skip to main |
skip to sidebar
INSIDEN BALI DAN UPAYA MENJAGA KOMITMEN KONTRA-TERORISME


Oleh Rahmad Nasution
Dua belas Oktober menjadi tanggal penting bagi rakyat Indonesia dan Australia. Mungkin sama pentingnya dengan 11 September bagi rakyat dan bangsa Amerika .
Pada tanggal itu, dua bom berdaya ledak tinggi memporak-porandakan kawasan klub malam Jalan Legian Bali. Pihak Polri menyebut jumlah korban tewas mencapai 202 orang dari berbagai bangsa, termasuk 88 warganegara Australia.
Tragedi itu tidak hanya menampar muka pemerintah Indonesia tetapi juga membuatnya tidak lagi bisa mengelak dari tuntutan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya agar lebih tegas dalam memerangi terorisme.
Sebelum insiden Bali itu, Jakarta tampak terus berupaya menolak berbagai anggapan 'luar' termasuk Singapura melalui mantan PM Lee Kuan Yew bahwa Indonesia menghadapi ancaman nyata terorisme. Bahkan, karena sikap menolaknya itu, AS mengategorikan Indonesia sebagai negara yang 'enggan' mendukung kampanyenya melawan terorisme di kawasan Asia Tenggara.
Bagi pemerintahan John Howard, tragedi Legian tersebut ibarat lonceng peringatan yang telah membangunkannya dari keyakinan semu bahwa Australia tidak termasuk ke dalam daftar sasaran kelompok terorisme. Lonceng peringatan itu kemudian dipertegas oleh pernyataan Usamah bin Ladin, melalui Stasiun TV Al Jazeera awal November 2001.
Pemimpin Al-Qaedah yang dituduh Gedung Putih bertanggungjawab terhadap serangan 11 September itu mengatakan, Australia berkonspirasi dan memimpin 'perang' (crusade) terhadap negara Islam dalam pemisahan Timor Timur (Rohan Gunaratna 2002: xxii). Dilihat dari angka korban pun, tragedi Bali telah melipatgandakan jumlah korban di pihak Australia dibandingkan dengan insiden 11 September.
Dalam serangan yang menewaskan hampir tiga ribu orang itu, Australia dilaporkan 'hanya' kehilangan sekitar 20 warganegaranya. Namun di balik tragedi kemanusiaan itu, hubugan bilateral Indonesia-Australia yang sempat terganggu oleh krisis Timor-Timur seolah mendapatkan momentumnya kembali.
Adalah kepolisian kedua negara yang mewakili penguatan dan keberhasilan hubungan ini, terbukti dari relatif singkatnya waktu yang diperlukan Polri untuk mengungkap kasus ini dan membawa para pelakunya ke pengadilan.
Hanya saja, sampai kapan program aksi kontra-terorisme kedua negara ini bisa mempertahankan momentum kerjasama ini?
Dalam konteks perang AS terhadap Al-Qaidah, mantan Wakil Ketua Pusat Kontra-Terorisme Pusat Intelijen AS (CIA), Paul R. Pillar, sempat menyampaikan kekhawatirannya akan kemungkinan memudarnya komitmen negara itu terhadap kampanye kontra-terorismenya sendiri di masa mendatang.
Dalam tulisannya di Washington Quarterly edisi Musim Panas 2004, Pillar mencatat dua faktor yang memungkinkan pudarnya komitmen tersebut.
Faktor pertama terkait dengan kesalahan persepsi tentang ancaman terorisme, dan faktor kedua berhubungan dengan lingkungan kebijakan yang lebih luas dimana keputusan-keputusan soal keamanan nasional dibuat.
"Tantangan terberat (dalam perang ini) terkait dengan kemampuan Amerika mempertahankan determinasinya memerangi terorisme," kata Pillar dalam artikelnya berjudul 'Kontra-Terorisme Setelah Al-Qaeda" (Counter-Terrorism after Al Qaeda) itu.
Dalam konteks ini, pemimpin politik memainkan peranan kunci.
"Mereka harus mampu mempertahankan komitmen itu dengan analisa, pendidikan, dan kemampuan persuasi yang mereka miliki. Dan itu semua tidak cukup dengan symbol-simbol dan teriakan perang saja," ucap Pillar.
*) tulisan untuk memperingati dua tahun insiden Bom Bali 2002. Dipublikasi ANTARA pada 12 Oktober 2004
No comments:
Post a Comment