Saturday, December 29, 2007

MEMBANGUN "BUILDING BLOCK" HUBUNGAN AUSTRALIA-INDONESIA


Oleh Rahmad Nasution

Hubungan Indonesia dan Australia yang dibangun sejak 1949 belum terbebas dari sikap saling curiga di tingkat rakyat, kendati upaya pemerintah kedua negara mengikis faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dan kecurigaan terus dilakukan.

Upaya paling akhir Jakarta dan Canberra untuk menghilangkan kecurigaan di antara kedua bangsa dan negara bertetangga ini tercermin dalam perjanjian kerja sama keamanan yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda dan Menlu Alexander Downer di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 13 November lalu.

Setidaknya, kecenderungan masih kuatnya sikap saling curiga di antara rakyat kedua negara itu tergambar dari hasil survei 2006 The Lowy Institute tentang pendapat responden di Australia dan Indonesia mengenai hubungan kedua bangsa dan persepsi keduanya tentang persoalan keamanan dan kebijakan luar negeri serta persoalan-persoalan internasional lainnya.

Dalam survei yang berlangsung antara 19 Juni hingga 16 Juli 2006 itu, terungkap bahwa responden Australia tetap memandang Indonesia sebagai ancaman keamanan bagi negaranya, karena negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang secara geografis bertetangga langsung dengan Australia ini dipandang sebagai sumber terorisme dan negara yang masih dikontrol militer.

Bagi responden Indonesia, Australia merupakan negara yang suka ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia dan tetap berkeinginan untuk memisahkan Provinsi Papua dari Negara Kesatuan RI.

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari hasil survei yang menurut Harian Kompas, The Jakarta Post, dan beberapa suratkabar Indonesia lainnya sempat mengejutkan dan membuat khawatir kalangan akademisi, peneliti, pejabat dan mantan pejabat kedua negara yang hadir dalam diskusi dengan Ivan Cook dan Allan Gingell dari The Lowy Institute di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Jakarta, 21 November lalu itu?

Tetapi, tidakkah hasil survei lembaga kajian kebijakan internasional yang berbasis di Sydney ini sekadar menegaskan kembali realitas di seputar hubungan kedua bangsa yang sering naik turun dan dilukiskan kalangan akademisi Australia sebagai "the strange neighbors" dan "an arranged marriage" itu (Sulaiman, Sofyan, dan Smith 1998)?

Mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans bahkan pernah menegaskan perbedaan-perbedaan yang dimiliki kedua negara bertetangga ini.

Ia mengatakan, "tidak ada dua tetangga di belahan dunia mana pun yang berbeda sejarah, budaya, penduduk, bahasa, serta tradisi politik dan sosialnya seperti Australia dan Indonesia" (Ball dan Wilson 1991:1-4).

Persepsi rakyat Australia yang keliru tentang Indonesia karena tetap menganggapnya sebagai ancaman keamanan bagi negara benua berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa itu juga bukanlah hal baru.

Indonesianis terkemuka Australia, Harold Crouch, mengakui fakta ini dalam tulisan-tulisannya di mana sebagian orang Australia menempatkan Indonesia sebagai "negara yang paling ditakuti" (Sulaiman, Sofyan, dan Smith 1998:21).

Persepsi orang Australia tentang Indonesia yang "berbahaya" ini memang bukan tanpa dasar. Fakta empiris seperti serangkaian serangan teroris di Indonesia, terutama insiden bom Bali 2002 yang menewaskan 88 warganegara Australia, serangan bom mobil di depan gedung Kedutaan Besar Australia di Jakarta 2004 yang dianggap Menlu Alexander Downer sebagai sebuah pernyataan perang terhadap Canberra, serta insiden bom bunuh diri di Bali 2005, merupakan ancaman riil langsung yang ikut membentuk persepsi itu.

Selain itu, pemberitaan sebagian media massa Australia tentang Indonesia dan Dunia Islam yang cenderung menyudutkan Islam dan umat Islam karena menghubungkan pesantren, Islam dan umat Islam dengan pelaku aksi terorisme, serta beberapa kebijakan pemerintahan Perdana Menteri John Howard tentang keamanan regional, semakin memengaruhi persepsi publik negara jiran itu tentang Indonesia yang "berbahaya".

Dalam masalah hukum, persepsi pemerintah dan masyarakat Australia juga cenderung negatif terhadap Indonesia, seperti dapat dilihat dari masalah vonis 30 bulan penjara bagi Ketua Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Abu Bakar Ba'asyir, dan pembebasan dirinya dari LP Cipinang karena masa hukumannya itu habis pada 14 Juni lalu.

Baik pemerintah maupun media massa Australia justru melihat keputusan pengadilan terhadap Ba'asyir sebagai sebuah tindakan tidak adil bagi para korban insiden bom Bali 2002 dan Schapelle Corby, warga Australia yang tertangkap membawa 4,1 kg marijuana ke Indonesia melalui Bali, Oktober 2004, yang dijatuhi hukuman lebih tinggi oleh Pengadilan Negeri Denpasar.

Terkait dengan kebebasan Ba'asyir dari LP Cipinang Jakarta, 14 Juli lalu, Perdana Menteri Australia, John Howard, dan sejumlah orangtua yang kehilangan anaknya dalam insiden Bom Bali 2002 mengaku kecewa berat atas bebasnya pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin Solo itu.

"Saya ingin mereka mengerti, atas nama pemerintah dan dari saya, betapa amat-sangat kecewa dan menderitanya jutaan rakyat Australia atas bebasnya Abu Bakar Ba'asyir," kata Howard dalam acara Lateline di Stasiun Televisi ABC bertajuk "Indonesia Tolak Perpanjangan Hukuman Ba'asyir" 15 Juni lalu.

Wacana tentang kebijakan pemerintahan Howard tentang keamanan, seperti perlunya serangan mendahului (pre-emptive strike) dalam perang melawan terorisme, rencananya membeli rudal jarak jauh, dan pengumuman Canberra tentang zona keamanan maritim yang ditentang Malaysia, Selandia Baru dan Indonesia, juga memberi sumbangan bagi terbentuknya persepsi bahwa Indonesia adalah ancaman.

Di lain pihak, publik Indonesia pun memiliki persepsi yang relatif sama tentang Australia, terutama setelah Howard menggantikan posisi Paul Keating dalam pemerintahan.

Beberapa faktor penting yang turut membangun persepsi negatif sebagian orang Indonesia itu adalah pernyataan PM Howard tentang hasratnya untuk menjadi polisi di kawasan, kebijakan "pre-emptive strike" (menyerang negara lain) untuk menumpas ancaman terorisme, dan aksi berlebihan aparat keamanan Australia dalam menggeledah sejumlah rumah orang Indonesia di negara itu dalam operasi penumpasan terorisme.

Seterusnya, insiden surat Howard kepada mantan Presiden BJ Habibie terkait masalah Timor Timur, krisis diplomatik RI-Australia menyusul perubahan kebijakan Canberra tentang Timor Timur yang berakhir dengan terpisahnya teritori itu dari NKRI, kepemimpinan Australia dalam pasukan internasional di Timor Timur, dan keputusan Australia memberikan visa menetap sementara kepada puluhan pencari suaka politik dari Provinsi Papua, dipersepsi publik Indonesia sebagai dukungan Australia kepada gerakan separatis Papua.

Media massa kedua negara memainkan peranan yang besar dalam membentuk persepsi publik di masing-masing negara, seperti tampak dalam insiden "karikatur" yang dipicu oleh karikatur dalam Suratkabar "Rakyat Merdeka" Jakarta, namun dianggap publik Australia sebagai bentuk penghinaan terhadap PM John Howard dan Menlu Alexander Downer, menyusul keputusan Australia menampung 42 pencari suaka dari Papua itu.

Insiden karikatur itu berkembang sedemikian rupa setelah Suratkabar "The Australian" dalam edisi akhir pekannya membalas tindakan Rakyat Merdeka dengan menurunkan karikatur yang dipersepsi publik Indonesia sebagai penghinaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"People-to-people contact"

Kenyataan masih kuatnya sikap saling curiga di antara masyarakat Australia dan Indonesia sebagaimana ditunjukkan oleh hasil survei The Lowy Institute itu semakin meneguhkan pentingnya mengintensifkan "people-to-people contact" (hubungan antarrakyat) di segala bidang kehidupan.

Dalam kunjungan kerjanya ke Negara Bagian Northern Territory Juli lalu, Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, T.M.Hamzah Thayeb, menekankan pentingnya perluasan dan pengintensifan hubungan di tingkat rakyat, karena hal itu dapat menjadi apa yang disebutnya "building block" hubungan kedua negara kendati keduanya tidak dapat melepaskan diri dari permasalahan yang akan selalu ada.

"Hubungan 'people-to-people' ini sangat penting. Mereka merupakan 'the building block' hubungan kedua negara, termasuk mahasiswa dan wartawan," katanya ketika bertemu Wakil Pemimpin Redaksi "Northern Territory (NT) News", Mark Wilton, dan Redaktur NT News, Julian Ricci, di ruang pertemuan suratkabar paling berpengaruh di Darwin itu, 24 Juli lalu.

Diplomat senior yang pernah bertugas di Jenewa dan New York sebelum menempati posnya di Canberra menggantikan Imron Cotan yang kini sekretaris jenderal Deplu RI itu mengatakan, wartawan, mahasiswa, pengusaha dan segenap rakyat Australia dan Indonesia harus bergerak bersama untuk mendewasakan dan memperkuat persahabatan kedua bangsa.

"Kita (Australia dan Indonesia, red) dapat bergerak maju dengan bantuan semua orang ... Tentu kita harus memahami sensitivitas kedua belah pihak. Sekiranya masyarakat kita memahami hal itu, hubungan kedua negara dan bangsa dapat bergerak maju," katanya.

Bagi Indonesia, kedaulatan adalah masalah yang "sangat sensitif" dan tidak dapat ditawar-tawar. Masalah ini tampaknya, seperti diyakini Dubes Hamzah Thayeb, sudah disadari Pemerintah Australia setelah terjadinya insiden diplomatik akibat pemberian visa kepada 42 pencari suaka asal Papua itu.

"Tapi, yang sudah berlalu, sudahlah. Mari kedua belah pihak (Indonesia dan Australia) bersama-masa menatap masa depan hubungan. Jadi diterapkan saja apa yang sudah disepakati keduanya dalam 'Comprehensive Partnership' (Kemitraan Komprehensif). Dengan tejadinya insiden itu, saya harapkan kita bisa lebih dewasa dan dapat mengerti satu sama lain."

"Hubungan ini harus didewasakan terus." Perbedaan-perbedaan dari segi historis, sosial dan budaya yang sudah menjadi fakta tak terbantahkan dan membuat Australia sedikit berbeda dengan bangsa Asia, termasuk Indonesia, tidak menjadi penghalang bagi Indonesia untuk bekerja sama dengan Australia, kata Hamzah.

"Mari kita fokus saja pada isu-isu (yang menjadi kepentingan) bersama dan kita bekerja sama," katanya.

Jika China dan India sebagai dua raksasa Asia yang pernah terlibat konflik terbuka dalam masalah perbatasan saja justru semakin mendekat dan bertekad meningkatkan kerja sama saling menguntungkan di berbagai bidang bagi kesejahteraan rakyatnya, mengapa Australia dan Indonesia tidak?

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity