skip to main |
skip to sidebar
TERORISME DAN "PETAKA 9 SEPTEMBER" KUNINGAN


Oleh Rahmad Nasution
Brisbane, 9/9 (ANTARA) - Warga sipil tak bersalah kembali menjadi korban serangan teroris di Indonesia. Kali ini mereka tewas dan luka-luka dalam serangan bom dahsyat yang terjadi di luar gedung Kedubes Australia di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, Kamis pagi (9/9).
Insiden yang menewaskan sedikitnya tiga orang dan melukai lebih dari seratus lainnya itu merupakan serangan teroris ketiga terbesar dalam sejarah bangsa ini setelah bom Bali 12 Oktober 2002 dan bom Hotel JW Marriott Jakarta 5 Agustus 2002.
Bahkan, aksi pemboman Kamis ini terjadi dua hari menjelang peringatan tiga tahun serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat yang menewaskan 2.750 orang, termasuk seorang warganegara Indonesia.
Serangan teroris Kamis ini seakan mengingatkan kembali ajakan yang pernah disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setahun lalu agar bangsa Indonesia bersatu-padu melawan terorisme.
Melalui tulisannya di Kompas Edisi 12 Agustus 2003, calon presiden dari Partai Demokrat dan mantan Menko Polkam dalam Kabinet Megawati Soekarnoputeri itu berpesan, "Lawan Terorisme Sekarang!".
Artikel itu dimuat tepat seminggu setelah sebuah bom mobil meluluh-lantakkan sebagian bangunan Hotel Marriott yang menewaskan tersangka pelaku dan sejumlah warga sipil, termasuk supir taksi yang tidak tahu apa-apa.
Seperti banyak negara di dunia, bagi Indonesia, terorisme pun telah menjadi ancaman keamanan yang nyata, disamping separatisme, dengan berbagai implikasi sosial, ekonomi, dan geopolitik yang tidak kecil.
Terkoreksinya Indeks harga saham gabungan Bursa Efek Jakarta dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang asing merupakan dua implikasi ekonomis yang langsung dirasakan pelaku pasar di Jakarta Kamis ini.
Implikasi berkepanjangan bagi sektor pariwisata nasional paska bom Bali agaknya hanya soal waktu seperti tampak dari peringatan perjalanan (travel warning) yang dikeluarkan sejumlah negara terhadap Indonesia.
Beberapa saat setelah insiden pemboman di kedutaan besarnya, Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia di Canberra, misalnya, mengingatkan warganya agar menunda seluruh perjalanan tidak penting ke Indonesia.
Dalam peringatan perjalanan itu, disebutkan pula, Canberra terus menerima laporan-laporan bahwa teroris di kawasan Asia Tenggara "sedang merencanakan penyerangan terhadap sejumlah sasaran, termasuk tempat-tempat yang sering dikunjungi warganegara asing."
Amerika Serikat bahkan, katanya, telah mengeluarkan peringatan agar para pejabatnya yang mengunjungi Indonesia menghindari hotel-hotel yang diidentifikasi "hotel Barat" (western hotels).
Siapa itu teroris dan apa itu terorisme?
Mendefinisikan terorisme sama sulitnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Mengapa? Karena kata "terorisme" itu sendiri sangat subyektif mengingat "A person's terorist is the other's freedom fighters." (Seseorang yag dianggap sebagai teroris oleh suatu pihak, boleh jadi dianggap sebagai pejuang kemerdekaan oleh pihak lain - Red).
Disamping adanya unsur subyektivitas, arti dan pemakaian kata ini pun, seperti kata pakar terorisme dari Rand Corporation AS, Bruce Hoffman, mengalami perubahan sesuai dengan kondisi politik dan kebutuhan di eranya.
Kata "terorisme" bahkan memiliki konotasi positif selama Revolusi Perancis tahun 1793-1794 (Hoffman, 1998:15). Ketika itu, sistem yang berjalan adalah "regime de la terreur" untuk menegakkan ketertiban dan hukum di dalam masyarakat Perancis.
Karenanya, terorisme merupakan masalah dalam masalah akibat tidak adanya definisi yang baku dan diterima semua pihak. Pakar terorisme, Brian Michael Jenkins, seperti dikutip Hoffman dalam bukunya Inside Terrorism (1998:33) mencoba menawarkan solusi. Ia berpendapat bahwa terorisme harus didefinisikan "oleh alam aksi, bukan identitas pelaku maupun alam sebabnya."
Namun, Hoffman berargumen bahwa solusi Jenkins ini gagal membedakan kekerasan yang dilakukan negara dengan kekerasan oleh pelaku non-negara, semisal teroris.
Dalam pandangan Hoffman (1998:43), terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan oleh sebuah organisasi (non-negara) yang memiliki komando atau struktur sel (dimana para anggotanya tidak memakai seragam) guna menimbulkan ketakutan (efek psikologis dahsyat) dalam upayanya mencapai perubahan politis. Umumnya sasaran teroris adalah warga sipil.
Jika definisi yang ditawarkan Hoffman sama sekali tidak memasukkan negara sebagai pihak yang juga mungkin melakukan kekerasan, tidak berarti bahwa terorisme negara tidak ada.
Setidaknya pakar Asia Timur Universitas Binghamton dan Universitas Cornell, Mark Selden, menengarai terorisme negara justru merupakan fenomena yang akan tetap ada.
Dalam artikelnya berjudul "The United States and Japan in Twentieth-Century Asian Wars" (Selden dan So, 2004: 21), ia mendefinisikan terorisme negara sebagai "kekerasan sistematis negara atas warga sipil yang melanggar norma-norma internasional, aturan negara dan berbagai preseden hukum yang dibuat pengadilan internasional guna melindungi hak-hak warga sipil."
Insiden pemboman di Kuningan, Jakarta, itu secara tak terbantahkan adalah bagian dari aksi terorisme dengan merujuk pada definisi di atas.
Pengutukan terhadap pelaku pun sah. Sheik Yusuf Qardhawi, termasuk ulama terkemuka Islam yang mengutuk berbagai aksi terorisme yang menyebabkan hilangnya nyawa orang-orang tak berdosa dan teraniaya baik itu di Kashmir atau New York, Palestina atau Washington, maupun Bosnia atau Oklahoma.
Karena, seperti dalam agama-agama lain, Islam yang toleran dan menjunjung tinggi arti nyawa manusia, menilai penyerangan terhadap orang-orang tak bersalah adalah dosa besar sebagaimana ditegaskan Al Quran surat Al Maidah: 32, katanya.
*) artikel ditulis pada hari terjadinya serangan teroris terhadap Kedubes Australia di Jakarta
No comments:
Post a Comment