Saturday, December 29, 2007

AUSTRALIA, IRAN, DAN TIMUR TENGAH






Oleh Rahmad Nasution


Program nuklir Iran mengundang tekanan kuat Amerika Serikat (AS) dan sekutu Barat-nya karena mereka menuding program tersebut bukan bertujuan damai tetapi sekadar kedok untuk mengembangkan senjata nuklir.

Namun, tekanan bertubi-tubi kubu AS dan sekutu Barat-nya itu tidak lantas menyurutkan semangat Presiden Mahmoud Ahmadinejad untuk terus membela hak rakyatnya guna menguasai teknologi nuklir untuk tujuan damai.

Hanya saja, suara-suara yang menginginkan adanya "penghukuman" langsung melalui serangan militer atas Iran semakin nyaring saja belakangan ini.

Setidaknya apa yang dilaporkan majalah Newsweek September lalu bahwa Wakil Presiden Dick Cheney pernah mempertimbangkan untuk meminta Israel melancarkan serangan rudal terbatas terhadap satu lokasi nuklir Iran guna memancing aksi pembalasan Iran sehingga jika pecah perang di antara keduanya, AS menjadikannya alasan untuk terlibat membuktikan adanya keinginan untuk menghukum negara Mullah itu secara militer.

Seandainya di sisa masa pemerintahannya, Presiden George W.Bush jadi mengumbar perang atas Iran, negara yang sejak 2002 dimasukkannya ke dalam apa yang disebutnya "Poros Setan" bersama Irak dan Korea Utara, akankah Australia ikut-ikutan mendukung sekutu terdekatnya itu?

Selama ini, masyarakat Australia memandang AS sebagai mitra keamanan terdekat yang "sangat penting" bagi kepentingan keamanan Australia.
Survei terbaru Pusat Studi-Studi AS Universitas Sydney yang dipublikasi, Rabu, menggarisbawahi persepsi mayoritas orang Australia itu terhadap AS. Sebanyak 92 persen dari 1.213 orang responden yang mengikuti survei itu tetap mengharapkan AS menjadi mitra keamanan utama Australia walau lebih dari 60 persen responden menolak keterlibatan AS dan Australia dalam invasi di Irak.

Di tengah kondisi sosial dan politik domestik yang demikian, Pemerintah Australia dihadapkan pada opsi apakah akan ikut AS menyerang Iran seperti yang mereka lakukan di Irak atau tidak.

Terhadap masalah Iran, Menteri Luar Negeri Alexander Downer menegaskan Australia tidak akan ikut menginvasi atau ikut dalam aksi militer apa pun untuk melawan negara Mullah itu.

"Kami tidak punya rencana untuk bergabung dalam aksi militer apa pun melawan Iran. Tidak sama sekali," katanya.

Penegasannya itu agaknya melegakan walaupun Downer tetap mewanti-wanti bahwa wacana di AS tentang tetap terbukanya opsi serangan militer terhadap Iran mencuat karena adanya keprihatinan nyata pada program nuklir Iran yang ditandai dengan penentangannya terhadap Dewan Keamanan PBB, serta dukungan material negara itu pada para milisi Syiah di Irak untuk menyerang tentara-tentara Amerika dan Australia.

Isu mengenai bantuan Tehran kepada para milisi Syiah di Irak untuk menyerang pasukan AS dan negara-negara lain, termasuk Australia, sempat ia singgung ketika ia bertemu Menlu Iran pekan lalu, kata Downer.

"Saya katakan kepadanya bahwa adalah tugas utama saya untuk melindungi tentara-tentara kami ... Dia (Menlu Iran) tidak menolak bahwa mereka memberikan bantuan perlengkapan. Dia tampak tidak peduli, dan tentang isu nuklir, Presiden Iran (Ahmadinejad) dan Menlu Iran telah menjelaskan bahwa mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan Dewan Keamanan PBB."

"Jadi ini jelas situasi yang muram dan melihat situasi demikian, beberapa orang di Amerika mengingatkan bahwa mereka tidak menafikan opsi militer tapi mereka tidak sedang membahas invasi atas Iran. Isu ini berarti apakah dalam kondisi tertentu Amerika akan menyerang fasilitas-fasilitas nuklir Iran. Tentu kita (Australia) tidak terlibat di dalamnya," kata Downer.

Dalam pandangannya, isu tentang rencana AS menyerang Iran bukanlah "hal baru" karena Presiden Bush dan para calon presiden Partai Demokrat sudah berulang kali mengatakan bahwa mereka tidak menafikan opsi serangan atas Iran khususnya terkait dengan nuklir Iran dan upaya mereka melindungi tentaranya di Irak.

Keyakinan Abdel Bari-Atwan

Terlepas dari adanya penegasan Downer bahwa Canberra tidak punya rencana untuk ikut menyerang Iran, terhadap jadi tidaknya AS mengambil langkah-langkah perangnya terhadap Iran, Pemimpin Redaksi Suratkabar berbahasa Arab "Al-Quds Al-Arabi" yang berbasis di London, Abdel Bari-Atwan, yakin bahwa serangan AS itu akan terjadi dalam enam bulan ke depan.

Serangan itu, katanya, dimaksudkan untuk menghentikan kegiatan nuklir Iran mengingat Iran merupakan salah satu negara di kawasan Teluk dengan cadangan minyak terbesar di dunia.

Dalam melakukan aksinya, diperkirakan serangan udara akan menjadi pilihan AS seperti yang dilakukannya saat menyerbu Irak pada 20 Maret 2003, kata penulis buku "The Secret History of Al Qaida" (Sejarah Rahasia Alqaida) itu.

Kemungkinan pecahnya benturan baru di kawasan Timur Tengah itu didasarkan pada analisa bahwa sulit bagi Amerika Serikat menerima Iran masuk ke dalam kelompok negara nuklir. Sebaliknya, Iran pun tidak akan mau menghentikan program nuklirnya, yang ditentang Amerika Serikat dan sekutunya.

"Saya tidak yakin Iran akan diterima Amerika Serikat menjadi bagian dari kelompok negara nuklir, tapi saya pun tak yakin bahwa Iran akan menghentikan program nuklirnya. Saya pikir akan ada bentrokan melawan Iran, karena Iran menguasai sebagian besar cadangan minyak dunia, yang dinilai Amerika Serikat mengancam dominasinya," kata Abdel Bari-Atwan.

Jika konfrontasi dengan Iran itu tidak langsung dilakukan Amerika Serikat, Israel bisa saja yang akan melakukannya, kemudian AS membantu Israel saat Iran yang dibantu Hizbullah membalas serangan Israel itu, katanya, "Namun, apa pun skenarionya, perang baru itu justru semakin berdampak buruk terhadap kehidupan rakyat di Timur Tengah."

Dalam keadaan perang, pasokan air sangat mungkin tercemar dan menjadi ancaman nyata bagi kawasan tersebut. Katanya, "Seandainya perang itu terjadi, Iran diperkirakan menutup selat Hormuz, sehingga mengganggu pengapalan minyak dan pada akhirnya mengganggu pasokan minyak dunia."

Harga minyak per barelnya pun bisa jadi akan melambung dan berdampak besar terhadap perekonomian negara-negara sedang berkembang dan industri maju, termasuk Australia.

Sebenarnya, sebagai negara yang tidak termasuk ke dalam "pemain militer utama", bagaimana sebenarnya Australia harus berperan di kawasan penuh konflik seperti Timur Tengah (Timteng)?

"Soft Power" Australia

Menurut Direktur Kolese Diplomasi Asia Pasifik Universitas Nasional Australia (APCD-ANU), Prof.William Maley, Australia sebaiknya memaksimalkan potensi "kekuatan lunak" (soft power) yang dimilikinya karena dengan cara itu Canberra dapat memainkan peranan yang efektif dalam ikut mencari solusi dan mengawal lima kepentingan strategisnya di kawasan itu.

Selain bukan sebagai "pemain militer utama", Australia bukanlah negara yang berada di pusat kebijakan global walaupun ia tetap memiliki sedikit ruang untuk melakukan aksi-aksi yang konstruktif di kawasan itu.

Dalam pandangan Maley, setidaknya ada lima kepentingan strategis Australia di Timteng yakni terwujudnya stabilitas kawasan dalam pengertian risiko pecahnya konflik bersenjata yang besar relatif rendah, dan kepentingan ekonomi Australia khususnya bagaimana menembus pasar ekspor di kawasan itu bisa berjalan efektif.

Selain itu, kepentingan ekonomi Australia juga terkait dengan kenyataan bahwa kawasan tersebut masih menjadi sumber pasokan energi dunia terutama bagi mitra dagang Australia. Timteng pun memberi sumbangan pada fenomena terorisme global karena aksi-aksi terorisme di Asia Tenggara misalnya dipicu oleh berbagai peristiwa di negara-negara Arab dan Muslim Sunni.

Kepentingan strategis Australia lainnya juga terkait dengan bagaimana negara itu menjaga aliansinya dengan AS yang terus berupaya mencapai tujuan-tujuan keamanan lebih luas di kawasan itu, serta bagaimana Australia bisa ikut mengontrol perluasan senjata nuklir (WMD), khususnya terkait dengan isu nuklir Iran.

Terhadap isu nuklir Iran yang menjadi bagian dari kepentingan nasional Australia, akankah Canberra bisa tetap konsisten memegang sikapnya yang tidak mau ikut-ikutan menyerang Iran jika AS dan sekutu terdekatnya di Timteng, Israel, benar-benar menggunakan aksi militer untuk menghentikan program nuklirnya menjadi kenyataan? Hanya waktu yang akan membuktikan.

Yang pasti, menurut Prof.William Maley, partisipasi Australia dalam mencari solusi-solusi konstruktif atas beragam persoalan di kawasan Timteng cenderung lebih didukung oleh pendekatan "kekuatan lunak" (soft power) daripada "kekuatan keras" (hard power) karena kemampuan Australia memang terbatas, katanya.

Hanya saja, selama ini, "soft power" ini justru merupakan aset yang terabaikan dalam menangani masalah-masalah Timur Tengah. Hal ini perlu dihidupkan kembali.

Pendekatan "soft power" ini hanya dapat dilaksanakan melalui "keterlibatan yang dilakukan secara hati-hati" bersama para aktor di Timteng dan sahabat-sahabat Australia dari kawasan lain di dunia yang memiliki kepedulian yang sama pada perkembangan di sana, kata penulis buku "Rescuing Afghanistan" (London: Hurst & Co., 2006) itu.

"Keterlibatan itu harus membentuk bagian dari proses pendalaman dan pengayaan kontak-kontak Australia dengan wilayah-wilayah terpenting dunia. Dengan cara demikian, kita (Australia) dapat berperan lebih efektif dalam jangka panjang baik dengan teman maupun musuh potensial kita," katanya.

*) disiarkan ANTARA pada 3 Oktober 2007

No comments:

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity