Saturday, December 29, 2007

"IRAWADY JOENOES", RAMADHAN DAN HARAPAN BARU PEMBERANTASAN KORUPSI


Oleh Rahmad Nasution

Korupsi tidak mengenal ruang dan waktu. Di Bulan Suci Ramadhan yang agung sekalipun tetap saja ada orang yang melakukan tindak kejahatan itu.

Setidaknya, itulah yang dirasakan publik Indonesia ketika memasuki hari ke-14 Ramadhan pada 26 September 2007, mereka dikejutkan oleh pemberitaan tentang penangkapan anggota Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes.

Tersangka tertangkap tangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menerima uang suap senilai Rp600 juta dan 30 ribu dolar AS dalam pengadaan tanah untuk gedung KY.

Irawady Joenoes ditangkap bersama Direktur PT Persada Sembada, Freddy Santoso, pemilik dan penjual tanah seluas 5.720 meter persegi di Jalan Kramat Raya No.57, Jakarta Pusat, yang dijual kepada KY, di sebuah rumah di kawasan Panglima Polim, Jakarta Selatan.

Kasus Irawady menegaskan bahwa belum tampak perubahan yang signifikan dalam perang melawan korupsi di kalangan umat Islam sejak Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid (alm) menorehkan tulisannya berjudul "Ramadhan Tanpa Korupsi" di Harian Kompas 31 Oktober 2003.

Sudah empat Ramadhan berlalu sejak Nurcholish mengingatkan kaum Muslimin Indonesia untuk menjadikan Ramadhan momentum yang baik guna merenungkan praktik korupsi yang telah membelit kehidupan bangsa dan dilakukan secara telanjang. Namun praktik korupsi tetap berlanjut di negeri ini.

Kembali ke kasus penangkapan Irawady. Mengingat rekam jejaknya yang bersih sebagai jaksa sebelum menjadi anggota KY terbukti dari tiga tanda jasa dari negara yang diterimanya, termasuk 30 tahun mengabdi tanpa catat, tidak sedikit warga Indonesia di Australia yang terkejut dengan penangkapan dirinya.

Di antara mereka yang terkejut itu adalah Hidayat Amir, mahasiswa program doktoral bidang ekonomi Universitas Queensland (UQ).

Amir mengatakan, ia sempat terkejut membaca berita-berita di media online nasional tentang penangkapan Irawady di usia senjanya mengingat selama ini reputasi dirinya cukup baik.

Namun, terlepas dari unsur kesalahan yang dituduhkan kepadanya yang masih harus dibuktikan di pengadilan, ia melihat kasus anggota KY ini justru memunculkan sisi optimisme karena secara kelembagaan, kasus Irawady "menghancurkan arogansi" Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga negara yang selama ini seakan tidak tersentuh hukum.

"Kasus Irawady ini setidaknya menghancurkan arogansi MA yang selama ini diaudit saja pun tidak bisa. Nah, kini tidak ada yang benar-benar 'super power' (adidaya). Harus ada 'check and balance'. Bagaimana pun KY adalah lembaga yang setara dengan MA," katanya.

Kasus dugaan suap yang melibatkan anggota KY ini juga menunjukkan prestasi KPK dalam membersihkan para pejabat publik dari tindak pidana korupsi.

Selain itu, kasus ini juga menjadi pelajaran bagi para pejabat publik yang masih berusia muda dan sedang membangun karir dengan rekam jejak yang baik supaya mereka tidak merusak reputasi yang sudah mereka bangun dengan baik dan susah payah gara-gara tergelincir ke dalam kasus korupsi di usia tuanya, kata Amir.

Sependapat dengan Amir, mantan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA) Sitti Maesuri mengatakan, pembongkaran kasus-kasus korupsi di Tanah Air menumbuhkan optimisme.

Hanya saja, membangun lapisan generasi baru yang terbebas dari penyakit budaya korupsi yang kronis justru lebih baik daripada sekadar menangisi kondisi koruptif yang tak kunjung berhenti di Tanah Air.

Sitti berpandangan, betapa pentingnya generasi muda Indonesia sejak dini diselamatkan dari bahaya budaya korupsi dengan membersihkan praktik-praktik korupsi dari lingkungan sekolah terlebih dahulu.

"Korupsi ada di mana-mana. Berita tersebar di mana-mana. Pelaku juga ada di mana-mana. Teman saya dari sekitar lima kabupaten yang berbeda di Sulawesi Selatan juga melaporkan fenomena korupsi di sekolah. Sungguh menyayat hati," kata kandidat doktor bidang pendidikan UQ itu.

Ia melihat korupsi merupakan sebuah konteks yang nyata di Indonesia dan berada di sekeliling kehidupan anak-anak didik namun karena mereka kurang peka, seakan-akan mereka tidak atau belum merasakannya.

Kepekaan itulah yang perlu dimunculkan dan dikembangkan secara edukatif kepada para siswa dengan menumbuhkan cara berfikir kritis.

Dengan demikian, mereka bisa peka terhadap tingkat korupsi yang ada di sekitar mereka, seperti mengapa tembok gedung yang baru dibangun dengan biaya miliaran rupiah sudah pada retak dan roboh, atau mengapa seorang kondektur bus dengan enaknya memberi potongan ongkos namun tanpa memberi tiket kepada para penumpang yang tidak naik dari terminal, katanya.

"Saya pesimis bila negara kita bisa meniadakan korupsi. Tapi saya masih bisa optimis beberapa persen dari anak-anak Indonesia bisa bebas seratus persen dari korupsi."

Pengembangan perangkat pembelajaran dalam proyek CTL (Contekstual teaching and learning) dalam konteks mempersiapkan anak supaya bisa terhindar dari virus korupsi menjadi semakin penting, katanya.

Dalam pengajaran matematika misalnya, guru sebenarnya bisa mengaitkannya dengan upaya penumbuhan sikap kritis anak didik terhadap kondisi di sekitar lingkungan mereka, termasuk masalah korupsi.

Dalam konteks ini, para pendidik bisa membuat para siswanya memahami apa itu korupsi (mana contoh dan mana yang bukan contoh), bagaimana dampaknya dengan memfasilitasi mereka dengan kemampuan melakukan investigasi, serta strategi apa yang dapat dipakai untuk menghindari korupsi, kata Sitti.

Kontrol internal

Bagaimana pendapat warga Indonesia yang menekuni riset masalah korupsi setelah melihat kasus dugaan suap yang menimpa anggota KY, Irawady Joenoes?

Roby Arya Brata SH LLM MPP, dosen tamu bidang HAM dan politik Universitas Sydney yang tengah merampungkan studi doktoralnya di bidang kebijakan publik Universitas Nasional Australia (ANU), kasus dugaan suap yang menimpa Irawady Joenoes masih harus dibuktikan di pengadilan.

Namun, kalau nantinya terbukti, selain kasus ini sangat ironis dan membuktikan belum berjalannya budaya antikorupsi dan mekanisme kontrol internal yang efektif di lingkungan KY, kasus ini juga menunjukkan masih sangat lemahnya efek jera penegakan hukum antikorupsi di Indonesia.

"Upaya represif penegakan hukum yang gencar dilakukan selama ini ternyata tidak mampu mencegah potential 'offender' untuk melakukan korupsi. Ironisnya, justru korupsi itu dilakukan oleh anggota Komisi Yudisial, suatu lembaga yang terhormat yang kita harapkan mampu menjaga perilaku dan kehormatan hakim dan mencegah korupsi peradilan," katanya.

Dalam pandangan Roby, tidak efektifnya efek jera tersebut disebabkan oleh masih lemahnya mekanisme deteksi, investigasi, dan ajudikasi kejahatan korupsi.

"Buktinya, pemberantasan korupsi masih dilakukan dengan tebang pilih. Adanya beberapa koruptor yang dibebaskan atau pun kalau terbukti, hukuman yang diberikan jauh lebih ringan dari kejahatan yg dilakukan, dikeluarkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dalam kasus tertentu, dan perlakuan yang diskriminatif terhadap koruptor tertentu di penjara," katanya.

Roby yang juga dosen tamu ANU untuk bidang studi korupsi dan antikorupsi itu selanjutnya menengarai bahwa kejahatan korupsi itu bersifat kalkulasi ekonomi. Artinya, sang koruptor akan melakukan kalkulasi ekonomi secara rasional sebelum melakukan kejahatannya.

