Bulan September dan Oktober 2007 tercatat sebagai masa gegap gempita perpolitikan nasional karena kendati Pemilu Presiden RI masih dua tahun lagi, bursa para calon presiden (Capres) sudah mencuat ke ranah publik.
Diawali dengan pernyataan Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri untuk kembali bersaing tahun 2009 beberapa saat sebelum ia menutup Rakornas PDIP di Jakarta 10 September malam, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pun mendeklarasikan hal yang sama pada 1 Oktober.
Deklarasi kedua tokoh itu menggelinding bak "bola salju" yang mengusik orang-orang untuk berkomentar, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla (JK).
Kedua pemimpin ini bertekad mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di sisa periode mandat rakyat yang mereka terima, daripada terburu-buru bersikap seperti Megawati dan Sutiyoso.
Presiden SBY sendiri menilai terlalu dini untuk menyatakan sikap politiknya saat ini mengingat masih banyaknya pekerjaan untuk rakyat yang harus diselesaikan hingga 2009.
Dalam bahasa pendiri Partai Demokrat yang menargetkan 15 persen perolehan suara pada Pemilu 2009 itu, pada saatnya nanti ia akan menyampaikan posisinya pada waktu yang tepat kendati bisa saja ia akan ikut kembali berkompetisi atau bisa juga tidak ikut.
Hasil kajian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Dr.Denny JA mendapati adanya perubahan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan SBY-JK secara signifikan.
Publik tampaknya berkeinginan mencari sosok pemimpin baru sebagaimana tercermin dari hasil survei LSI terbaru yang menunjukkan menurunnya tingkat kepuasan publik terhadap kepempimpinan SBY-JK dari 80 persen ketika mereka dilantik sebagai presiden dan wakil presiden RI pada Oktober 2004 menjadi sekitar 35,3 persen pada September 2007.
Berbeda dari persepsi dalam negeri yang memberikan "lampu merah" bagi SBY, sebenarnya bagaimana peluang dirinya dalam Pemilu Presiden 2009 menurut perspektif Indonesianis di Australia?
Setidaknya bagi Ken Ward, peneliti senior tentang Indonesia di Lembaga Kajian Kebijakan Publik "Lowy Institute" di Sydney, kendati pasangan SBY-JK masih berpeluang besar untuk terpilih kembali sebagai presiden dan wakil presiden RI pada Pemilu 2009 kendati popularitas mereka cenderung menurun.
"Presiden Yudhoyono berprospek baik untuk terpilih kembali pada 2009. Beliau kemungkinan tetap memilih Jusuf Kalla sebagai pasangannya," katanya dalam laporan hasil kajiannya bertajuk "Dealing with a Democratic Indonesia: The Yudhoyono Years" yang dipublikasi Institut Lowy April 2007 lalu.
Menurut analis politik yang sudah 20 kali mengunjungi Indonesia itu, perkiraannya tentang kemenangan SBY pada Pemilihan Presiden 2009 itu antara lain didasarkan pada asumsi bahwa JK sendiri tidak akan mencalonkan diri sebagai kandidat dan dia tidak sepopuler Yudhoyono.
"Kalla sendiri telah menepis ambisinya menjadi presiden atas dasar bahwa dia tidak dapat bersaing dengan Susilo Bambang Yudhoyono karena dia bukan orang Jawa. Faktanya, jajak pendapat tidak mendukung pandangan bahwa hanya orang Jawa yang dapat menjadi presiden terpilih. Alasan yang lebih jelas adalah Jusuf Kalla tidak sepopuler SBY," katanya.
Sekiranya, JK berani mencalonkan diri sebagai Capres pada 2009, hal itu justru menjadi taruhan yang berbahaya karena dia akan dengan mudah dianggap "tidak setia atau oportunis", kata akademisi Australia yang kini bekerja sebagai konsultan masalah terorisme dan politik Asia Tenggara itu.
Para politisi senior seperti Megawati Soekarnoputri dan Jenderal (Purn) Wiranto pun diragukan kemampuannya untuk menyaingi pasangan SBY-JK sehingga "ditantang oleh muka-muka lama seperti ini, SBY-JK tidak punya kekhawatiran yang besar."
Selain itu, dalam dua tahun mendatang, kecil kemungkinan muncul para pemimpin baru di Indonesia yang memiliki prospek besar untuk memenangkan Pemilihan Presiden 2009, kata Ward yang pernah menjadi analis senior tentang Indonesia di Kantor Asesmen Nasional (ANA) Australia selama delapan tahun sejak 1996 itu.
Nasionalis di mata Australia
Kelebihan lain Presiden Yudhoyono adalah bahwa dia tetap seorang nasionalis sebagaimana telah ia tunjukkan kepada Australia dalam kasus pemberian visa menetap sementara bagi 42 pencari suaka asal Papua pada 2006 namun "memiliki hubungan personal yang mudah dengan para pemimpin Barat", katanya.
Tentang kondisi Indonesia selama masa kepemimpinan SBY-JK, Ward berpendapat, negara demokratis berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini masih menghadapi sejumlah masalah pembangunan yang parah seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
"Kendati Indonesia telah mencapai dasar-dasar ekonomi makro yang kuat, tapi belum tampak bahwa Indonesia yang demokratis ini sudah dapat mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti di era Soeharto," katanya
"Lebih dari itu, belum juga jelas apakah program desentralisasi yang telah diterapkan beberapa tahun terakhir ini akan dapat mempercepat atau justru memperlambat pertumbuhan ekonomi," katanya.
Datangnya bencana alam dan kecelakaan transportasi yang bertubi-tubi dengan jumlah korban yang tinggi semakin menunjukkan "betapa Indonesia itu negara yang tidak mudah dikelola", katanya.
Bagi Australia, kata Ward, pemahamannya terhadap Indonesia yang semakin kompleks perkembangannya ini harus tetap besar walaupun di tengah dinamika Indonesia yang meninggi, jumlah orang Australia yang tertarik pada studi tentang Indonesia justru semakin menurun dibandingkan di masa lalu.
Seperti dicatat Ken Ward bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di era kepemimpinan SBY-JK belum dapat kembali ke tingkat pencapaian pemerintahan Orde Baru sebelum krisis moneter, ekonom senior Universitas Nasional Australia (ANU), Chris Manning, pun sempat pesimis atas kinerja ekonomi pemerintah pasca perombakan kabinet (Reshuffle) terbatas 7 Mei 2007.
Manning berpandangan "reshuffel" terbatas Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang praktis tidak menyentuh para menteri ekonomi itu akan menyulitkan Presiden SBY mencapai target-target kesejahteraan pemerintahannya dalam sekitar dua tahun sisa masa mandatnya.
"Perubahan-perubahan yang tidak dibuatnya menunjukkan beliau (Presiden Yudhoyono) masih sangat ekstra hati-hati dalam pendekatannya untuk mereformasi sektor ekonomi," kata Chris Manning, PhD.
Ketua Proyek Indonesia pada Divisi Ekonomi Sekolah Riset Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) ANU itu khawatir Presiden Yudhoyono akan mendapatkan masalah dalam mencapai target-target kesejahteraan pemerintahannya dengan pendekatannya "yang masih sangat ekstra hati-hati untuk mereformasi sektor ekonomi."
Pendekatan SBY yang cenderung "sangat berhati-hati" dalam menjawab berbagai permasalahan di Tanah Air tidak hanya dilihat oleh analis Australia, pengamat politik di dalam negeri pun sudah sering menggarisbawahi sikap "indecisiveness" (tidak tegas) SBY sebagai persoalan yang inheren dalam diri pemimpin ini.
Dalam banyak kasus yang mengancam keselamatan diri warga negara Indonesia yang bekerja, berlibur, maupun yang menjalankan tugas kenegaraan di Malaysia, seperti kasus pemukulan empat orang polisi Diraja Malaysia terhadap wasit karateka Indonesia, Donald Luther Colopita, dan pemerkosaan 12 warga Malaysia terhadap seorang tenaga kerja wanita Indonesia, diplomasi pemerintahan SBY terlihat "lemah" menghadapi negeri jiran itu.
"Simpul dari semua sangat lemahnya diplomasi RI di mata Malaysia itu adalah tidak terlihatnya sikap tegas pemerintah yang, jika dilihat lebih jauh, dipicu oleh sikap 'indecisive' (tidak tegas) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata Akhmad Muzakki, pengamat politik Islam yang juga kandidat doktor Universitas Queensland (UQ).
Jauh sebelum LSI mengumumkan merosotnya tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan SBY-JK, sebenarnya hasil survei Pusat Studi Demokrasi dan HAM di 16 provinsi pada September 2006 sudah menunjukkan kecenderungan itu.
Kacung Marijan, analis politik Universitas Airlangga yang pernah menjadi peneliti tamu pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial ANU, mengatakan, akar persoalan dari anjloknya tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan SBY-JK tersebut terletak pada kepemimpinan mereka berdua serta belum mampunya birokrasi melaksanakan segala kebijakan yang telah diputuskan secara memuaskan.
"Sebabnya antara lain adalah naiknya harga pupuk yang sangat dirasakan para petani kita, serta angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi," katanya.
Dalam pandangan Kacung Marijan, permasalahan lain di seputar kepemimpinan SBY-JK adalah belum terlihatnya kemampuan kedua pemimpin ini menjadi "dirijen" yang baik sehingga mereka mampu mengoordinasikan birokrasi negara yang masih dilanda penyakit "departemental".
Dalam logika demokrasi yang rasional, para pemilih akan sangat memperhatikan kinerja pemerintah ketika mereka akan menjatuhkan pilihannya nanti pada Pemilu 2009.
"Jika kinerja pemerintah bagus, ya akan dipilih lagi. Namun jika tidak bagus, tidak lagi dipilih," katanya.
Kegagalan pemerintah dalam memperbaiki kinerjanya yang manfaatnya harus dapat dirasakan langsung oleh masyarakat banyak akan meningkatkan jumlah orang yang tidak memilih dalam Pemilu (golput) dan mengakibatkan rakyat semakin frustrasi, katanya.
Mandat yang diberikan rakyat kepada SBY-JK pada Oktober 2004 masih tersisa dua tahun lagi. Seharusnya, terlepas dari apakah mereka masih bersatu atau berpisah menjelang beberapa bulan akhir masa kepemimpinan mereka nantinya, mereka benar-benar mengisi sisa mandat rakyat itu dengan pencapaian pembangunan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan keamanan yang bisa dirasakan rakyat banyak jika mereka tidak ingin menjadi "korban" penghakiman rakyat.
Presiden Yudhoyono masih memiliki waktu dan harapan sebagaimana yang pada hari Sabtu (6/10) diingatkannya kepada para kader Partai Demokrat tentang betapa pentingnya menyukseskan program "prorakyat" yang dicanangkan pemerintah dengan alokasi anggaran yang besar.
*) dipublikasi ANTARA pada 7 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment