilu ABC, Antony Green, bahkan memperkirakan ALP mampu mengantongi 85 kursi di parlemen. Dengan kelebihan 20 kursi di parlemen, ALP dipastikan mengakhiri 11 tahun pemerintahan kubu koalisi Partai Liberal Nasional.

Bagi Howard, Pemilu Federal 2007 yang diikuti lebih dari 13,6 juta orang pemilih itu telah menempatkan karir politiknya berada di ujung tanduk.

Betapa tidak, kursi daerah pemilihan Bennelong, Sydney, yang telah dipertahankannya selama lebih dari 11 tahun ikut terancam jatuh ke tangan calon anggota parlemen ALP, Maxine McKew walaupun McKew belum berani menyatakan kemenangan atas Howard karena belum seluruh kertas suara selesai dihitung.

Bagi politisi perempuan ALP yang pernah berkerja sebagai penyiar ABC itu, satu hal yang pasti bahwa kursi daerah pemilihan Bennelong tidak lagi pernah dengan mudahnya diambil Partai Liberal.

Mengenai isu-isu yang menjadi kunci kemenangan kubu ALP, Julia Gillard, wakil ketua ALP dan wakil perdana menteri dalam pemerintahan baru Kevin Rudd, mengatakan, kualitas kepemimpinan Rudd merupakan salah satu faktor penting bagi pemenangan ALP.

Isu-isu krusial lainnya adalah kebijakan alternatif ALP terhadap isu hubungan industrial dan pilihan kerja, serta komitmen ALP pada perubahan iklim yang mengacu pada Protokol Kyoto.

Kegagalan pemerintahan Howard menjaga tetap rendahnya angka inflasi sehingga mengakibatkan naiknya tingkat suku bunga yang memengaruhi kehidupan masyarakat banyak juga memberikan kontribusi pada kemenangan ALP, kata Gillard.

Di tengah suka cita Rudd dan para pendukungnya menyambut kemenangan bersejarah ALP itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru mengukir sejarah lain dalam momen bahagia pemimpin baru Australia itu.

Presiden Yudhoyono, seperti diakui Rudd, merupakan pemimpin negara sahabat pertama yang menelepon dirinya untuk memberikan ucapan selamat atas keberhasilannya sekaligus mengundangnya untuk ikut menghadiri konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali.

Ia menyambut positif undangan resmi Presiden Yudhoyono untuk menghadiri Konferensi ke-13 Negara Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (Conference of Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) di Bali, 3-14 Desember 2007 itu.

"Saya merespons secara positif undangan Presiden Yudhoyono untuk hadir di Bali," katanya dalam konferensi pers yang disiarkan langsung stasiun televisi "Channel Nine" Minggu siang.

Selain bertemu Presiden Yudhoyono di Bali, ia pun berencana mengunjungi Indonesia kembali pada 2008 untuk memperkuat hubungan bilateral kedua negara.

Sinyal positif yang diberikan Rudd pada penguatan hubungan Australia dengan Indonesia itu seakan memutar jarum sejarah kemesraan hubungan kedua negara semasa pemerintahan PM Paul Keating (1991-1996) dan memunculkan harapan baru bagi pendewasaan hubungan.

Di bawah pemerintahan Howard, hubungan kedua negara mengalami pasang surut yang ekstrim akibat tidak terkelolanya secara baik masalah-masalah sensitif, seperti krisis Timor Timur dan separatis Papua.

Kondisi ini diperburuk pula oleh persepsi publik di kedua negara yang belum proporsional dalam menilai diri masing-masing.

Tantangan dan harapan

Dalam merespon dinamika hubungan itu, pemerintah dan parlemen Indonesia dan Australia berupaya mencari solusi bersama dan melahirkan perjanjian yang menjadi payung hukum bagi penguatan hubungan dalam jangka panjang.

Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia yang ditandatangani di Lombok 13 November 2006 dan telah pula diratifikasi parlemen kedua negara dipandang banyak kalangan sebagai tonggak sejarah baru dalam hubungan bilateral kedua negara.

Hanya saja, upaya memperkuat dan semakin mendewasakan hubungan bilateral itu tidak cukup hanya dilakukan di tingkat pemerintah tetapi juga sepatutnya secara simultan dilakukan di tingkat masyarakat. Yang terakhir ini justru menimbulkan kekhawatiran sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hasil survei akademis.

Hasil survei terbaru Universitas Sydney Oktober 2007 yang melibatkan 1.213 orang responden dari kalangan warga Australia misalnya mendapati lebih dari separuhnya masih memandang Indonesia sebagai negara yang tidak menarik.

Mayoritas responden belum melihat Indonesia sebagai mitra dekat keamanan Australia dalam lima atau sepuluh tahun mendatang. Hasil survei itu menunjukkan posisi Indonesia hanya berada setingkat di atas Korea Utara namun kalah jauh dibandingkan Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris.

Hasil survei Universitas Sydney tersebut belum menunjukkan adanya kemajuan setelah setahun Lembaga Pengajian Kebijakan Internasional "Lowy Institute" membuat survei tentang persepsi responden Australia dan Indonesia tentang hubungan kedua bangsa dan persepsi keduanya tentang persoalan keamanan dan kebijakan luar negeri serta persoalan-persoalan internasional lainnya.

Dalam survei yang berlangsung antara 19 Juni hingga 16 Juli 2006 itu, terungkap bahwa responden Australia tetap memandang Indonesia sebagai ancaman keamanan bagi negaranya, karena negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang secara geografis bertetangga langsung dengan Australia ini dipandang sebagai sumber terorisme dan negara yang masih dikontrol militer.

Bagi responden Indonesia, Australia dianggap sebagai negara yang suka ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia dan tetap berkeinginan untuk memisahkan Provinsi Papua dari Negara Kesatuan RI.

Kondisi ini merupakan tantangan yang menuntut keseriusan bersama untuk menjawabnya supaya Indonesia dan Australia keluar dari bayang-bayang yang disebut banyak akademisi Australia sebagai "the strange neighbors" dan "an arranged marriage" (Sulaiman, Sofyan, dan Smith 1998).

Mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans telah mengingatkan sejak awal keunikan dan perbedaan dari kedua bangsa yang bertetangga dekat ini.

Evants mengatakan, "tidak ada dua tetangga di belahan dunia manapun yang berbeda sejarah, budaya, penduduk, bahasa, serta tradisi politik dan sosialnya seperti Australia dan Indonesia" (Ball dan Wilson 1991:1-4).

Di tengah kondisi riil ini, naiknya Kevin Rudd ke tampuk kekuasaan memunculkan harapan baru akan kembalinya kemesraan hubungan Indonesia dan Australia khususnya serta hubungan Australia dan Asia pada umumnya mengingat kecenderungan ALP yang pro-Asia.

Kecenderungan ALP untuk lebih merangkul Asia itu setidaknya terlihat jelas dari pernyataan yang pernah dilontarkan Menlu bayangan Partai Buruh, Robert McClelland.

McClelland menegaskan bahwa Australia tidak dapat mengambil resiko dengan mengalienasi China karena tidak ada jaminan bahwa Amerika Serikat (AS) akan terus menjadi kekuatan dominan di Asia.

Sinyal itu memberikan harapan pada Australia yang semakin dekat dengan negara-negaranya di Asia kendati kebijakan luar negeri selama pemerintahan Howard yang memperkuat hubungan Australia dengan AS, Jepang, China, dan Indonesia juga diyakini Menlu Alexander Downer justru akan "menambah bobot Australia di tingkat global".

Bagi Indonesia, perbedaan pandangan terhadap masalah-masalah tertentu bisa jadi sulit terhindari dalam hubungan kedua negara dan bangsa namun hal ini tidak menutup kedua pihak untuk membangun kerja sama bagi kepentingan bersama dan dunia.

Peluang kerja sama itu begitu terbukanya di berbagai sektor. Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di KBRI Canberra, Agus Sartono, melihat kerja sama di bidang pendidikan sebagai salah satu yang diharapkan semakin berkembang.

Ia mengharapkan pemerintahan baru Australia dapat memberikan lebih banyak beasiswa lagi kepada putri-putri terbaik Indonesia untuk dapat melanjutkan studi mereka.

"Selain itu, akan lebih bagus lagi kalau ada juga beasiswa bagi para mahasiswa Australia untuk belajar di universitas-universitas di Indonesia, karena mereka akan menjadi duta bagi penguatan hubungan kedua negara dan bangsa," kata Agus Sartono.

Para mahasiswa Australia yang pernah mengikuti program ACICIS (Australian Consortium for Indonesian In Country Study) terbukti memberikan kontribusi positif bagi penguatan hubungan kedua bangsa karena mereka memiliki pandangan yang lebih proporsional tentang Indonesia.

Di tangan Perdana Menteri Kevin Rudd, harapan baru akan terus membaik, meluas dan dewasanya hubungan Indonesia-Australia maupun hubungan Australia dengan Asia itu kini berada.

*) dipublikasi ANTARA pada
25 November 2007




No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity