Saturday, December 29, 2007

KUNJUNGAN BUSH DIHARAPKAN TUMBUHKAN KEARIFAN AS PADA ISLAM



Oleh Rahmad Nasution

Kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) George W.Bush untuk kedua kalinya ke Indonesia pada 20 November nanti -setelah yang pertama di Denpasar, Bali tiga tahun lalu- menandakan semakin pentingnya posisi negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini di mata AS.

Namun rencana kedatangan itu menuai pro-kontra di masyarakat Indonesia akibat sejumlah kebijakan dan aksi AS dalam perang melawan terorisme, invasi ke Afghanistan dan Irak, masalah Palestina-Israel dan konflik Israel-Hizbullah di Lebanon dianggap sejumlah tokoh organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Forum Umat Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai "sangat merugikan umat Islam".

Aksi menentang kedatangan Bush oleh sejumlah elemen masyarakat Indonesia itu dilampiaskan dalam bentuk demonstrasi damai di sejumlah kota di Tanah Air, seperti Jakarta, Bogor, dan Makassar.

Terlepas dari pro-kontra itu, kehadiran Bush di Istana Bogor sebagai balasannya atas kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke AS tahun lalu mempertegas pentingnya hubungan bilateral kedua negara dan pengakuan AS atas peran Indonesia dalam ikut menyelamatkan masa depan dunia.

Duta Besar AS untuk Indonesia Lynn B. Pascoe dalam konferensi persnya di Jakarta, 8 November lalu, mempertegas hubungan baik kedua negara selama ini dalam upaya bersama menyelesaikan isu-isu internasional dan mewujudkan kehidupan dunia yang lebih baik.

Dalam pertemuan di Istana Bogor itu, kedua kepala negara, kata Dubes Pascoe, tidak "membicarakan masa lalu melainkan hubungan di masa mendatang. Kedua negara peduli untuk dapat terus bekerja sama dalam jangka panjang."

Kunjungan Bush yang disebut-sebut hanya berlangsung sekitar sepuluh jam itu juga seakan menggenapkan kehadiran sejumlah pemimpin negara sekutu dekat AS di Indonesia sepanjang 2006.

Berselang dua minggu setelah kedatangan Menlu Condoleezza Rice ke Jakarta Maret lalu, giliran Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, mengunjungi Indonesia pada 29-30 Maret.

Presiden Singapura, SR Nathan, pun melakukan kunjungan pada bulan yang sama (19-23 Maret) disusul Perdana Menteri Belanda, Dr.Jan Peter Balkenende, pada pekan kedua April 2006.

Jika Menlu Rice menjadikan Madrasah Al Makmur di Jalan Raden Saleh, Jakarta, salah satu tempat yang ia kunjungi, PM Inggris, Tony Blair, pun melakukan hal yang sama dengan mengunjungi Pesantren Modern Darunnajah Jakarta Selatan, berdialog dengan dan menyaksikan aktivitas para santri dan pengelola pesantren.

PM Jan Peter Balkenende juga mengunjungi sebuah pesantren setelah berdialog dengan anggota civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat tentang Islam.

Benang merah dari kunjungan Menlu Rice, PM Blair dan PM Balkenende itu tampaknya sulit untuk tidak dikaitkan dengan kampanye perang melawan apa yang disebut "terorisme" sebagai agenda rutin AS dan dunia paska serangan teroris ke New York dan Washington D.C. 11 September 2001.

Jika PM Blair dan PM Balkenende memasukkan kunjungan ke pesantren atau berdialog dengan civitas akademika universitas Islam ke dalam rangkaian acara kunjungan mereka, apakah Presiden Bush juga akan melakukan hal yang sama?

Hingga 10 hari sebelum kedatangan Bush di Indonesia, belum ada agenda resmi kegiatan orang nomor satu AS itu sehingga belum diketahui kegiatan apa saja yang akan dilakukannya selama kunjungan 10 jam itu.

Namun, tampaknya kunjungan ke pesantren tidak masuk dalam agenda kegiatan Presiden Bush jika tidak ada perubahan dari apa yang telah ditegaskan Atase Pers Kedubes AS di Jakarta, Max Kwak, dalam pernyataan persnya yang membantah berita "Koran Tempo" edisi Jumat (10/11).

Mengutip seorang intel polisi di Bogor, suratkabar itu memberitakan bahwa Presiden Bush yang akan bertemu Presiden Yudhoyono di Bogor 20 November mendatang "diperkirakan bakal mengunjungi Pesantren Ashriyyah Nurul Iman di Desa Waru Jaya, Parung".

Terlepas dari ada tidaknya kunjungan Bush ke pesantren, dialog atau kunjungan para pemimpin Barat ke lembaga pendidikan Islam yang keberadaannya jauh lebih tua dari umur Republik Indonesia itu bisa saja menjadi "simbol" keinginan baik para pemimpin Barat untuk memperbaiki pemahaman mereka tentang pesantren dan Islam.

Pasalnya, pesantren, seperti dikatakan O'Hanlon (2006:16), menjadi lembaga pendidikan Islam yang disalahpahami banyak orang di negara-negara Barat, termasuk para pejabat pemerintah dan pekerja media, akibat keterlibatan segelintir orang yang pernah "mondok" di pesantren, seperti Amrozi dan Ali Ghufron, dalam aksi terorisme di Indonesia.



Keliru



Mantan Dubes AS untuk Indonesia, Paul Wolfowitz, termasuk di antara mereka yang menegaskan "pandangan politis" yang keliru tentang pesantren seperti tampak dalam kuliah umumnya di Lembaga Studi Diplomasi Universitas Georgetown tahun 2003.

Menurut mantan wakil menteri pertahanan yang kini presiden Bank Dunia itu, "apa yang diajarkan di pesantren bukanlah kegiatan belajar yang sebenarnya. Itu bukanlah alat untuk (membantu anak didik-red.) dapat menangani masalah-masalah dunia modern. Itu merupakan alat untuk mengubah mereka menjadi teroris" (Federal News Service, Washington, 2003).

Tidak diketahui bagaimana pandangan Presiden Bush sendiri tentang pesantren. Namun, dalam kampanye perang melawan terorisme, dia secara konsisten menegaskan bahwa itu bukanlah untuk perang terhadap Islam dan umat Islam, melainkan terhadap "mereka yang membajak Islam".

PM Balkenende sendiri, dalam dialognya dengan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah April lalu, menegaskan bahwa Islam bukanlah "bahaya", dan agama bukanlah pemisah, melainkan perekat umat manusia sehingga umat Kristiani dan Muslim di dunia hendaknya terus bekerjasama dengan lebih keras lagi.

"Tindakan yang menyakitkan saya kalau ada orang melihat satu agama, semisal Islam, sebagai sebuah bahaya. Islam bukanlah bahaya. Orang-orang yang menyalahgunakan (ajaran) Islam untuk menyebar teror, itulah bahaya," katanya.

Suka atau tidak suka, kesalahpahaman tentang agama yang kini dianut lebih dari 1,3 miliar orang itu sudah terjadi sejak lama, dan sejak insiden 11 September, kekeliruan pandangan itu cenderung semakin kuat padahal radikalisme dan terorisme yang dilakukan kelompok kecil di antara arus besar moderat umat beragama, termasuk Islam, tidak dengan sendirinya tumbuh.

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafii Ma'arif, berpendapat bahwa aksi terorisme baru dapat diredam jika terorisme yang disponsori negara dihentikan (Kompas, edisi 7 Desember 2004).

Pandangan Syafii ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Tb.Ronny Rahman Nitibaskara, dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) sehari setelah terjadinya serangan bunuh diri di luar Kedubes Australia di Jakarta 9 September 2004.

Menurut dia, akar penyebab tumbuhnya terorisme Islam ini tidak dapat dilepaskan dari arogansi Amerika dan sekutunya dalam pergaulan internasional (Kompas 10 September 2004).

Karena akar penyebabnya yang bersifat global ini, menurut Ronny, solusi atas masalah terorisme pun bersifat global. Jika AS dan sekutunya tidak menyadari hal ini, keberhasilan mereka menghancurkan apa yang mereka disebut 'teroris' itu hanya akan memicu lahirnya teroris-teroris baru, kata Ronny.

Dalam konteks ini, dialog antaragama dan antarbudaya dalam makna luas, termasuk kunjungan para pemimpin Barat ke pesantren dan berbincang dalam suasana santai dengan para pengelola dan santri, akan menumbuhkan benih-benih saling memahami dan mengurangi kesalahpahaman.

Kunjungan Presiden Bush ke Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang sejak 1998 dinilai telah menerapkan sistem demokrasi, diharapkan merupakan awal dari semangat AS membangun "kearifan" baru di tengah pertarungan kepentingan antarbangsa.

Amerika dan sekutunya yang selama ini berperan aktif dalam memerangi terorisme, termasuk melalui invasi dan agresi seperti yang telah mereka pertontonkan kepada publik dunia di Afghanistan dan Irak, agaknya dituntut mampu menunjukkan kearifan itu.

Karena sebagaimana pernah diingatkan sutradara kondang AS sendiri, Michael Moore: "Kalau ingin memerangi teroris, jangan jadi teroris".

*) dalam rangka kunjungan Bush ke Bogor 2006. Disiarkan ANTARA pada 11 Nov 06

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity