Saturday, December 29, 2007

KESIA-SIAAN ELITE NTT PERTANYAKAN KEPEMILIKAN AUSTRALIA ATAS "ASHMORE ISLANDS"


Oleh Rahmad Nasution

Status kepemilikan Pulau Pasir atau "Ashmore Islands" yang terletak sekitar 320 kilometer dari lepas pantai barat laut Australia atau 170 km selatan Pulau Rote, NTT (Indonesia), sudah sejak lama selesai di tingkat pemerintah kedua negara.

Bagi Pemerintah Indonesia, gugusan pulau karang yang terletak di Laut Timor dan berjarak sekitar 840 kilometer barat Darwin, ibukota Negara Bagian Northern Territory, atau 610 kilometer utara Broome itu sudah lama diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari kedaulatan Australia.

Namun, tidak demikian halnya dengan sejumlah orang Indonesia di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka secara konsisten tetap saja mempertanyakan status kepemilikan Australia atas Pulau Pasir tersebut, degan mendasarkan pandangan mereka pada argumentasi kedekatan geografis, klaim kesejarahan dan kedekatan tradisional.

Aktivis Komite Nasional Pulau Pasir (KNPP) dan Akademisi Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Ir Yusuf Leonard Henuk, M.Rur.Sc.,Ph.D, termasuk di antara pihak-pihak yang masih mempertanyakan keabsahan Australia atas gugusan pulau tersebut.

Mereka pun menegasikan pengakuan Pemerintah Indonesia secara de facto dan de jure atas kedaulatan Canberra terhadap gugusan pulau yang menurut literatur Australia "ditemukan" oleh Kapten Samuel Ashmore pada 11 Juni 1811 itu.

Komandan Kapal "Hibernia" itu dianggap sebagai "orang Eropa pertama" yang "menemukan" pulau karang yang bertetangga dengan Pulau Cartier tersebut.

Dalam pandangan Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Undana Kupang, Ir Yusuf Leonard Henuk, M.Rur.Sc.Ph.D, Pemerintah Indonesia masih bisa mempertanyakan status Pulau Pasir kepada Mahkamah Internasional, karena pulau yang menjadi tempat persinggahan 88 spesies burung itu, mereka klaim sebagai warisan dari pemerintahan kolonial Inggris.

"Namun perlu dicatat bahwa nelayan tradisional Indonesia asal Pulau Rote dan wilayah lainnya di negeri ini telah mengolah dan melakukan aktivitas secara terus-menerus di Pulau Pasir hingga saat ini sejak 500 tahun yang lampau sebelum kedatangan para penjajah di Bumi Nusantara," katanya.

Argumentasi senada juga disampaikan oleh para aktivis KNPP ketika mereka mempertanyakan keabsahan status kepemilikan Australia terhadap gugusan pulau yang kaya akan beragam biota laut dan telah dijadikan Canberra sebagai kawasan konservasi sejak 16 Agustus 1983 itu.

Bagaimana Pemerintah Indonesia dan Australia menanggapi "suara-suara yang masih mempertanyakan" status kepemilikan pulau-pulau karang yang secara geografis lebih dekat ke garis pantai Indonesia dan telah ratusan tahun lalu memiliki ikatan kesejarahan dengan nenek moyang orang Rote, NTT, itu?

Bagi Pemerintah Indonesia, status Pulau Pasir tersebut sudah final sebagai bagian dari kedaulatan Australia, kata Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan Internasional Departemen Luar Negeri (Deplu), Arif Havas Oegroseno.

"Kalau ada yang mengatakan bahwa Pulau Pasir milik Indonesia karena orang Rote telah mengelola pulau itu sejak 500 tahun yang lalu, bagi kita sulit menggunakan alasan kesejarahan. Nanti semua negara bisa mengklaim hal yang sama," katanya.

Jika klaim kepemilikan suatu pulau atau teritori didasarkan pada klaim kesejarahan, maka RRC pun bisa mengklaim bahwa Pulau Jawa dan Sumatera misalnya adalah milik mereka karena dulu pernah ada utusan kaisar China yang mengunjungi pulau-pulau di Nusantara ini.

Dalam hukum internasional, klaim kepemilikan yang didasarkan pada argumen kesejarahan, kedekatan tradisional, maupun kedekatan geografis tidak dapat diterima karena semua itu bisa subjektif.

Menurut Arif, hukum internasional lebih memegang bukti hukum efektivitas seperti kasus Pulau Sipadan-Ligitan yang berakhir dengan kemenangan pihak Malaysia atas Indonesia.

Terkait dengan status kepemilikan Pulau Pasir, Belanda tidak pernah mengklaim bahwa pulau itu sebagai miliknya, melainkan milik Inggris. "Sudah ada bukti bahwa Belanda tidak pernah mengatur pulau itu dan Belanda tidak pernah mempersoalkan pulau itu tahun 1878."

"Karena pulau tersebut milik Inggris. Pada 1800-an, pada saat Inggris menjadikan Pulau Pasir milik dia, pada tahun itu Indonesia sudah berada di bawah administrasi kolonial Belanda. Jadi ya kalau dikatakan bahwa salah satu suku kita telah mengelola pulau itu, klaimnya itu tidak valid karena yang diakui dalam konteks negara adalah Belanda," katanya.

Jika argumentasi kepemilikan suatu pulau didasarkan pada kedekatan tradisional dengan masyarakat setempat, klaim seperti ini juga "problematik" karena tidak sedikit pulau kecil milik Indonesia juga pernah disinggahi para nelayan asing, seperti Vietnam dan Malaysia, katanya.

"Di Pulau Miangas misalnya, juga banyak nelayan Philipina dan beranak pinak, apakah ini bisa dijadikan dasar klaim?" katanya seraya menambahkan bahwa pulau yang berbatasan langsung dengan Philipina itu sah milik Indonesia karena Belanda dapat membuktikan bahwa pulau itu merupakan bagian dari kedaulatannya ketika Kepulauan Nusantara masih di bawah kendali administrasi Kolonial Belanda.

Terus berulangnya klaim sepihak sejumlah elemen di NTT terhadap Pulau Pasir itu sempat mengusik Pemerintah Australia.

Pada Oktober 2006 lalu, Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, secara tegas menolak klaim KNPP bahwa Pulau Pasir (Ashmore Islands) bukan bagian dari Australia. Bagi Farmer, "tidak ada pertanyaan mengenai kedaulatan Australia atas Ashmore Islands."

Kedaulatan negaranya atas "Ashmore Islands" itu pun telah lama diketahui secara internasional dan antara Indonesia dan Australia sebagaimana tertuang dalam kesepakatan Perth tahun 1997 dan Nota Kesepahaman (MoU) mengenai akses nelayan tradisional Indonesia ke Ashmore Islands pada 1974.

Namun, Dubes Farmer menegaskan bahwa pemerintahnya paham jika Pemerintah RI tidak pernah mempermasalahkan kedaulatan negaranya atas pulau tersebut.

Fakta sejarah bahwa berabad-abad lampau para nelayan tradisional Indonesia telah mencari penghidupan mereka dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat Australia dan di sekitar gugusan pulau karang itu pun tetap diakui Australia.

Canberra bahkan tetap konsisten dengan perjanjian yang ditandatanganinya dengan Jakarta pada November 1974 yang mengizinkan nelayan tradisional Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut.

Berdasarkan nota kesepahaman (MoU) 1974, seperti yang dilansir situs "Geoscience Australia" (http://www.ga.gov.au/education/facts/dimensions/externalterr/ashmore.htm), kawasan yang disepakati kedua negara yang dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia itu adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

Apakah payung hukum MoU yang telah ditandatangani kedua pemerintah tahun 1974 yang jelas-jelas mengakui keterkaitan sejarah dan tradisional para nelayan NTT dengan Pulau Pasir itu tidak cukup?

Atau terus dimunculkannya pertanyaan-pertanyaan oleh sejumlah elemen masyarakat di NTT tentang status kepemilikan Pulau Pasir itu tidak lebih dari sekadar komoditas politik demi mencari keuntungan sesaat dengan mengatasnamakan "rakyat NTT"?

Meneruskan upaya mengutak-atik status kepemilikan gugusan pulau karang yang sudah menjadi milik Australia itu bak "menunggu Godot" karena, seperti diakui Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan Internasional Departemen Luar Negeri (Deplu) Arif Havas Oegroseno, status kepemilikan Pulau Pasir itu telah final dan Australia adalah pemiliknya yang sah dan diakui secara internasional.

*) disiarkan ANTARA pada 21 Desember 2006

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity