Saturday, December 29, 2007

BERIDULFITRI DI TENGAH BERSEMINYA BENIH EMPATI AUSTRALIA










Oleh Rahmad Nasution


Tak ada hingar-bingar mudik.
Tidak pula ada gema takbir di jalan-jalan. Tunjangan Hari Raya (THR) yang lazim dibayar perusahaan di Tanah Air kepada para pekerjanya pun tak lebih hanya angan di negeri seperti Australia.

Semua kesemarakan Idulfitri yang mewarnai
ruang publik di Tanah Air tak hadir di negara berpenduduk mayoritas Kristen yang toleran ini.

Namun, ribuan Mus
lim Indonesia di sana tidak lantas kehilangan semangat untuk mengisi malam datangnya Idulfitri dengan gema takbir memuji asma Allah SWT. Apa yang dilakukan belasan warga Muslim Indonesia di Canberra pada Jumat malam (12/10) mewakili semangat komunitas Muslim Indonesia di negara itu.

Bertempat di ruang Balai Kartini KBRI Canberra, mereka larut dalam lantunan takb
ir yang memuji kebesaran Allah SWT sejak selesai shalat Magrib hingga waktu Isya. Dipimpin Fauzan, mahasiswa Indonesia di Universitas Canberra, belasan orang jamaah khusyuk melantunkan takbir. "Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar ..."

"Kita melakukan takbir selepas Magrib. Setelah beberapa saat, kita berhenti untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk shalat Id esok pagi. Setelah itu, kita lanjutkan lagi acara takbiran setelah Isya," kata Ketua Panitia Ramadan KBRI Canberra, Imam As'ari.

Hanya saja, berbeda dengan kebiasaan di Tanah Air, gema takbir belasan warga Indonesia itu hanya terdengar sayup-sayup di luar karena pengeras suara hanya dipasang di dalam ruangan sesuai dengan aturan yang berlaku di Australia.


Baru pada pelaksanaan shalat Id Sabtu pagi di halaman kompleks KBRI Canberra, pihaknya dapat bertakbir
dengan pengeras suara terpasang di halaman luar tempat shalat Id dilakukan, kata Imam As'ari. Belasan warga Muslim Indonesia itu tidak sendirian mengisi Jumat malamnya dengan memuji kebesaran Allah karena para jamaah Masjid Canberra yang tak begitu jauh letaknya dari KBRI juga melakukan hal yang sama.

Para jemaah masjid yang dibangun Pemerintah Indon
esia bersama Malaysia dan Pakistan puluhan tahun lalu itu juga menyelenggarakan acara takbiran di dalam masjid.

Benih-benih toleransi Toleransi kelompok mayoritas di Australia terhadap umat Islam yang merayakan Idulfitri cukup terasa. Umar Farouk, warga Indonesia yang telah sekitar tujuh tahun menetap di Canberra, merasakan toleransi dan pengertian mereka itu.

"Kita tidak mengharapkan materi (THR). Kita cukup bahagia kalau mereka menunjukkan apresiasi mereka terhadap kita. Misalnya, istri saya yang kuliah ditawarkan 'off' (libur) sehari karena mereka tahu makna Idulfitri bagi umat Islam".

"Orang-orang Australia tahu perayaan Idulfitri sama maknanya seperti Natal bagi orang Kristen
atau Dewali bagi orang India. Nah mereka memberikan ucapan selamat dan menjabat tangan kita. Itu sudah dirasakan cukup," katanya. Sikap toleran warga Australia kepada orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan juga dirasakan beberapa warga Muslim Indonesia lainnya selama Ramadan.

Rudiansyah, mahasiswa program doktor bidang ilmu-ilmu molekuler dan mikrobial Universitas Queensland, misalnya, pernah dibuatkan teh manis hangat dan disuguhi biskuit oleh sejawat Australianya.
Saat itu, kata Rudiansyah, sejawatnya melihatnya tetap asyik menyelesaikan pekerjaan penelitian di laboratorium padahal waktu berbuka sudah hampir tiba.

"Empati dan toleransi yang pernah ditunjukkan Lynette Lambert itu juga saya rasakan dari beberapa yang lain, termasuk
supervisor saya, Prof. Mary J Garson," katanya.

Pengalaman yang menunjukkan toleransi warga Australia terhadap Muslim Indonesia juga pernah dialami Hendry Baikuni dan Rudi, dua mahasiswa doktoral Universitas Queensland.
Hendry yang sedang merampungkan disertasinya tentang topik penelitian "Mengembalikan Vegetasi Alami Lahan Bekas Tambang" itu mengatakan, supervisornya, Prof. David Hulligan, pernah tidak mau menyentuh kotak makan siangnya karena dia tahu dirinya berpuasa. Kisah itu terjadi saat Ramadan tahun 1995 yang jatuh pada sekitar Februari, bulan terpanas di Queensland.

"Saat itu musim panas dengan panas yang luar biasa. Saya diajak David ke sebuah lokasi tambang batubara di Queenslan
d Tengah. Dia yang menyetir mobil sedangkan saya duduk di sebelahnya."

"Saya tahu dia membawa kotak makan siang namun saya heran saja karena saat waktu makan siang tiba, dia tetap tidak menyentuh kotak itu. Lantas saya tanya kenapa dia tidak menyantap makanan bawaannya itu," kata Hendry.
Ia mengatakan tidak masalah jika ada orang di sekitarnya makan untuk meyakinkan Prof. David supaya mau menyantap makanannya. Dengan nada berkelakar, Hendry lantas berucap, "The more the temptation is, the more the reward will be (Semakin banyak godaan semakin besar pahala buat saya)."

Umumnya orang Australia dapat memahami situasi orang-orang di sekitarnya jika orang tersebut terbuka dan mau menj
elaskan mengapa mereka melakukan sesuatu yang tampak berbeda dari kebiasaan orang-orang Australia. Hendry mengatakan, ia menjelaskan bahwa persoalan tidak makan dan tidak minum saat puasa sebenarnya sekadar "mengubah waktu makan" dan mengurangi aktivitas fisik sehingga ada cukup tenaga untuk melakukan kegiatan dari pagi hingga sore setiap hari.

Selama diberikan penjelasan logis, mereka dapat memahaminya. Di Australia, terdapat satu aturan dasar yang harus dipahami dan dipatuhui siapa pun.
Aturan dasar itu adalah "Selama anda tidak mengganggu keyamanan dan keamanan orang lain, maka tidak ada masalah," katanya.
Pendapat Hendry itu diamini Rudi, mahasiswa doktoral Universitas Queensland yang pernah bekerja di beberapa perusahaan manufaktur aluminium di Queensland.
Menurut dia, memberikan penjelasan yang benar dan logis kepada orang-orang yang bertanya merupakan kunci sukses lain untuk mendapatkan penerimaan lingkungan.

"Rekan-rekan kerja saya sering bertanya tentang puasa, seperti mengapa tidak makan dan minum di siang hari. Setelah saya jelaskan, mereka akhirnya tidak lagi pernah mengajak saya makan siang bersama selama Ramadan."


"Nah ketika saya bilang bahwa Muslim memerlukan ruang untuk tempat shalat, pihak manajemen di perusahaan saya lantas menyediakan ruangan untuk shalat yang memadai dan bersih," katanya.


Kesertaan Howard


Benih-be
nih empati dan upaya membangun toleransi terhadap Muslim di Australia itu juga ditunjukkan Perdana Menteri John Howard. Bahkan dalam menyambut akhir Ramadan dan Idulfitri, Howard menyempatkan diri untuk ikut menyampaikan selamat Idulfitri kepada sekitar 300 ribu umat Islam di negaranya.

Dalam suratnya yang dimuat Majalah "Muslims Australia" Edisi II Ramadan (Oktober 2007), ia menyebut Idulfitri sebagai perayaan penting dalam Islam yang menandai berakhirnya bulan suci Ramadan. Dalam pesan Idulfitrinya itu, Howard kembali menegaskan komitmen pemerintahnya untuk membangun masyarakat Australia yang modern, plural, dan menjunjung tinggi toleransi dan nilai kasih bagi sesama. "Tahun ini, Idulfitri dirayakan ratusan juta orang di banyak negara di dunia. Perayaan ini adalah refleksi menggembirakan dari masyarakat Australia yang plural dan dinamis, khususnya di kalangan Muslim Australia," katanya.

Orang-orang dari berbagai belahan dunia menyebut Australia "rumah" mereka. Kedatangan mereka dengan membawa serta budaya, keyakinan agama, dan tradisi keluarga, turut memperkaya masyarakat Australia yang terus tumbuh, katanya.
Howard, yang sebelum Natal tahun ini menghadapi Pemilu Federal terberat dalam sejarah karir politiknya karena mendapat saingan berat dari pemimpin oposisi Kevin Rudd, mengingatkan pentingnya seluruh rakyat Australia memelihara "komitmen utama" mereka.

Komitmen utama itu adalah bagaimana membangun tumbuhnya "satu bangsa yang dipersatukan oleh nilai-nilai bersama, seperti toleransi, saling menghormati dan perasaan kasih kepada orang-orang yang memerlukan bantuan, serta ikut membangun dan memperkuat negara (Australia)", katanya.
Semua elemen yang ada dalam masyarakat Australia bebas menjadi peserta aktif dan setara dalam ikut membangun bangsa, katanya.

Selain Howard, beberapa pemimpin negara bagian di Australia juga menyampaikan pesan yang sama di majalah milik Federasi Dewan Islam Australia (AFIC) itu.


Mereka adalah Chief Minister Australian Capital Territory (ACT) Jon Stanhope, Kepala Pemerintahan (Premier) Australia Selatan Mike Rann, Premier Australia Barat Alan Carpenter, Premier New South Wales Morris Iemma dan Premier Queensland Anna Bligh.


Sebenarnya kehadiran Islam di Australia sudah mengakar jauh dalam sejarah negara itu, karena umat Islam sudah ada sejak tahun 1860 ketika para penunggang unta asal Afghanistan dipekerjakan dalam ekspedisi keluarga Burke dan Wills.


Di Australia Barat misalnya, terdapat 24.000 orang Muslim yang tinggal dan bekerja di negara bagian itu.
Premier Australia Barat Alan Carpenter MLA menyebut masjid paling pertama dibangun di Australia justru berada di Perth. Sejak masjid pertama yang didirikan tahun 1905 untuk menampung jamaah Muslim Afghanistan yang bekerja sebagai penunggang unta dan Muslim India yang bekerja sebagai pengusaha, kini terdapat setidaknya 10 masjid di Perth.

"Umat Islam terus memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan sosial, ekonomi, dan politik Australia Barat. Sangat penting bagi kami mengakui dan menilai positif kontribusi komunitas Muslim," katanya.


"Bersama-sama pemerintah dan seluruh warga Australia Barat lainnya, (komunitas Muslim) terus membangun lingkungan dimana semua orang dapat berpartisipasi di dalam masyarakat sebagai warga yang aktif sembari tetap mengakui hak kami untuk berbeda," katanya.


Pesan Idul Fitri Howard dan Carpenter kepada umat Islam di Australia itu sejalan dengan makna hakiki Idul Fitri itu sendiri, yakni kembali sucinya diri setiap Muslim.


Mengapa demikian? Karena, seperti kata Ketua Pengurus Wilayah Nadhlatul Ulama (NU) Jawa Timur Dr. Ali Maschan Musa, "Puasa, Ramadan telah mengantarkan umat Islam menjadi Muslim yang benar," katanya.


Dan, makna Islam sesungguhnya memang "menyelamatkan", sehingga dimanapun dan kapanpun orang Islam selalu menyelamatkan sesamanya dan semesta alam, kata Ali.


*) disiarkan ANTARA pada 12 Oktober 2007







No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity