Janggut bagi pria muslim di Indonesia, Brunei dan Malaysia bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan dan apalagi dicurigai. Namun, tidak demikian halnya dengan Filipina.
Di negara tetangga itu, janggut bisa membawa petaka tersendiri bagi seseorang, terlebih lagi jika dia muslim.
Petaka itulah yang dialami Hadiyanto, wartawan foto senior Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA yang terpaksa "merelakan" satu setengah jam waktunya di kantor polisi Lapu-Lapu City, Cebu, Filipina Tengah, pada 14 Januari lalu, untuk diintrogasi dengan tuduhan "teroris", hanya karena ia seorang muslim berjanggut.
Padahal, jurnalis foto ANTARA itu dilengkapi dengan kartu identitas (ID Card) resmi yang secara khusus dikeluarkan panitia KTT ke-12 Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk mendukung kegiatan peliputan beragam rangkaian acara KTT ke-12 ASEAN dan KTT ke-2 Asia Timur (EAS) yang berakhir pada 15 Januari lalu.
Penangkapan dan pengintrograsian terhadap Hadiyanto yang disebut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Luar Negeri (Deplu) RI, Imron Cotan, "minor incident" (insiden kecil) itu terjadi pada Minggu malam sekitar Pukul 19.00 waktu Cebu.
Menurut Hadiyanto, setelah seharian meliput KTT ASEAN plus China, Korea Selatan dan Jepang (tiga dari enam negara mitra dialog ASEAN) di Hotel Shangri-La Mactan, ia bermaksud kembali ke tempatnya menginap, Hotel Salengek Traveller's INN di daerah Mandaue City.
Dengan menyandang kamera dan ransel berisi komputer Laptop, ia bergegas dengan berjalan kaki keluar kompleks Hotel Shangri-la's Mactan Island Resort & Spa, hotel mewah yang menjadi tempat berlangsungnya KTT ke-12 ASEAN, KTT ASEAN plus, dan EAS, serta tempat menginap umumnya para kepala negara dan pemerintahan.
Di lingkungan hotel yang berpanorama pantai pasir putih dan taman menghijau itu, ratusan aparat keamanan dan kepolisian Filipina berpakaian dinas dan sipil hilir mudik dan waspada penuh sepanjang hari karena daerah itu termasuk "Ring I". Mereka dibantu ribuan CCTV (kamera pemantau) yang disebar di berbagai sudut strategis di dalam dan luar hotel.
Perwira Senior Penghubung Polri di KBRI Manila, Kombes Pol Bambang Usadi, yang ikut membantu kelancaran misi delegasi RI di kedua KTT itu, mengutip keterangan otoritas keamanan Filipina untuk KTT, mengatakan bahwa sedikitnya 3.000 CCTV dipasang untuk mendukung operasi pengamanan terhadap seluruh tempat dan jalur yang dilalui para delegasi negara-negara anggota.
Di tengah ketatnya pengamanan tersebut, hampir seluruh anggota delegasi, warga Filipina, dan wartawan lokal dan asing, termasuk Hadiyanto, tidak leluasa bergerak, baik menjelang maupun selama penyelenggaraan KTT ASEAN 12-13 Januari, KTT ASEAN plus 14 Januari, dan KTT ke-2 Asia Timur 15 Januari.
Hadiyanto mengatakan, ia keluar dari kompleks hotel mewah itu sekitar Pukul 18.30 waktu setempat untuk kembali ke tempat penginapannya.
Di jalan raya depan pintu masuk utama hotel, ia bertanya kepada seorang polisi tentang bagaimana bisa kembali ke hotel, mengingat sejumlah titik sering diblokir polisi, sehingga kendaraan umum dan kendaraan yang digunakan anggota delegasi dihentikan, untuk memberikan keleluasaan kepada iring-iringan mobil pemimpin negara-negara peserta melintas.
Hadiyanto mengatakan, seorang polisi membantunya menghentikan taksi dan ia pun naik. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan saat itu. Namun, beberapa menit setelah mobil itu bergerak menuju Lapu-Lapu City, tiba-tiba sebuah mobil polisi menyergap taksi yang ia tumpangi. Di situ, telah pula ada enam sampai tujuh orang polisi.
Salah satu dari mereka kemudian membuka pintu dan memerintahkan dirinya untuk tetap diam, sebelum digelandang keluar dan kedua tangan ditaruh di atas kepala.
"Perlakuan polisi Filipina terhadap saya saat penyergapan itu persis seperti perlakuan polisi Amerika terhadap tersangka teroris dalam adegan film-film Hollywood. Salah satu polisi Filipina itu bahkan terus melekatkan jari-jari tangan kanannya ke sarung pistol di pinggangnya ketika saya diperintahkan keluar dari taksi," katanya.
Setelah itu, polisi mengarahkan anjing mereka ke barang-barang bawaan seperti kamera dan ransel, serta interior dan bagasi taksi. Kap mesin taksi pun tak luput dari pemeriksaan aparat kepolisian Filipina dari unit anti-teror itu untuk memastikan bahwa tidak ada bom di sana.
"Beberapa saat kemudian, saya dibawa ke kantor polisi terdekat. Di sana, sudah ada kameraman salah satu stasiun televisi Filipina menunggu. Dia 'standby' di sana dan men-'shooting' (mengambil gambar-red.) saya padahal dia melihat ID Card resmi peliputan KTT yang menggantung di leher saya."
Di dalam ruang pemeriksaan kantor polisi itu, Hadiyanto menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan polisi pemeriksa. Ia pun menjelaskan dan menunjukkan "ID Card" resmi peliputan yang dikeluarkan panitia KTT serta puluhan foto dari berbagai kegiatan KTT yang ia telah ambil dan terekam di kameranya.
"Untuk memperkuat argumentasi saya, saya pun mengontak Ibu Sonya, pejabat penerangan KBRI Manila, dari kantor polisi itu," katanya.
Akhirnya, polisi tersebut melepas dirinya dan meminta maaf setelah salah seorang rekannya menyebut "He is clear, clear...," kata Hadiyanto. Namun, menurut Hadiyanto, ia sempat didiamkan sekitar setengah jam sebelum dipersilahkan memasuki kembali taksi yang tetap menunggunya selama ia diperiksa.
"Terus terang, saya sangat kecewa dengan perlakuan aparat kepolisian Filipina karena saya kan sudah dilengkapi ID Card resmi yang justru dikeluarkan pemerintah mereka sendiri."
"Bahkan di belakang kartu tanda pengenal itu, jelas ditulis 'All authorities of the Republic of the Philippines are requested to respect the official status of the holder and to extend to him/her appropriate courtesies' (semua aparat Filipina diminta menghormati status resmi si pemegang kartu dan memberikan kesopanan kepadanya)," katanya.
Hadiyanto mengatakan, ia tidak mengetahui mengapa aparat kepolisian Filipina tersebut menjadikannya target operasi mereka, kendati sejak hari pertama ia meliput (10/1), ia merasa selalu diikuti dan dibayang-bayangi aparat keamanan ke mana pun ia pergi.
"Ke toilet pun, saya dikuntit," kata pewarta foto berjanggut itu.
Terhadap kasus Hadiyanto itu, Perwira Senior Penghubung Polri di KBRI Manila, Kombes Pol Bambang Usadi, mengatakan, penampilan fisik atau tampang yang bersangkutan mungkin menjadi salah satu pemicu kecurigaan polisi Filipina yang sebelum dan selama pelaksanaan KTT berada dalam kewaspadaan yang tinggi.
"Bayangkan saja, mereka memasang tiga ribu CCTV untuk kepentingan pengamanan," katanya kepada wartawan Indonesia yang menemuinya di Bandar Udara Internasional Ninoy Aquino saat belasan anggota tim pendahulu (advance) RI hendak pulang ke Jakarta via Kuala Lumpur, 15 Januari lalu.
Terkait dengan masalah penangkapan pewarta foto ANTARA, Sekjen Departemen Luar Negeri RI yang juga Ketua SOM (Senior Official Meeting) Indonesia di kedua KTT tersebut, Imron Cotan, mengatakan, Pemerintah Filipina melalui Sekjen Kementerian Luar Negerinya, Linda Basilio, telah menyampaikan permintaan maaf lisan.
"Minor incident (insiden kecil) ini sudah kita protes dan Linda sudah berbicara dengan 'Chief of Protocol Malacanang' (ketua protokol Istana Kepresidenan-red.) mengenai insiden kecil ini. Kalau benar ada 'misunderstanding' (kesalahpahaman), dia akan menyatakan 'sorry' (minta maaf)," kata Imron Cotan.
Aparat kepolisian Filipina yang memeriksa Hadiyanto pun telah meminta maaf atas kejadian itu. Insiden kecil ini diharapkan tidak mengganggu hubungan bilateral kedua negara yang selama ini berjalan baik.
"Makna KTT ini pun, menurut saya, tidak berkurang ...," kata mantan Dubes RI untuk Australia dan Vanuatu itu.
Dalam insiden penangkapan ini, yang perlu diingat adalah aparat kepolisian Filipina melakukan tugasnya untuk mengamankan keselamatan seluruh pihak yang terlibat dalam KTT ini, khususnya kepala negara dan pemerintahan negara-negara anggota, katanya.
"Jadi niat mereka (aparat kepolisian-red.) itu untuk mengamankan, tetapi mereka salah mengidentifikasi. Tapi mereka sudah minta maaf dan berjanji tidak terjadi lagi hal serupa ... ," katanya.
Isu terorisme sempat mewarnai penyelenggaraan dua perhelatan akbar tahun ini setelah terjadi ledakan bom di Gensan, Filipina Selatan, 10 Januari atau dua hari sebelum para kepala negara dan pemerintahan RI, Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Laos, Myanmar, dan Viet Nam tiba. Insiden itu menewaskan enam orang dan melukai sedikitnya 22 orang lain.
Pada Desember tahun lalu, Pemerintah AS, Inggris, Kanada dan Australia telah mengeluarkan peringatan perjalanan kepada para warga negaranya, berkaitan dengan adanya ancaman terorisme menjelang dan saat berlangsungnya kedua KTT itu di Cebu.
Indonesia, Filipina dan Thailand merupakan tiga negara anggota ASEAN yang rentan terhadap ancaman aksi terorisme dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dalam KTT ke-12 ASEAN itu, tekad 10 negara anggotanya bersama mitra dialog kawasan, seperti Jepang, China, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru untuk memperkuat kerja sama perang melawan terorisme yang mengancam upaya ASEAN mewujudkan satu komunitas yang sejahtera dan maju pada 2015 pun semakin didengungkan.
Para pemimpin organisasi regional yang tahun ini genap berusia 40 tahun itu meneguhkan tekad bersama mereka itu dengan menandatangani konvensi tentang kontra-terorisme.
"Konvensi itu sendiri merupakan prakarsa dan inisiatif Indonesia," kata Dirjen ASEAN Departemen Luar Negeri (Deplu-RI) Dian Triansyah Djani.
Dengan adanya konvensi itu, semua negara anggota ASEAN akan semakin memperkuat kerjasamanya dalam pertukaran informasi intelijen, pembangunan kapasitas, serta ekstradisi tersangka teroris, kata Djani.
Namun, dalam menghadapi ancaman teroris kali ini, polisi Filipina agaknya perlu diyakinkan bahwa Islam bukanlah teroris, agar di masa mendatang mereka tidak lagi sembarangan menangkap orang, hanya karena yang bersangkutan muslim dan berjanggut.
*) dipublikasi ANTARA pada 18 Januari 2007
No comments:
Post a Comment