"Apabila ia berpikir 'benefit' (keuntungan), seperti hasil uang atau kekayaan hasil korupsi, yang akan dia peroleh jauh lebih besar dari cost (biaya) yang akan dia tanggung, seperti kemungkinan dibebaskan, dihukum ringan atau dilakukannya manipulasi dan distorsi terhadap proses hukum, maka dia akan cenderung melakukan kejahatan korupsi itu."

"Jadi yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengurangi seminimal mungkin 'benefit' itu, dan sebaliknya meningkatkan 'cost' dari perbuatan korupsi," katanya.

Selain itu, perlu pula diperbaiki sistem rekrutmen para pejabat publik di Tanah Air, terutama mereka yang akan duduk di komisi atau lembaga strategis yang berperan langsung dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, katanya.

"Sebaiknya pejabat-pejabat pada lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan KY tidak berasal dari institusi yang praktik dan budaya korupsinya sudah kronik dan sistemik. Pejabat yang berasal dari institusi semacam itu terutama pejabat eselon I dan II sangat mungkin pernah terlibat dalam praktik korupsi. Karena, dalam organisasi birokrasi dimana korupsinya sudah sistemik dan praktik korupsi merupakan hal yang 'biasa' sulit bagi seseorang yang baik sekali pun untuk menghindar dari praktik korupsi."

Akibatnya, jika orang bersangkutan diangkat menjadi pejabat pada suatu lembaga atau komisi (pemberantasan korupsi), dia tidak akan efektif menjalankan fungsinya karena mengalami hambatan psikologis dan tersandera dengan kasus korupsi yang pernah dilakukannya.

"Dia tidak akan mampu mengungkap kasus korupsi yang melibatkan pejabat dari institusi dari mana dia berasal, karena ia 'terikat' pada apa yang disebut 'conduct of silence' untuk saling menutupi kejahatannya," kata Roby.

Dalam kasus korupsi atau suap, biasanya kejahatan tersebut melibatkan dua pihak. Dengan demikian, "good governance" (pemerintahan yang bersih) dan efek jera sangat penting dilakukan pada "supply side of corruption" (pejabat dan organisasi yang disuap-red.) serta pada "demand side of corruption"(organisasi atau perusahaan penyuap-red.), katanya.,

"Pada sisi supply, kasus KY menunjukan belum berjalannya budaya antikorupsi dan mekanisme internal control yang efektif. Karena itu perlu dibuat dan diimplementasikan dengan tegas kode etik antikorupsi dan mekanisme kontrol internal dalam organisasi KY. Pada sisi demand, perusahaan penyuap perlu dimasukan daftar hitam dan dalam waktu tertentu dilarang mengikuti sebagai peserta tender dalam proyek pemerintah," katanya.

Mentransformasi nilai Ramadhan

Terlepas dari terbukti tidaknya kebenaran di balik tuduhan KPK terhadap Irawady Joenoes, mengapa di Indonesia yang mayoritas Muslim dan setiap tahun dikaruniai Allah SWT Bulan Suci Ramadhan, namun praktik korupsi tetap tak kunjung berubah?

Apa yang diutarakan Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang juga mahasiswa program doktoral UQ, Akhmad Muzakki, mungkin bisa sedikit menguak alasan di balik fenomena itu.

Muzakki menengarai bahwa ketidakmampuan Umat Islam Indonesia mentransformasi nilai-nilai ibadah puasa Ramadhan, seperti menjaga kejujuran dan kredibilitas pribadi di mata manusia dan Tuhan, ke dalam praktik keseharian serta menjadikannya bagian dari sistim publik merupakan salah satu faktor penting.

Menurut dia, jika transformasi nilai-nilai itu mampu dilakukan secara konsisten, niscaya, setelah Ramadhan usai, makna penggemblengan spiritualitas selama sebulan itu tetap dapat dirasakan misalnya dalam pemberantasan korupsi dan peningkatan mutu pelayanan publik.

"Ramadhan sangat mengajarkan kaum Muslimin untuk menjaga kejujuran dan tidak melakukan pembohongan publik dan pengabaian akuntabilitas. Sebuah Hadist Qudsi menyebutkan bahwa puasa itu adalah untuk-Ku (kata Allah SWT) dan hanya Aku (Allah SWT) yang akan mengganjarnya," kata Akhmad Muzakki.

Hadist tersebut menegaskan kemuliaan Ramadhan bagi Allah SWT. Jika ibadah haji hanya diwajibkan kepada orang-orang yang mampu, ibadah puasa justru "tidak mengenal kelas dan sangat individual".

Nilai-nilai kejujuran sangat ditonjolkan karena sekalipun seseorang mengaku puasa kepada publik, sesungguhnya tidak seorang pun tahu bahwa dia benar-benar tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hal-hal lain yang membatalkan puasanya.

"Artinya Ramadhan itu mengajarkan kepada kita untuk menjaga kejujuran kepada manusia dan Tuhan karena tidak ada yang bisa mengontrol praktik puasa kita. Hanya saja prinsip ini belum menjadi semangat praktik keseharian kita. Di sinilah ironisnya. Akuntabilitas publik masih menjadi barang langka dan korupsi terjadi di mana-mana," katanya.

Seharusnya indeks kesalehan pribadi simetris dengan indeks kesalehan publik masyarakat Muslim di mana pun, termasuk Indonesia yang penduduk Muslimnya terbesar di dunia.

"Dibandingkan dengan negara-negara non Muslim, tingkat kesalehan publiknya yang didasarkan pada 'trust' (kepercayaan) justru relatif kuat. Trust ini tidak terjadi kalau tidak ada praktik kejujuran publik dan akuntabilitas publik. Di Australia misalnya, prinsip kejujuran ditransfer menjadi mekanisme publik dan kebijakan publik," katanya.

Hanya saja, semangat Ramadhan di Indonesia agaknya masih sebatas "sebuah proses awal" karena meningkatnya religiositas kaum Muslimin Indonesia sepanjang satu bulan penuh tidak serta merta menggerakkan proses penciptaan kehidupan publik yang lebih sehat.

Ramadhan masih ditangkap sebagai bagian dari sebuah simbol keIslaman sehingga, bagi stasiun televisi, misalnya, bulan suci ini dianggap sekadar sebagai peluang pasar karena apa pun yang bersinggungan dengan Islam dan Ramadhan pasti laku, mulai dari sinetron, komedi hingga infoteinment.

"Sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah kalau kita sadar bahwa ini hanya bagian dari proses awal saja. Tapi ini akan menjadi paradoks yang ironis kalau kemudian menjadi titik akhir dari perjalanan masyarakat kita. Seharusnya langkah berikut yang harus dilakukan adalah bagaimana menjadikan kekuatan spritual ini energi bagi penciptaan kehidupan publik yang lebih sehat," katanya.

Dalam hal ini, simpul-simpul kekuatan keluarga dapat menjadi penggerak proses penciptaan kehidupan publik yang lebih sehat ini. Selain itu, kekuatan media dan pemerintah tentu juga sangat berperan dalam mengawal pergerakan perjalanan sosial dan politik yang diinginkan.

Seterusnya, bagaimana semangat Ramadhan itu bisa ditransfer menjadi sistem yang dibentuk mengingat seseorang terkadang berbuat jahat karena tidak adanya mekanisme kontrol atau kalau pun ada, penerapan mekanisme kontrol itu lemah.

Berbeda dengan di negara-negara maju, rakyatnya bisa berprilaku relatif baik, berdisiplin, dan jujur karena sistim yang mereka bangun ditegakkan dan berjalan, kata Akhmad Muzakki.

Ramadhan 1428 Hijriah segera meninggalkan umat Islam Indonesia untuk kembali lagi tahun depan.

Namun apakah dalam setiap Ramadhan spiritualitas Muslim Indonesia secara pribadi dan sosial akan terus meningkat dan berdampak positif terhadap kebersihan jiwa mereka, mungkin salah satu indikator yang bisa menjadi ukurannya adalah terperbaikinya IPK negara ini.

Dengan tertransformasikannya nilai-nilai Ramadhan menjadi bagian dari sistim publik, mungkin apa yang diingatkan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW-NU) Jawa Timur, Dr. Ali Maschan Musa, saat melakukan Safari Ramadhan di Brisbane bahwa "keimanan seseorang itu naik turun" akan bisa dipagari.

*) disiarkan ANTARA pada 4 Oktober 2007

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity