Ucapan aktor legendaris Inggris, Sir Peter Alexander Ustinov, bahwa "terorisme adalah perangnya si miskin, dan perang adalah terorisme si kaya" agaknya relevan dengan fenomena aksi kekerasan yang terjadi di berbagai negara dalam lintas sejarah kemanusiaan, baik yang terjadi sebelum, maupun sesudah insiden atas gedung World Trade Center, New York, AS, pada 11 September 2001.
Jika Al Qaeda, kelompok yang dimasukkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, ke dalam daftar organisasi "teroris", memakai pesawat terbang komersial AS yang dibajak anggotanya untuk melancarkan serangan 11 September 2001-nya yang menewaskan lebih dari 4.000 warga sipil tak berdosa, AS menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki untuk mengakhiri imperialisme Jepang di Asia Tenggara dan Asia Timur di bulan Agustus 1945.
Kedua aksi kekerasan itu sama-sama menyebabkan jatuhnya korban jiwa di kalangan warga sipil dalam jumlah yang besar.
Jika kelompok seperti Al Qaida dan Noordin M.Top sengaja menjadikan warga sipil dan fasilitas umum sebagai sasaran aksi kekerasan mereka guna menciptakan efek psikologis yang dahsyat di masyarakat, banyaknya warga sipil Jepang yang tewas, terluka, kehilangan tempat tinggal, dan menderita sepanjang hayatnya akibat radiasi bom atom AS itu justru kerap dianggap kalangan militer sebagai "collateral damage".
Terlepas dari perbedaan persepsi itu, yang pasti, dalam berbagai aksi kekerasan yang bermotif politis, baik yang dilakukan "aktor non negara" maupun "aktor negara", warga sipil menjadi korban karena mereka sengaja dijadikan sasaran para pelaku atau mereka kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah.
Namun, bagaimana pekerja media (massa) merespon dua peristiwa yang sama-sama menyebabkan jatuhnya korban di pihak sipil, dan sebutan apa yang lazim mereka berikan kepada para pelakunya dalam pemberitaan mereka?
Dua pertanyaan itu sempat mengemuka dalam Lokakarya "Teorisme -- Hukum Internasional dan Media" yang diselenggarakan Konrad Adenauer Stiftung di sebuah hotel berbintang di kawasan Nusa Dua, Bali, 30 November - 2 Desember 2006.
Dalam lokakarya yang diikuti belasan pewarta dan redaktur senior dari media cetak dan elektronika Bangladesh, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Nepal, Pakistan, Filipina, dan Thailand itu, terjadi perdebatan seputar penggunaan kata "terorisme" dan "teroris" untuk menyebut peristiwa dan pelaku kekerasan bermotif politis dan dilakukan aktor non-negara.
Perdebatan yang mengemuka dalam lokakarya yang menghadirkan pembicara dari kalangan wartawan Jerman, pakar masalah terorisme Singapura, dan aktivis Palang Merah Internasional (ICRC) Kuala Lumpur itu terutama dipicu oleh tidak adanya definisi baku tentang "terorisme" serta makna katanya yang subyektif.
Dari label teroris ke pejuang
Betapa tidak, seseorang yang pernah dianggap kalangan tertentu sebagai teroris justru belakangan dikenal luas sebagai pejuang.
Sebagai contoh, mantan Presiden Palestina yang juga pendiri Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, dan negarawan Afrika Selatan yang sangat gigih memperjuangkan penghapusan sistem Apartheid di negaranya, Nelson Mandela.
Keduanya pernah dicap teroris di sejumlah negara Barat akibat sepak terjang perjuangan mereka, namun kemudian dikenal luas oleh rakyatnya dan masyarakat internasional sebagai pemenang Nobel Perdamaian.
Bagi Nelson Mandela, seperti ditulis Fr. Michael Lapsley dari Lembaga Penyembuhan Memori, Pemerintahan Presiden Ronald Reagan bahkan pernah menyebut Kongres Nasional Afrika (ANC)-nya "organisasi teroris yang berbahaya" (2004).
Dari paparan itu, dapat dipahami bahwa penggunaan kata "terorisme" dan "teroris" yang serampangan dapat menjebak media dan pekerja media ke dalam pusaran subjektifitas dan menjadi corong propaganda pihak-pihak tertentu mengingat konflik cenderung membelah masyarakat ke dalam kelompok yang pro dan kontra.
Untuk menghindari keterjebakan itu, British Broadcasting Corporation (BBC) misalnya mengeluarkan pedoman penulisan dan pemberitaan peristiwa kekerasan terorisme.
Media Inggris itu menekankan pentingnya menjelaskan kepada publik tentang apa yang terjadi dan siapa yang melakukan aksi kekerasan tersebut secara spesifik.
BBC mengharuskan pemakaian kata-kata yang dapat menjelaskan pelaku, seperti "bomber" (pengebom), "attacker" (penyerang), "gunman" (penembak), "kidnapper" (penculik), "insurgent" (pemberontak), dan "militant" (militan).
Menurut BBC, adalah tanggungjawab media untuk "tetap objektif dan memberitakan sesuatu dengan cara-cara yang dapat menolong para pemirsa mampu memberikan penilaian sendiri tentang siapa melakukan apa untuk siapa".
Selain pandangan filosofis yang dianut BBC itu, untuk menempatkan suatu peristiwa kekerasan tersebut sesuai dengan konteksnya, tampaknya diperlukan pula deskripsi tentang "siapa sesungguhnya para pelaku, apa yang memotivasi mereka, dan apa tujuan aksi mereka".
Dengan demikian, serta-merta menuding kelompok tertentu "teroris" setiap kali aksi kekerasan terorisme terjadi sambil melekatkan "kata sifat" yang menggambarkan latarbelakang agama tertentu dalam pemberitaan, merupakan bias informasi yang dapat menyesatkan pembaca dan memupuk langgengnya kesalahanpahaman di masyarakat.
No comments:
Post a Comment