Saturday, December 29, 2007

ISU PERBURUAN PAUS BAYANGI HUBUNGAN AUSTRALIA-JEPANG


Oleh Rahmad Nasution

Daya tahan hubungan bilateral Australia-Jepang dan bagaimana kepiawaian pemerintah kedua negara dalam mengelola hubungan tersebut tampaknya benar-benar diuji menjelang pergantian tahun ini.

Ujian tersebut dipicu oleh masalah perburuan ikan paus oleh kapal-kapal Jepang di perairan Laut Selatan (Antartika) yang semakin menggusarkan banyak pihak di Australia.

Kelompok-kelompok lingkungan hidup bahkan telah bersiap diri ke perairan Laut Selatan untuk menghalau kapal-kapal paus Jepang yang beroperasi di musim panas guna mengejar target penangkapan sekitar seribu ekor paus, termasuk 50 ekor paus "humpback".

Kedua negara sudah sejak lama telah memiliki sikap yang berbeda dalam melihat persoalan perburuan ikan paus di dunia. Perbedaan sikap keduanya itu antara lain dapat dilihat dari berbagai fora Komisi Paus Dunia (IWC).

Namun di tengah perbedaan sikap keduanya itu, kontroversi baru muncul setelah Perdana Menteri Kevin Rudd berencana melibatkan "aset-aset militer" dalam mendukung upaya pengumpulan bukti perburuan ikan paus oleh kapal-kapal Jepang di Laut Selatan.

Rencana PM Rudd melibatkan kapal dan pesawat tempur Australia dalam pengumpulan bukti-bukti keterlibatan Jepang dalam perburuan paus berdalih ilmu pengetahuan (scientific whaling) itu mengundang kekhawatiran kubu oposisi.

Pemimpin Oposisi, Brendan Nelson, yang pernah menjadi menteri pertahanan semasa pemerintahan PM John Howard yang kemudian kalah telak dalam Pemilu Federal 24 November lalu, sangat mengkhawatirkan langkah PM Rudd tersebut.

Seperti dilaporkan jaringan pemberitaan ABC, Jumat, Nelson tidak setuju dengan langkah pemerintah, karena rencana itu hanya akan memperluas ketegangan diplomatik dengan Jepang, negara yang selama 60 tahun menjadi sekutu dan mitra dagang utama Australia.

Dengan kata lain, kubu oposisi melihat rencana pemerintah menggunakan aset militer dalam merespon aksi perburuan ikan-ikan paus oleh kapal-kapal Jepang di Laut Selatan itu sebagai langkah yang "tidak perlu".

Argumentasi kubu oposisi itu tercermin dalam beberapa pertanyaan yang disampaikan Brendan Nelson walaupun dalam masalah perburuan ikan paus, pihaknya juga secara tegas menolak aksi penangkapan dan perburuan paus atas alasan apapun.

Beberapa pertanyaan Nelson itu adalah seandainya pemerintah jadi menggunakan "aset" Angkatan Bersenjata Australia (ADF), apa yang akan dilakukan para personil ADF jika mereka melihat terjadinya aksi-aksi pelanggaran hukum laut?

Selanjutnya, dalam soal efektivitas tujuan, tidakkah cukup hanya mengirim satu atau dua pesawat sipil dengan beberapa orang fotografer daripada pemerintah mengirim kapal dan pesawat tempur, dan tindakan apa yang akan diambil personil militer Australia jika mereka menyaksikan aksi pelanggaran hukum baik oleh para aktivis lingkungan maupun awak kapal paus Jepang?

Pemimpin Oposisi Brendan Nelson meminta PM Rudd supaya tetap bertindak bersama-sama masyarakat internasional sebelum mengambil keputusan mengirim "aset-aset perang" untuk mengawasi operasi kapal paus Jepang itu.

Pemerintah Jepang sendiri telah tegas menolak campur tangan Australia dalam program "scientific whaling"-nya di perairan Laut Selatan itu dengan argumentasi bahwa program tersebut didukung perjanjian internasional.

Terlepas dari perbedaan sikap keduanya dalam isu paus, pemerintah kedua negara relatif berhasil memperluas kemitraan strategis mereka di bidang perdagangan dan keamanan.

Jepang tercatat sebagai salah satu mitra dagang utama Australia disamping Amerika Serikat (AS), China, Korea Selatan, Selandia Baru, Jerman, dan Inggris.

Di masa pemerintahan PM John Howard, kedua negara bahkan sudah memulai perundingan perjanjian perdagangan bebas (FTA) sejak April 2007.

Di bidang kerja sama keamanan, Australia dan Jepang pun telah memperluas kemitraan mereka yang antara lain ditandai dengan adanya pertemuan tingkat menteri luar negeri dan menteri pertahanan.

Pada 6-7 Juni lalu, para menteri luar negeri dan menteri pertahanan mereka bertemu di Tokyo guna memperluas kerja sama strategis dalam operasi pasukan penjaga perdamaian, non profilerasi nuklir, kontra terorisme, dan operasi bencana dan kemanusiaan.

Mantan Menlu Alexander Downer mengatakan, dialog konsultatif tingkat menteri Juni lalu itu berlangsung di saat hubungan kedua negara sedang sangat baik-baiknya.

"Kemitraan kedua negara dikuatkan oleh adanya kesamaan nilai, tujuan strategis bersama dan aliansi bersama kami dengan Amerika Serikat. Kerja sama kami tentang isu-isu pertahanan dan keamanan, termasuk dialog strategis trilateral dengan Jepang dan AS, menjadi bagian dari keterlibatan kami yang semakin penting," kata Downer.



Sulit melunak

Namun untuk isu perburuan paus, sulit bagi Australia untuk melunakkan sikap Jepang.

Setidaknya itu tercermin dari diskusi panel bertajuk "Perburuan Paus di Laut Selatan: Pertimbangan-Pertimbangan Internasional dan Regional untuk Australia dan Jepang" yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Queensland (UQ), 29 Agustus lalu.

Pakar Hukum Internasional Universitas Nasional Australia (ANU), Prof. Don Rothwell, yang berbicara dalam diskusi panel tersebut mengatakan, posisi Jepang tetap menginginkan berlakunya Pasal 8 Ayat 1 Konvensi Internasional untuk Regulasi Perburuan Paus (ICRW).

Pasal tersebut memberikan izin khusus bagi Jepang untuk melakukan perburuan paus bagi kepentingan sains.

Dalam pandangan ketua Panel Ahli Hukum Internasional Independen Sydney (SPIILE) itu, apa yang mungkin dilakukan Australia dalam menghadapi sikap Jepang ini adalah terus-menerus mensponsori pertemuan-pertemuan para ahli hukum.

Di samping itu, Australia pun bisa mencoba meminta Jepang menyepakati satu arbitrase "ad hoc" yang bertugas menyelesaikan pertikaian dalam pelaksanaan Program Riset Paus Jepang di bawah izin JARPA II.

Bagi pemerintah Australia, perburuan paus untuk kepentingan sains tidak lebih dari sekadar kedok.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Air Australia, Malcolm Turnbull, yang berbicara lewat fasilitas telekonferensi dalam diskusi panel di kampus UQ St.Lucia itu menegaskan bahwa perburuan paus Jepang tidak lain bertujuan komersial tapi bersembunyi di balik istilah perburuan paus untuk sains.

Argumentasinya adalah tidaklah perlu membunuh begitu banyak paus untuk sains dan membunuh paus tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang kemanusiaan maupun konservasionis.

Namun, untuk mengubah sikap Jepang, perlu diubah pendapat umum di negara itu, kata Turnbull.

Sebenarnya seberapa banyak paus yang sudah dibunuh sejak Moratorium 1982 diberlakukan pada 1986?

Darren Kindleysides, pegiat Dana Internasional untuk Kesejahteraan Binatang (IFAW) yang secara aktif melakukan kampanye anti-perburuan paus Jepang, memperkirakan jumlahnya sudah lebih dari 25 ribu ekor.

Jepang, Islandia, dan Norwegia dilaporkan membunuh 1.500 ekor paus setiap tahunnya.

Khusus perburuan paus oleh kapal-kapal Jepang, Kindleysides melihat aksi itu berdampak negatif terhadap industri pariwisata menonton paus (whale watching) Australia yang setiap tahunnya memberi pemasukan sekitar 300 juta dolar.

Dilihat dari perspektif ini, perburuan paus atas alasan apa pun akan dipandang Australia sebagai ancaman, sedangkan Jepang mendukung posisinya dengan menggunakan legitimasi internasional sebagai dasar bertindak.

Tampaknya jalan menanjak sedang menghadang hubungan kedua negara karena dalam isu paus ini kepentingan nasional kedua negara memang sejak awal berbeda.

*) dipublikasi ANTARA pada
14 Desember 2007

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity